Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyerukan Muslim Indonesia supaya tetap bersikap tenang, sambil mengkritik “sekularisme ekstrem” ala Prancis. Ketika Muslim di berbagai belahan dunia bereaksi dengan amarah terhadap Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyebut agama Islam sebagai “agama dalam krisis ”, Yahya Staquf menghimbau Muslim Indonesia tidak emosional dalam menanggapi kasus tersebut.
“Menghina kehormatan Nabi Muhammad dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam,” kata Yahya Staquf, dilansir oleh South China Morning Post pada Rabu (28/10) kemarin.
“Namun, menyikapi hinaan terhadap Nabi dengan membunuh pelaku merupakan tindakan biadab yang berpotensi memicu ketidakstabilan yang meluas tanpa kendali,” lanjutnya.
Yahya Staquf merespon pernyataan Macron setelah terjadi kasus pemenggalan kepala guru sekolah menengah Prancis Samuel Paty oleh seorang pemuda keturunan Chechnya pada 16 Oktober setelah Paty menunjukkan kepada siswanya beberapa kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh Charlie Hebdo, sebuah surat kabar satir Prancis.
Pada tahun 2015, Charlie Hebdo menerbitkan kartun Nabi Muhammad yang memicu terjadinya pembantaian 12 orang di kantor surat kabar tersebut pada tahun yang sama.
Macron awal bulan ini menyerukan masyarakat Prancis untuk melawan ekstremisme yang berlawanan dengan nilai-nilai sekuler Republik Prancis. Dia menggambarkan Islam sebagai agama yang “sedang dalam krisis, termasuk di negara-negara yang menganut Islam sebagai agama mayoritas”, meski sambil menekankan perlunya untuk tidak menstigmatisasi umat Islam.
Menyikapi komentar macron tersebut, sejumlah negara mayoritas Muslim menyerukan boikot dan protes. Di Suriah, orang-orang membakar gambar Macron sebagai reaksi atas komentarnya, sementara bendera negara Prancis dibakar di ibu kota Libya, Tripoli, dan jejaring minimarket di Qatar menyerukan untuk boikot produk Prancis. Bikot ini terjadi di negara Kuwait, dan negara-negara Arab Teluk lainnya.
Staquf mendesak umat Islam untuk mengatasi masalah ini dengan tenang “dan tidak menuruti emosi”. Katib Aam PBNU tersebut mengatakan bahwa “yang sebenarnya dihadapi umat Islam bukan hanya mereka yang menghina Islam, tetapi kebutuhan semua manusia dari berbagai latar belakang dan keyakinan untuk menemukan landasan integrasi global yang harmonis”.
“Umat Islam tidak boleh mengikuti mereka yang menggunakan Islam dan masalah kartun Nabi sebagai senjata politik untuk mendapatkan keuntungan politik eksklusif dan sepihak atau dengan sengaja memicu konflik untuk menghancurkan lawan politik,” demikian ungkapnya dilansir oleh South China Morning Post.
Menurut Yahya Staquf, Macron tidak sepenuhnya salah dalam menyatakan dunia Islam sedang dalam krisis, karena dalam pandangannya krisis ini adalah bahwa dunia Islam belum sampai pada konstruksi religius dan sosial politik yang diperlukan untuk berintegrasi secara harmonis dengan seluruh dunia.
Lebih lanjut, Yahya Staquf mengatakan, persoalannya adalah bahwa Macron menangani masalah ini secara sepihak dari sudut pandang “ideologi sekularisme ekstrem” Prancis, yang cenderung memandang agama hanya sebagai sumber masalah dan tantangan ideologis yang harus dikalahkan.
“Pandangan sepihak ini disesalkan tidak hanya oleh Muslim tetapi juga oleh Kristen dan Yahudi,” kata Staquf, yang menambahkan bahwa seluruh komunitas dunia dapat dipandang berada dalam krisis di tengah konflik ideologi dan pandangan dunia. “Dunia membutuhkan platform untuk dialog berdasarkan kejujuran untuk membangun konsensus tentang nilai-nilai peradaban bersama.”
Di Indonesia sendiri, rangkaian protes terhadap Macron mulai bergejolak. Gerakan Alumni 212, kelompok di balik aksi demo bela Islam berjilid-jilid di Jakarta, menyerukan boikot barang-barang Prancis dan akan menggalang massa untuk berdemo di Kedutaan Besar Prancis pada tanggal 2 November mendatang.
Sementara di Solo, dilansir oleh BBC Indonesia, Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) menggelar demo protes terhadap Macron pada Rabu (28/10) kemarin. Demo berjumlah ratusan orang tersebut menunjukkan kemarahan dan kekecewaannya dengan meletakkan foto Presiden Macron di jalan raya sehingga terlindas kendaraan dan menginjak-injaknya. Massa juga membentangkan spanduk yang berisi ajakan boikot Prancis.