Gerakan #MosiTidakPercaya hari ini menyemut di pelbagai negeri. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogya dan daerah-daerah lain terjadi gelombang besar-besaran protes atas tindakan pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja a.ka Omnibus Law Kemarin.
#MosiTidakPercaya sebagai tagar dan gerakan ini juga menggema di media sosial. Dukungan publik pun terus mengalir karena pemerintah cenderum diam saja terkait tuntutan penolakan omnibu law, seakan suara publik dianggap angin lalu.
Tentu saja publik juga agak ketakutan akan terjadinya potensi outbreak Covid-19 dan menimbulkan ‘cluster demo’, tapi tampaknya dukungan publik kian menguat dan ini menjadi salah satu kekuatan bagi mereka yang saat ini berdemo melawan keputusan konyol DPR untuk tetap mengesahkan UU ini.
“RUU Cipta Kerja juga menerapkan pengaturan mengenai kebijakan kemudahan berusaha di kawasan ekonomi, pelaksanaan invetasi pemerintah pusat dan proyek strategis nasional. Serta pelayanan administrasi pemerintahan untuk memudahkan prosedur birokrasi dalam rangka cipta kerja,” tutur Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI seperti dikutip laman resmi dpr.go.id.
Lalu, bagaimana Jokowi? Tampaknya, Jokowi harus lebih mendengarkan suara publik lagi, sebagaimana janjinya dulu ketika kampanye dan imajinasi publik yang dulu yang terbangun bahwa sosoknya dekat dengan rakyat kecil, lahir dari wong cilik.
baca juga: UU Cipta Kerja Ditolak Pemuka Agama
Apalagi, dua ormas terbesar di negeri ini, Muhammadiyah-NU. Kedua ormas ini tepat berada di tengah-tengah masyarakat kelas bawah dan secara otomatis, nantinya, jika UU ini berlaku maka korbannya kebanyakan adalah warga Muhammadiyah dan NU.
Sebagai ormas terbesar, NU misalnya, dengan terang-terangan menolak Omnibus Law ini dan menganggapnya sebagai UU berpotensi menciptakan banyak sekali kemudzaratan, bahkan di level tertentu menjadi bentuk kezaliman.
“Jelas sekali bahwa RUU Cipta Kerja ini sarat dengan aneka kezaliman, kalau sarat dengan aneka kezaliman, tentu tidak harus dilanjutkan,” tutur Prof. KH Maksum Machfoeds, wakil ketua umum PBNU.
Beliau mencontohkan, dalam beberapa pasal di UU tersebut begitu berpotensi menjadikan warga kelas bawah menjadi pesakitan di tangan mereka yang memiliki modal. Apalagi potensi terkait pangan dan agraria yang bisa jadi memicu bancakan antar pengusaha. Muhammadiyah juga serupa.
Namun, apa lacur, permintaan dari Muhammadiyah lewat ketuanya secara langsung ini tampaknya tidak didengarkan oleh Jokowi, pemerintahannya dan juga wakil-wakil rakyat di DPR sana. Omnibus Law tetap disahkan, meski publik berteriak menolaknya.
Dan, Pak Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negeri ini harus melihat realitas ini. Apalagi dengan gerakan #MosiTidakPercaya yang terus meningkat dan eskalasi terus membesar seperti ini harusnya lebih menyediakan telinga, kepala dan hati untuk lebih mendengarkan suara publik.