Ustadz Felix Siauw bersama Al El Dul membincang sejarah Islam, tapi terlalu over glorifikasi terhadap simbol Islam yang terkadang memantik tafsir subyektif
Dalam channel Youtube milik Cinta Alquran TV, Felix Siauw bersama Al El Dul, tiga putra Ahmad Dhani, membincang tentang sejarah islam. Dalam perbincangan itu digambarkan sejarah penaklukkan Konstantinopel. Judul konten yang diunggah, sepertinya, disengaja dibikin cukup bombastis, “Al, El, dan Dul Terpukau…” Roman-romannya, pendedahan glorifikasi sejarah Sultan Mehmed kala menaklukkan kota tersebut menyasar generasi milenial sebagai objeknya dan tiga anak Ahmad Dhani itu adalah percontohannya.
Dalam durasi konten hanya 38 menit tersebut, kisah pengepungan kota Konstantinopel yang dipaparkan Felix ketika bersama Al, El dan Dul itu berpusat pada sosok Sultan Mehmed II dan kehebatan taktik perangnya. Sosok Mehmed II yang digambarkan sangat agamis, muda dan cerdas menjadi narasi utama. Kehebatan taktik perang yang mampu merobohkan tembok kota Kostantinopel setelah bertahan lebih satu milenium.
Felix Siauw dkk sering sekali menggelorakan tentang penaklukan Konstatinopel. Buktinya, beberapa produk yang mereka jajakan secara daring berkaitan atau memakai simbol Sultan Mehmed II. Bahkan, nama penerbit yang dikelola Felix dkk dinamai “Fatih Press”. Sepertinya, Felix dkk. sengaja mengambil simbol tersebut untuk memberikan penekanan pada gerakan dakwahnya.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, ditaklukkannya Konstantinopel oleh Mehmed II merupakan simbol penaklukan Islam atas Barat atau Islam atas Kristen. Penggeloraan narasi ini tentu dapat menggoda bagi siapapun yang melihat kondisi umat Islam yang mengalami ketidakadilan atau penindasan.
***
Pendedahan kisah sejarah pada generasi muda sering rusak karena glorifikasi yang bermasalah. Persoalan glorifikasi dalam narasi sejarah adalah bagian dari pengkultusan dan pencitraan pada sosok tertentu. Dan, perbincangan Felix Siauw bersama Al El Dul, harus diakui, melakukan pendekatan itu.
Kultus individu, anda tahu, muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur ideal atau pahlawan, seringkali melalui pujian yang berlebihan. Sementara glorifikasi adalah aksi melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan hebat luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela. Persoalan konten glorifikasi dan kultus individu bisa kita lihat hari ini dari penciptaan figur ideal atau pahlawan dengan menaikkan frasa-frasa hiperbola.
Memang dalam hadis Rasulullah menyebutkan, “Sesungguhnya akan dibuka Kota Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin saat itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang saat itu.” (HR. Imam Ahmad 4/235, Bukhori 139).
Namun, persoalan di sini bukan soal narasi hadis, tapi sebuah kisah sejarah dapat terjebak pada glorifikasi dan imaji yang berlebihan dengan legitimasi dalil. Di kasus di atas, penaklukan Kostantinopel diglorifikasi sebagai perang kemenangan Islam melawan Kristen. Dan Sultan Mehmed II juga dikultuskan sebagai sosok pemimpin ideal.
Ashgar Ali Engineer, Aktivis Islam progresif asal India, mengutip Sejarawan terkemuka, Syihristani, yang pernah berkata, “Tidak ada masalah yang lebih banyak menumpahkan darah dalam Islam selain masalah kekhilafahan.” Persoalan perebutan kekuasaan yang terjadi dalam tradisi Islam seringkali diabaikan atau dibuat buram. Padahal, fakta banyak pertumpahan darah dalam prosesi peralihan kekuasaan.
Persoalan yang sama sebenarnya juga sering terjadi pada glorifikasi sejarah penaklukan-penaklukan di masa kekhilafahan Islam. Sebab, ingatan akan kejayaan masa lalu yang sengaja dipanggil kembali kemudian diceritakan dalam narasi yang berlebihan (baca: glorifikasi), biasanya dimaksudkan untuk mengobati rasa percaya diri yang runtuh atau memelihara imaji identitas. Di sinilah letak permasalahan utama dalam glorifikasi.
Dalam artikel berjudul “Ingroup Glorification, Moral Disengagement, and Justice in the Context of Collective Violence”, Bernhard Leidner dkk. menyebutkan bahwa glorifikasi sering bermasalah dalam memelihara dan membina hubungan antarkelompok karena hubungannya dengan Moral Disengagement.
Apa itu Moral Disengagement? Sebuah proses di mana individu atau kelompok orang menjauhkan diri dari standar perilaku etis normal atau biasa dan kemudian menjadi yakin bahwa perilaku baru yang tidak etis sering dibenarkan karena beberapa keadaan yang meringankan. Dalam bahasa mudahnya, sebuah kelompok bisa dengan mudah melakukan hal-hal di luar nilai-nilai moral yang selama ini disepakati dalam kemanusiaan. Artinya, glorifikasi bisa berubah menjadi proses awal kekerasan pada kelompok lain.
Membaca sejarah Islam, terkhusus berbagai penaklukan, seharusnya bisa dilakukan dengan lebih arif dan bijaksana. Menawarkan sebuah pembacaan yang lebih berimbang mungkin sebuah langkah yang bisa kita tempuh jika harus membicarakan persoalan tersebut.
***
Di sisi lain, sekitar dua bulan sebelum video di atas diunggah di kanal Youtube, saya menonton film The Rise of Ottoman (TRO) secara maraton. Enam episode yang tersedia di Netflix tersebut saya lahap dalam satu hari. Saat menonton film TRO, saya teringat kembali pada film lain bernarasi sama berjudul “Fetih”. Sama-sama mengambil momen pengepungan kota Konstantinopel di tahun 1473, kedua film berlainan genre tersebut menghadirkan narasi penaklukan dari sudut yang berbeda.
Namun, saya lebih menyukai TRO setelah menonton keduanya, karena film yang disutradarai oleh Amri Sahin mencoba melihat penaklukan Konstantinopel lebih berimbang. Sosok Sultan Mehmed dan Kaisar Konstantin II divisualkan secara berimbang, mungkin karena film tersebut bergenre dokumenter.
Mungkin opsi membaca berbagai kisah penaklukan dalam sejarah Islam secara berimbang, tidak hanya untuk Al, El, dan Dul saja, adalah pilihan terbaik di masa sekarang. Film TRO bisa menjadi tawaran paling awal untuk menjelajahi bagaimana penaklukan Kostantinopel sebenarnya terjadi, yang kemudian bisa dilanjutkan dengan membaca berbagai buku selagi penghapusan pelajaran sejarah masih hanya isu.
Nah, harusnya, Felix Siauw bersama Al, El dan Dul juga menonton film tersebut, selain tentu saja fakta-fakta sejarah lain biar perbincangan sejarah tidak hanya satu cara pandang saja.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
*artikel ini hasil kerja sama Islami.co dan RumahKitaB*