Terdapat banyak alasan mengapa para ulama Islam klasik mengoleksi secara detail kehidupan Nabi Muhammad SAW, termasuk di dalamnya adalah urusan seksualitas. Beberapa bertujuan untuk memuji sifat-sifat baik Nabi, sedangkan yang lain berusaha untuk merincikan setiap perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi sebagai norma yang pada akhirnya menjadi basis dari hukum dan tradisi dalam agama Islam. Dalam konteks ini, dokumentasi dari kehidupan pribadi nabi termasuk perihal yang intim menjadi diskursus yang cukup menarik dan menimbulkan interpretasi yang beragam.
Ibn Sa’ad dalam koleksinya tentang biografi laki-laki dan perempuan di era klasik membahas tentang delapan cerita yang menunjukkan bagaimana superioritas seksualitas nabi (sexual performance).
Salah satu cerita yang sering kita dengar adalah pada suatu malam, Nabi Muhammad SAW pernah melakukan hubungan seksual dengan sembilan istrinya. Tentu cerita ini memiliki banyak versi. Beberapa orang mengimajinasikan Nabi memiliki virilitas (kejantanan) yang setara dengan 40 orang laki-laki. Ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut karena malaikat Jibril memberikan Nabi potensi yang lebih dan unik dibanding manusia pada umumnya (divine gift).
Dalam sejarahnya, pasca 25 tahun monogami dengan Sayyidah Khadijah, nabi Muhammad menikah dengan beberapa perempuan, termasuk Sayyidah Aisyah. Banyak sumber yang mengatakan bahwa sayyidah Aisyah merupakan istri yang paling nabi cintai dan bahkan beberapa riwayat mengatakan bahwa nabi banyak menghabiskan hari-hari bersamanya.
Bagi saya, ini adalah sisi manusia dari seorang Muhammad. Namun, kalau kita melihat dari perspektif yang lebih luas, Aisyah menjadi salah satu informan yang sangat penting terutama terhadap informasi-informasi yang berkaitan dengan isu-isu seksualitas Nabi dan bagaimana . Seperti bagaimana cara berhubungan ketika istri sedang menstruasi (particular case), atau pertanyaan-pertanyaan keagamaan lainnya seperti objek-objek najis yang bisa menyebabkan shalat tidak sah (general case).
Meskipun kita bisa berargumen bahwa nabi Muhammad menikah dengan beberapa perempuan karena alasan-alasan sosial dan politik tertentu, sumber-sumber Islam klasik telah menunjukkan ketertarikan fisik (physical attraction) dari seorang Nabi Muhammad SAW. Tidak jarang hal ini menimbulkan kecemburuan diantara istri-istri nabi.
Sebagai contoh, pada saat nabi menikah dengan Maria al-Kibtiyyah, istri-istri nabi yang lain merasa cemburu dengan kecantikannya. Begitu juga pada saat nabi menikah dengan Asma’ bint al-Nu‘man, istri-istri nabi yang lain bahkan memiliki rencana untuk mengasingkannya.
Sampai sini, kita perlu melihat secara spesifik konteks dari setiap peristiwa di atas. Mengapa? Karena tidak mungkin bahwa semua pandangan-pandangan di atas kita anggap sebagai wahyu yang bisa kita terima begitu saja. Dalam konteks ini, ilmu-ilmu tentang hadis menjadi sangat signifikan dalam memahami kehidupan pribadi nabi, apalagi sampai pada urusan seksualitas nabi.
Kita harus teliti dalam membedakan posisi Muhammad sebagai seorang nabi, manusia biasa, suami, orang tua, dan posisi-posisi lainnya. Ketelitian kita dalam memahami posisinya akan sangat menentukan bagaimana kita memahami sumber-sumber Islam yang dalam konteks ini membicarakan tentang virilitas atau seksualitas Nabi Muhammad SAW.
Menariknya, isu-isu yang berkaitan dengan pribadi nabi khususnya perihal seksualitas mendapatkan respon yang negatif dari kalangan orientalis. Pandangan-pandangan seperti ”Nabi kok poligami” atau bahkan tuduhan lebih parah seperti ”Nabi punya kecenderungan pedofil” menunjukkan bagaimana persepsi dari sebagian orang Barat terhadap Nabi Muhammad SAW.
Tentu saja pandangan demikian tidak muncul begitu saja. Terdapat alasan mengapa mereka sampai memberikan klaim seperti demikian. Contohnya, Kisah favorit di Eropa abad pertengahan adalah pernikahan Muhammad dengan Zaynab binti Jahsh setelah perceraiannya dengan Zayd bin Haritsa (anak angkat Nabi). Dalam pandangan mereka, relasi seksual Nabi Muhammad dalam peristiwa ini merupakan suatu perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang Nabi.
Cerita tentang sayyidah Aisyah juga menjadi perhatian dari kalangan orientalis. Memang banyak riwayat yang mengatakan bahwa Nabi menikahi Aisyah pada saat ia masih berusia sangat muda, bahkan beberapa berpendapat bahwa ia masih anak-anak. Cerita ini menjadi sasaran empuk bagi para orientalis untuk Mempersepsikan nabi sebagi seorang pedofilia.
Dalam konteks yang lebih luas, pandangan semacam ini tidak bisa dilepaskan dari semangat para orientalis di pertengahan abad ke-19 dalam mempelajari Islam dan Nabi Muhammad secara spesifik. Meskipun mereka berusaha untuk mengkaji secara akademis dan objektif, tetapi pandangan-pandangan stereotype tentang Islam tetap saja muncul. Di sini, image tentang virilitas dan seksualitas Nabi Muhammad SAW menjadi bagian dari isu yang sensitif. Pada saat yang sama, literatur-literatur orientalis memproyeksikan Islam “Timur” sebagai “sarang seksualitas”. Cara-cara seperti ini adalah bagian dari proyek besar kolonialisme Barat.
Lalu bagaimana respon para Sarjana Muslim modern terkait dengan isu ini?
Secara umum, pada saat itu juga beberapa sarjana Muslim modern memberikan respon yang cenderung defensive dan bahkan offensive. Reformis dari India, Sir Sayyid Ahmad Khan, di tahun 1870 merespon buku yang ditulis oleh William Muir tentang “Life of Original Muhammad from Original Sources”. Respon tersebut adalah bentuk kritikannya terhadap sarjana Barat yang menggambarkan pribadi Nabi Muhammad SAW. Setelah itu banyak muncul sarjana-sarjana Muslim lain seperti Syed Ameer Ali dan Muhammad Husayn Haikal yang menulis biografi Nabi Muhammad SAW.
“Perang wacana” terhadap biografi nabi ini menjadi penting karena berkaitan dengan bagaimana orang-orang Muslim memahami nabi, termasuk kehidupan pribadi nabi dalam hal seksualitas.
Salah satu sarjana Muslim modern yang concern dengan isu seksualitas Nabi adalah Naguib Mahfouz. Ia berpendapat bahwa sisi seksualitas Nabi merupakan bagian yang integral dari bagian “kemanusiaan” Nabi (sense of humanity).
Sebagai seseorang yang berkebangsaan Mesir, ia menjadikan sosok Nabi Muhammad sebagai pengejawantahan dari kehidupan imajinatifnya dan lingkungan sosial Mesir. Dia telah membawa kehidupan Nabi Muhammad kepada level baru yaitu suri tauladan yang berfungsi sebagai alegori ide filosofis dan spiritual. Dalam konteks ini, ia menyatakan bahwa seksualitas laki-laki adalah fakta kehidupan.
Citra virilitas dan seksualitas Nabi Muhammad SAW merupakan konstruksi dari produk masyarakat dan budaya setempat. Maka dari itu, pemilihan terhadap mana aspek-aspek universal dan partikular sangat penting untuk memetakan sisi seksualitas Nabi. Tidak mungkin keseluruhan citra tersebut kita tiru dan laksanakan secara apa adanya. [rf]