Saya tidak pernah berhenti mengagumi spirit yang menggelora para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan Islam (kira-kira 8-13/14 M yang sering disebut “Medieval Islam”) dalam mengembara mencari ilmu pengetahuan dan kebijakan. Dalam sejarah, abad ini dikenal sebagai masa gemilang atau “era emas” (Golden Age) yang telah melahirkan ribuan para ilmuwan hebat dari berbagai disiplin yang karya-karya agung mereka masih banyak kita saksikan hingga dewasa ini.
Fez, Kairo, Makah, Damaskus, Baghdad, Kufah, Merv, Granada, dan lain sebagainya adalah pusat-pusat pengetahuan dan peradaban Islam yang kaya-raya dan masyhur kala itu. Para santri Muslim (dan juga non-Muslim) mengembara dari satu kota ke kota lain untuk belajar, berguru dan menuntut ilmu di berbagai bidang dari para suhu yang mumpuni, baik Muslim maupun non-Muslim. Para suhu yang sudah mumpuni pun mereka tidak segan-segan belajar dari para suhu atau guru lain yang dipandang lebih mumpuni dan menguasai ilmu tertentu. Tidak peduli dari agama, mazhab dan aliran apa.
Dalam menuntut ilmu, mereka tidak pilah-pilih (“ilmu Islami” dan “ilmu tidak Islami” misalnya) karena bagi mereka semua ilmu yang baik bersumber dari Tuhan. Karena itu jangan heran jika kebanyakan para ilmuwan Muslim pada zaman itu adalah para “ulama polymath” yang mengusai berbagai ilmu pengetahuan dan produktif menulis di berbagai subyek, sangat kontras dengan umumnya para ulama di era “Bitza Hat” ini yang cuma bisa ceramah “ndolal-ndalil” tapi miskin karya akademik.
Waktu itu belum ada sepeda, motor, kereta api, mobil, apalagi pesawat terbang. Karena itu perjalanan pengembaraan mencari ilmu itu ditempuh dengan naik onta atau jalan kaki yang memakan waktu berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun singgah dari satu tempat ke tempat lain untuk menimba ilmu dan menemui sang suhu. Simak riwayat perjalanan para pengelana ilmu legendaris yang sangat heroik seperti Ibnu Fadlan dari Baghdad, Ibnu Jubair dari Andalusia (Spanyol), atau Ibnu Battutah dari Tangier, Maroko.
Karena lamanya pengembaraan, tidak jarang para ulama masyhur pada abad itu yang kelaparan karena kehabisan bekal di jalan yang membuat mereka terpaksa menjual pakaian untuk ditukar dengan makanan seperti pernah dialami oleh Muhammad Ibnu Katsir dari Tabaristan dan temannya seorang sejarawan dan ahli tafsir kenamaan, Ibnu Jarir al-Tabari.
Memang ada para santri yang membawa bekal melimpah karena dari keluarga kaya seperti ahli bahasa (linguist) Abu Ishaq al-Harbi atau Ibnu Khaldun, sejarawan dan sosiolog terkemuka kelahiran Tunisia tapi jumlahnya tidak seberapa. Ada pula yang mengembara bapak-anak sekalian seperti Abu Bakar al-Sijistani dan ayahnya ahli Hadis terkemuka, Abu Dawud, yang berkelana dari tanah kelahirannya di Sijistan ke Khurasan, Persia, Hijaz, Irak, Suriah, dan Mesir.
Apa yang ingin sampaikan disini adalah tentang spirit atau semangat mencari ilmu yang luar biasa dari berbagai sumber dan guru yang dilakukan para murid dan ilmuwan di abad pertengahan sehingga mampu mengantarkan Islam menjadi pionir pengetahuan dan peradaban dunia kala itu.
Sayang, spirit mencari ilmu yang “melintas-batas” itu kini telah lumer. Umat Islam dewasa ini hanya sibuk mikirin kelompoknya sendiri, ormasnya sendiri, mazhabnya sendiri, partainya sendiri, kepentingannya sendiri. Sebagian lagi sibuk mencari duit, proyek, dan harta-benda. Sebagian lagi sibuk mikirin dan mengoreksi iman orang lain, ibadah orang lain, “kekapiran” orang lain. Yang lain lagi sibuk mengharamkan persoalan remeh-temeh. Yang lain lagi sibuk berperang dengan bangsanya sendiri. Menyedihan sekali.
Jika mentalitas seperti ini tidak segera diubah, maka sulit umat Islam untuk maju dan berkembang di dunia pengetahuan dan teknologi di masa mendatang.
Jabal Dhahran, Arabia