Akhir-akhir ini, polarisasi gerakan masyarakat sipil kian menguat. Yang terkini, ada gerakan sipil yang bernama “KAMI”, “KAMI ala Mahasiswa”, dan “KITA”. Gerakan ini, disadari atau tidak, merupakan ekor dari Pilkada 2017 DKI Jakarta yang hingga detik ini, meminjam bahasanya Buya Syafii Maarif (2020), penyakit politik sektarian belum juga sembuh.
Menguatnya penyakit politik sektarian ini memunculkan kelompok-kelompok yang menganggap bahwa masalah negara adalah masalah pemerintah. Misalnya, resesi ekonomi di depan mata akibat pandemi, maling main mata dengan birokrasi, konflik agraria yang tak kunjung usai, penegakan hukum yang tumpul ke atas, hingga sampai pada urusan radikalisme-terorisme, itu semua menjadi rapor merah pemerintah.
Jika dipetakan, arus gerakan masyarakat sipil tersebut dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah penumpang gelap demokrasi. Bagi mereka, kebebasan berpendapat dalam demokrasi hanyalah instrumen untuk mencapai agenda politik mereka. Sekalipun sebenarnya kelompok ini tak begitu menyukai demokrasi, tapi mereka butuh demokrasi sepanjang tujuannya belum digapai. Kelompok ini dipresentasikan oleh para penjahat HAM dan pengasong ideologi khilafah.
Kelompok kedua adalah gerakan masyarakat sipil pegiat anti radikalisme-terorisme. Kelompok ini cenderung bergerak dan kerap melakukan aksi kontra radikalisasi. Tujuannya satu, yakni memberangus radikalisme-terorisme yang kemunculannya membahayakan eksistensi negara. Biasanya, kelompok ini digawangi oleh kaum santri dan mereka yang menegakkan jargon Islam moderat.
Kelompok terakhir, adalah para pegiat hukum dan HAM. Kelompok ini cenderung lebih akomodatif dan kompromis dalam menghadapi segala situasi. Bagi mereka, semua permasalahan yang dimiliki negara itu karena bentuk dari kelalaian pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, kelompok ini lebih terbuka bagi siapa saja yang ingin bermitra, sepanjang mengikuti jalannya konstitusi dan sistem demokrasi.
Kaitannya dengan pengklasifikasian ketiga kelompok tersebut, jika kita tarik ke belakang dan dibatasi hanya pada era konsolidasi-reformasi, maka awal mula polarisasi menguat dan akhirnya opini publik terpecah, adalah sejak Pilkada 2017 DKI Jakarta. Situasi ini didorong lagi oleh momentum dibubarkannya HTI melalui Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang seharusnya diproses melalui lembaga yudikatif.
Bagi pihak kontra, pemerintah dianggap sangat otoriter dan penegakan hukum dianggap jalannya miring. Seharusnya, meminjam bahasanya Jenedri M. Gaffar (2012), hukum dibuat bukan untuk menjamin kepentingan beberapa orang, melainkan untuk menjamin setiap warga negara. Adapun kelompok ini dipresentasikan oleh beberapa ormas Islam dan lembaga pro demokrasi.
Bagi mereka, Perppu tersebut – yang kini telah menjadi UU No. 16 Tahun 2017 tentang Ormas – merupakan langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Tak hanya itu, mereka pernah mengajukan gugatan terhadap Perppu tersebut, di antaranya adalah permohonan dengan nomor perkara 39/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto; permohonan dengan nomor perkara 41/PUU-XV/2017 diajukan oleh Aliansi Nusantara; permohonan dengan nomor perkara 48/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Yayasan Sharia Law Alqonuni dan beberapa pihak lainnya, dilansir dari Kompas.com (2017).
Sedang dari kubu pro Perppu, keputusan pemerintah sudah tepat. Kelompok ini dipresentasikan oleh Nahdlatul Ulama, Al Irsyad Al-Islamiyah, Al Washiliyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Mathla’ul Anwar, Yayasan Az-Zikra, Al-Ittihadiyah, Ikatan Dai Indonesia (IKADI). Rabithah Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Nahdlatul Wathan, dan Himpunan Bina Mualaf Indonesia, yang memandang positif Perppu ini dari segi kemanfaatannya dalam menangkal gerakan anti Pancasila dan anti Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilansir dari Kompas.com (2017).
Berdasar uraian tersebut, dapat kita pahami bahwa satu persoalan dapat berimplikasi pada pecahnya opini publik dan gesekan antar gerakan masyarakat sipil, apalagi Indonesia yang sekarang tentu banyak dan kompleks masalahnya, terlebih dalam situasi pandemi yang makin memburuk.
Saking kompleksnya, pemerintah sampai kelimpungan mensiasatinya. Di waktu yang bersamaan, sebagian dari tokoh politik malah asyik membentuk aliasi atau gerakan masyarakat untuk lekas-lekas memberikan “kartu merah” kepada pemerintah.
Sehingga, timbul sebuah pertanyaan, jika masalah negara itu menjadi urusannya pemerintah, lantas apa guna keberadaan kita atau lebih tepatnya, keberadaan para ahli, pengamat, pegiat, dan komponen gerakan masyarakat sipil. Apakah gerakan tersebut hanya bisa mengkritisi kebijakan namun miskin solusi?
Berangkat dari pertanyaan ini, seharusnya kita pikirkan lagi, jika semua permasalahan dan beban negara hanya dipikul oleh pemerintah semata, saya yakin, Indonesia akan kesulitan membawa penumpang lebih dari 268 juta jiwa ke pintu kesejahteraan.
Tugas pemerintah memang menjaga kedaulatan negara ini dan memastikan rakyatnya bisa hidup dengan aman, damai, dan sejahtera. Tapi, itu semua tak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri tanpa bantuan dari pihak lainnya misalnya, ya kita sendiri.
Walhasil, saya harap kita paham, bahwa masalah negara bukan hanya urusan pemerintah. Maka dari itu, daripada membebankan segala sesuatunya ke pemerintah, gerakan masyarakat sipil sudah seharusnya memberi tawaran solusi demi kesejahteraan warga negara Indonesia. [rf]