Sunan Kudus, salah satu dari anggota dewan Walisongo penyebar Islam di Nusantara, menggunakan pendekatan tasawuf dalam berdakwah. Beliau sangat ahli syariat, dan justru karenanya, bisa mendudukkan bahwa akhlak itu jauh lebih tinggi di atas fiqih.
Secara fiqih, syariat formal, sangat jelas bahwa menyembelih Sapi dan memakan dagingnya adalah halal. Namun beliau melarang hal itu, melarang para santrinya menyembelih Sapi dengan alasan demi menghormati pemeluk agama Hindu yang menganggap Sapi adalah hewan suci, karena simbol tunggangan Dewa Wisnu.
“Kularang kalian menyembelih sapi. Mari kita hormati pemeluk agama Hindu. Kalau mau makan daging, kerbau saja,” begitu kira-kira dhawuh Sunan Kudus apabila diIndonesiakan.
Sunan Kudus pasti tahu bahwa ajaran Hindu berbeda dengan ajaran Islam, namun beliau tidak menyalahkan ajaran Hindu, apalagi menghinanya. Seluruh atribut dan tradisi Hindu beliau hormati. Hingga sampai ketika membangun masjid, menaranya pun dibuat persis seperti bangunan Pura atau Candi.
Bayangkan seandainya di masa Sunan Kudus sudah ada MUI dan FPI. Serta merta beliau akan dicaci maki sebagai ulama munafiq pembela kapir, tukang melecehkan Islam dan menista agama.
Mungkin pula akan didemo atau disweeping dengan dalih telah mencampur adukkan agama Islam dan agama Hindu.
MUI pernah mengeluarkan fatwa Haram terhadap pluralisme, maka andai MUI ada di jaman Sunan Kudus, bisa jadi Sayyid Ja’far Shodiq itu akan divonis FPI dengan dukungan GNPF MUI sebagai dedengkot pluralis yang telah merusak akidah umat Islam.
Mari kita bandingkan, Sunan Kudus secara nyata telah berhasil gemilang membuat warga Kudus masuk Islam. Seratus persen warga Hindu di Kudus masuk Islam hanya dalam waktu singkat, karena merasa dihormati keyakinanya, dihargai perasaan keagamannya.
Islam yang datang kepada mereka adalah agama yang lembut, ramah dan penuh kemuliaan. Merasa bahwa Dewanya pun dihormati, mereka sukarela masuk Islam, lalu bergotong royong membangun menara masjid Al Aqso yang terkenal sebagai Menara Kudus itu.
Sampai sekarang, warga Kudus tidak berani menyembelih sapi karena menaati larangan Sunan Kudus itu. Tak ada jagal sapi di Kudus. Padahal sekarang sudah tidak ada warga selain muslim. Sampai sekarang pula, Anda pasti kesulitan menemukan pemeluk Hindu di Kudus. Jadi, Islamnya orang Kudus yang dulu banyak pemeluk Hindu, bertahan kuat sampai kini.
Dan perlu kita ketahui, Kudus adalah satu-satunya nama daerah di Indonesia yang memakai kata dari bahasa Arab. Kudus dari Quddus yang artinya suci. Masjid yang beliau dirikan bersama para muallaf dari Hindu itupun dinamai dengan nama Arab’ Al Aqsho. Jadi, betapa hebatnya Sayyid Ja’far Shodiq. Beliau bisa mengislamkan orang Hindu dan menamai daerah dengan nama Arab.
Nah, coba bayangkan seandainya Sunan Kudus memakai cara seperti MUI saat ini, mengharamkan orang Islam memakai busana mirip orang Hindu, mengharamkan udheng, jarit, sarung dan sebagainya yang saat itu merupakan pakaian ibadah orang Hindu.
Karena fatwa haram tersebut lantas orang Hindu merasa dihina kesuciannya, dianggap najis busana yang meraka pakai, bahkan diprovokasi dengan kebencian plus tindakan kriminal pengikut FPI macam di Solo dan Jakarta, apakah ada orang Hindu yang mau masuk Islam? Apakah Islam akan bisa masuk dan berkembang di Jawa dan Nusantara? Dan apakah kita semua, termasuk bapak dan ibu yang ada di MUI akan mernjadi manusia beriman?
Sedangkan orang-orang beragama Islam sekarang ini adalah keturunan dari orang Islam di masa lalu, yang nenek moyangnya dulu kemungkinan bukan pemeluk Islam.
Jadi benar apa yang disampaikan teman saya di Langgar Mbah Masroh (Pondok Biharul Mutaallimin) Sedan Kabupaten Rembang, menurut beliau, di tangan MUI sekarang, agama Islam berada dalam BAHAYA. Sungguh keadaan BAHAYA.