Film Tilik (2018) sudah ditonton 12 juta pasang mata di kanal Youtube – bahkan bisa akan terus bertambah. Saya penasaran bagaimana sebenarnya film ini bisa mendapatkan sambutan yang begitu besar dan dalm tempo seminggu setelah dirilis di kanal Youtube pada tanggal 17 Agustus 2020, ia masih terus menjadi perdebatan di media sosial.
Tokoh-tokoh di dalam filmnya terus saja menjadi perbicanganan. Mulai Bu Tejo yang digambarkan sebagai pengejawantahan model emak-emak di kampung yang senang bergosip. Hingga sosok Gotrek yang namanya nyentrik dan bagi kalangan yang biasa hidup di kampung seperti saya, nama Gotrek mengingatkan akan nama serupa yang punya keunikan dan kekhasan, seperi: Panjul, Kenthus, Gendon, Komper, dan nama-nama “planet” lainnya.
Dahsyatnya, antusiasme perbicangannya film ini telah sampai di kampung saya. Beberapa hari lalu, tiba-tiba saja Ibu saya menceritakan tentang film Tilik beserta nama dan karakter tokoh-tokohnya. Sampai akhirnya saya tanya “Kalau di rumah, Bu Tejo itu seperti siapa Bu?”. Lantas saja Ibu langsung menyebutkan nama-nama Mbak A, Mbokde B, Yu C, hingga Mbah D.
“Kalau di tempat rewangan (acara bantu-bantu masak di rumah tetangga yang hajatan), mereka itu juaraaa!!” Ibu saya menyimpulkannya dengan tangkas!
Jika dilihat dari sini, sebetulnya salah satu faktor yang membuat film Tilik mendapatkan banjir penggemar adalah karena ia mewakili dari entitas riil yang ada di masyarakat yang sekaligus selama ini jarang diangkat dalam cerita-cerita sinetron maupun film. Bahkan ketidakterwakilan para emak-emak ini mereka jumpai sendiri dalam sinetron-sinetron yang mereka tonton dalam kesehariannya.
Di jagad persinetronan televisi kita selalu saja disuguhkan kisah-kisah perebutan harta bersetting rumah bak istana, perselingkuhan, hingga remaja-remaja mainan motor mahal yang menye-menye.
Di layar televisi, sosok-sosok seperti emak-emak yang hidup di kampung dengan berbagai aktivitasnya mulai dari pengajian, mengunjungi tetangga yang sakit, hingga bergosip, dan cerita-cerita kesederhanaan dan keakraban masyarakat kampung seperti itu hampir tidak pernah kita jumpai di belantara persinetronan kita.
Sesekali saja sinetron yang mengangkat cerita orang-orang pinggiran seperti “TOP (Tukang Ojek Pengkolan)”. Meski ceritanya seputar bagaimana masyarakat pra-sejahtera bergumul dalam keseharian, namun tetap saja settingnya adalah perkotaan. Dari berbagai situasi tidak adanya representasi kaum emak-emak kampung dalam panggung sinema kita, maka film Tilik ini bagaikan mata air di tengah gersangnya gurun pasir.
Oh iya, salah satu hal lagi yang membikin rasa keterwakilan dan keterhiburan emak-emak di kampung adalah penggunaan bahasa Jawa di film ini. Emak-emak yang hidup di berbagai pedesaan Jawa ataupun transmigran di luar Jawa, kesehariannya menggunakan bahawa Jawa dalam berkomunikasi. Adapun bahasa Indonesia, bagi mereka, adalah bahasa formal untuk kegiatan publik yang berbau kenegaraan, seperti di sekolah ataupun kegiatan di desa yang dihadiri para pejabat kabupaten.
Fenomena kerinduan terhadap bahasa Jawa dalam panggung budaya populer ini nampaknya sejalan dengan fenomena besarnya antusias terhadap musisi-musisi pop Jawa seperti almarhum Didi Kempot, Denny Caknan, Vita Alvia, Nella Kharisma hingga Via Vallen dll.
Masyarakat kampung, khususnya emak-emak, merasa menemukan sebuah keterwakilan budaya kesehariannya di panggung hiburan. Sebuah posisi dimana mereka menjadi subjeknya dalam sebuah produk kebudayaan, setelah sekian lama hanya menjadi konsumen pasif produk budaya dengan latar perkotaan metropolitan yang “nun jauh di sana” itu.
Film Tilik: Kisah Realitas Kita Menghadapi Hoaks, Kadang Membela, Kadang Menolak
Film ini tak hanya banjir pujian. Namun, juga menuai perdebatan sengit yang menyertainya. Perdebatan yang paling ramai terjadi di Twitter, namun seperti halnya kecenderungan umum khas perdebatan warga Twitter bahwa perdebatannya menjadi melebar dan seringkali hanya berisi olok-olok semata dari kacamata orang yang tinggalnya jauh dari desa.
Meski demikian, masih bisa kita ambil garis besar perdebatannya. Salah satu yang menjadi perdebatan adalah perihal kecenderungan film ini yang mengukuhkan stereotype perempuan bahwa perempuan hanya identik dengan gosip dan citra negatifnya bagi perempuan yang bekerja itu bukan wanita baik-baik.
Kritik tersebut sudah dilontarkan Hikmat Darmawan, seorang kritikus film profesional. Kritiknya sangat argumentatif dan terkait poin-poinnya saya setuju dengan kritik itu. Adanya sebuah kritik, apalagi dari profesional, tentu saja sangat baik dalam iklim perfilman kita. Dan kabarnya sutradara film ini, Wahyu Agung Prasetyo, menerima baik masukan ini. Toh, kritik mengkritik dalam dunia kesenian merupakan hal yang lumraah adanya.
Jika saja di lain kesempatan akan ada film pendek dengan latar masyarakat kampung ini, saya mengusulkan beberapa potret yang menyuguhkan sisi emansipasi kaum perempuan versi masyarakat kampung.
Kampung saya menyediakan potret kehidupan emak-emak yang sangat beragam: tak hanya menjadi ibu rumah tangga, tapi banyak yang menjadi pekerja juga. Ada emak-emak yang bekerja di unit usaha rumahan, mencangkul di sawah, kebun, menjadi guru, hingga memegang jabatan publik sebagai kepala daerah.
Dengan demikian, cerita-cerita film dengan latar pedesaan masih banyak yang bisa dieksplorasi ceritanya. Beragai cerita-cerita problematika hidup keseharian yang penuh kesulitan sekaligus keakraban dan kehangatan khas masyarakat kampung, masih menanti untuk difilmkan. Semoga saja ada yang mengeksekusinya.