Islam merupakan agama yang lengkap dan komplit, dengan seperangkat syariat Islam berupa aturan-aturan yang terdapat di dalamnya. Aturan-aturan tersebut tidak lain bertujuan supaya kehidupan manusia, khususnya umat Islam bisa menghasilkan sebuah kemaslahatan dan kebahagiaan baik di dunia dan akhirat. Begitu juga dalam perihal hukum, Islam memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi dan terus berkembang di setiap zamannya.
Cara-cara tersebut biasa dikenal dengan nama Ushul Fiqh, sebuah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan perihal metode-metode yang digunakan untuk menggali atau mengeluarkan hukum-hukum yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang rinci. Definisi ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya Ilm Ushul Fiqh.
Dalam perkembangannya, Ushul Fiqh kemudian melahirkan sebuah kajian baru, jika itu belum disepakati sebagai disiplin ilmu baru. Kajian tersebut bernama Maqasid Syariah. Yang mana pada awal kemunculannya, Maqasid Syariah belum mempunyai sebuah definisi yang jelas, sebab masih berupa berbagai teori-teori yang tercecer dalam kitab-kitab Ushul Fiqh. Termasuk ketika Imam al-Syatibi membahas Maqasid Syariah menjadi sebuah pembahasan khusus dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushulli al-Syariah. Dalam kitabnya tersebut, Imam al-Syatibi sama sekali tidak memberi penjelasan atau pengertian mengenai apa itu Maqasid Syariah.
Melacak Sejarah Istilah Maqasid Syariah dan Karya Ulama yang Membicarakannya (1)
Akan tetapi pasca al-Syatibi wafat, kajian Maqasid Syariah pernah mengalami kemandegan sebelum akhirnya muncul nama Ibnu Asyur yang memberikan definisi Maqasid Syariah. Hal tersebut dilakukan oleh Ibnu Asyur dalam rangka menjadikan Maqasid Syariah sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang lepas dari Ushul Fiqh.
Maqasid Syariah, secara sederhana bisa diartikan sebagai “tujuan-tujuan syariat Islam”. Dan jika diurai serta ingin didefinisikan, ia terdiri dari dua kata yaitu Maqasid dan Syariah. Kata Maqasid adalah bentuk plural dari kata maqshad, yang bermakna tempat yang dituju sebagaimana terdapat dalam Mu’jam al-Wasith.
Kata tersebut jika diuraikan, berasal dari timbangan kata qashada-yaqshudu-qashdan. Yang mempunyai arti jalan yang lurus, berpegang teguh, adil, maksud atau tujuan sebagaimana yang terdapat dalam kamus Lisanul Arab. Sedangkan kata Syariah, mulanya digunakan untuk menunjukkan air yang mengalir dari sumbernya, kemudian digunakan untuk menunjukkan kebutuhan makhluk hidup terhadap air.
Adapun secara etimologi, kata Syariah berarti agama. Dan secara terminologi, Syariah mempunyai arti aturan-aturan yang telah disyariatkan Allah SWT yang berkaitan dengan akidah, dan berbagai hukum-hukum amal perbuatan. Definisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Sa’ad ibn Ahmad ibn Mas’ud al-Yubi dalam karyanya Maqasid Syariah al-Islamiyah wa Alaqotuhu bi Adillat al-Syar’iyah. Sedangkan menurut Ahmad ar-Raysuni dalam karyanya al-Fikr al-Maqasidi Qawaiduhu wa Fawaiduhu, Syariah diartikan sejumlah hukum-hukum amaliyah (perbuatan) yang terkandung dalam Islam, yaitu melalui Al-Qur’an dan Sunnah yang mengajarkan tentang akidah dan legislasi hukum.
Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber utama hukum Islam, kemudian melahirkan berbagai hukum, mazhab dan aliran serta berbagai macam cabang keilmuan. Dan Islam sendiri adalah mengenai Syariah dan Aqidah. Atau bahasa singkatnya, Syariah adalah ketentuan yang ada di Al-Quran dan Hadis.
Sehingga Maqasid Syariah menurut Ahmad ar-Raysuni diartikan sebagai tujuan, target atau hasil akhir berupa kemaslahatan hakiki dengan ditetapkannya hukum pada manusia oleh al-Syari’ (Allah SWT). Jauh sebelum Ahmad ar-Raysuni, Muhammad Thahir Ibnu Asyur yang dijuluki sebagai Syaikhul Maqasid Tsani memberi pengertian Maqasid Syariah dalam kitabnya Maqasid Syariah al-Islamiyah, yaitu makna-makna dan hikmah-hikmah yang dijaga oleh Syari’ dalam setiap ketetapan-Nya. Makna-makna serta hikmah-hikmah tersebut, tidak hanya dikhususkan pada hukum-hukum tertentu saja. Melainkan masuk juga ke dalam berbagai sifat hukum, tujuan umum, makna-makna yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum bahkan makna-makna yang tidak diperhatikan oleh suatu ketetapan hukum.
Sedangkan menurut Umar ibn Shalih ibn Umar, dalam karyanya Maqasid Syariah ‘inda al-Imam Izzudin ibn Abdissalam, Maqasid Syariah adalah tujuan akhir dan rahasia bahkan nilai atau norma serta makna makna ditetapkannya sebuah hukum.
Definisi mengenai Maqasid Syariah juga dikemukakan oleh Ismail Hasani, melalui karyanya Nadzariyat al-Maqasid ‘inda al-Imam Muhammad Tahir ibn Asyur. Menurutnya, Maqasid Syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan Syari’, di setiap atau di sebagian besar hukum yang ditetapkan-Nya. Atau tujuan, dan rahasia hukum yang ditetapkan Syari’.
Sedangkan menurut Babikr al-Hasan dalam Falsafah Maqasid al-Tasyri’ fi al-Fiqh al-Islami, Maqasid Syariah adalah makna-makna, tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah yang diperhatikan oleh Syari’ dalam penetapan hukum, atau rahasia-rahasia yang melatarbelakangi terbentuknya hukum-hukum tersebut.
Jika dilihat dari semua definisi yang dikemukan oleh para pengkaji Maqasid Syariah tersebut, semuanya bermuara dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Asyur. Dan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Asyur sendiri bisa dikatakan sebagai perluasan makna terhadap Maqasid Syariah. Sehingga definisi yang dibuat oleh Ibnu Asyur telah membuat Maqasid Syariah mempunyai posisi penting dalam metodologi penetapan hukum Islam. Di mana Ibnu Asyur mengemukakan kata sifat hukum, yang dalam Ushul Fiqh sifat hukum tersebut biasa disebut dengan illat (motif) hukum.
Oleh karena itu, Maqasid Syariah tidak hanya terbatas mengenai untuk apa suatu hukum itu ditetapkan, tetapi berkaitan juga dengan mengapa hukum itu ditetapkan. Selain itu, Maqasid Syariah juga masih diperdebatkan mengenai kaitannya dengan hikmah ditetapkannya hukum dan ada juga yang berkaitan dengan motif (illat) adanya hukum.
Jadi inti yang ingin dicapai dari Maqasid Syariah (tujuan-tujuan Syariat Islam) adalah tercapainya sebuah kemaslahatan terhadap seorang hamba, baik itu di dunia maupun di akhirat tanpa bertentangan dengan aturan-aturan yang dibuat oleh Allah Swt.
Dalam maksud lain, tujuan Syariat Islam adalah mencegah kerusakan dan menarik sebuah kemaslahatan. Baik itu dalam hal ibadah maupun muamalah, baik yang bersifat duniawi maupun akhirat. Karena tujuan-tujuan Syariah adalah mewujudkan sebuah kemaslahatan, maka seharusnya gagasan untuk menerapkan Syariah Islam adalah mewujudkan kemaslahatan untuk umat manusia dan alam semesta. Yang mana kemaslahatan tersebut meliputi penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, harta, lingkungan, dan lain sebagainya.