Dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita merdeka lepas dari kekangan imperialisme bangsa Indonesia harus menebusnya dengan pengorbanan tenaga, pikiran, jiwa dan raga bahkan nyawa para perintis dan pejuang bangsa, tentu bukan perjalanan yang pendek dan lurus tanpa hambatan, tetapi perjalanan panjang yang penuh rintangan.
Perjuangan kemerdekaan merupakan upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Nilai dasar perjuangan berperan sebagai pemicu membangkitkan semangat bangsa dalam upaya pengimplementasian pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Banyak cara untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia agar tercipta kehidupan masyarakat yang adil dan makmur merata secara material dan spiritual terwujud, diantaranya adalah menanamkan Nilai persatuan dan kesatuan, Nilai rela berkorban, Nilai kemanusiaan, Nilai musyawarah mufakat, Nilai saling menghargai serta Nilai cinta tanah air.
Hubungan Islam dan negara selalu menjadi wacana menarik untuk diperbincangkan. Di Indonesia, perdebatan tentang perlu atau tidak peran Islam dalam negara sudah dimulai sejak negara belum merdeka. Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling krusial adalah menyepakati dasar negara. Hampir seluruh anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan), memilih bentuk republik. Namun setelah diskusi panjang tentang posisi Islam di dalam kehidupan bernegara, para pendiri bangsa (the founding fathers) itu berhasil mencapai kesepakatan bahwa Negara Republik Indonesia bukanlah sebuah Negara Teokrasi, melainkan negara yang di dalamnya Islam dan kehidupan berislam mendapat tempat yang sangat terhormat dan dilindungi sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 UUD 1945.
Dalam sejarah Indonesia modern, pemaknaan dan pelaksanaan kedudukan agama dalam negara mengalami dinamika tarik ulur, terutama antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis, atau kelompok “nasionalis Islam” dengan kelompok “nasionalis sekuler”. Hal ini terjadi pada sidang-sidang Konstituante 1956-1959 yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saling Tarik ulur antara Islam dan Pancasila (atau antara orientasi Keislaman dan Keindonesiaan) juga terjadi di awal-awal periode Orde Baru (1966-1998) dan awal-awal era reformasi (1998-sekarang).
Perdebatan antara Keislaman dan Keindonesiaan kadang-kadang masih terjadi antara orientasi keagamaan dan orientasi kebangsaan sekuler. Hal ini diperburuk dengan munculnya kelompok-kelompok ekstrim keagamaan dan ekstrim kiri, yang menuntut penghidupan kembali PKI. Sebagian dari aliran-aliran atau kelompok-kelompok itu, terutama kelompok puritan, radikal dan ekstremis, telah merusak karakteristik Indonesia yang damai, moderat dan toleran.
Menurut pandangan Islam, Negara memiliki peran memelihara agama, mengurus rakyat, menjaga keamanan dan keselamatan, serta menjaga keharmonisan agama-agama lain. Negara juga berperan dalam merealisasikan akidah dan nilai-nilai ajaran Islam. Serta menjalankan peran kekhalifahan, yang mewujudkan kesejahteraan dan keamanan. Berbeda dengan sekularisme yang mengabaikan agama dan memisahkan negara dari aturan agama. Negara akan mencampuri urusan agama, jika terdapat hal yang bisa merugikan negara.
Dalam hubungannya dengan negara, agama menduduki posisi penting sebagai kebenaran yang harus diwujudkan pada realitas dan menjadi landasan pembangunan suatu negara. Agama memiliki empat peran dalam sebuah negara; agama sebagai faktor pemersatu, agama sebagai pendorong keberhasilan proses politik dan kekuasaan, agama sebagai legitimasi sistem politik, dan agama sebagai sumber moralitas. Selain itu juga Islam merupakan sebuah sistem kehidupan yang menuntut penganutnya untuk aktif mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai sumber inspirasi dan motivasi, landasan etika dan moral dalam membangun peradaban di Indonesia.
Tujuh puluh lima tahun sudah bangsa Indonesia merdeka, hendaknya muslim Indonesia berperan aktif dalam reaktualisasi nilai-nilai keislaman dalam bingkai keindonesiaan, yaitu nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila yakni berketuhanan, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan dan kesatuan, nilai kebijaksanaan dalam kepemimpinan, dan nilai keadilan. Pancasila secara subtantif adalah nilai-nilai ajaran Islam, umat Islam Indonesia membangun ilmu, sistem dan tatanan kemasyarakatan yang tertata secara baik itulah cara muslim Indonesia sebagai bangsa dalam membangun sebuah peradaban Islam tanpa nama Islam secara formal, serta dapat bersaing dan mengungguli peradaban dunia lainnya, secara cerdas dan bermartabat.
Referensi
Syafi’i Ma’arif, Ahmad, 2002, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Jakarta: Teraju.
Wan Zahidi Wan Teh, 2002, Pelaksanaan Siyasah Syar’iyyah dalam Pentadbiran Kerajaan, Malaysia: Hazrah Enterprize.
Ibnu Khaldun, Abdurahman. 2003, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah..