Pandemi ternyata tak hanya dirasakan umat Nabi Muhammad, para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW juga pernah melewati masa-masa kritis penyakit menular. Siapa saja mereka? Apakah mereka bisa menemukan solusinya?
Kita mungkin sering mengeluh ketika wabah Corona ini menganggu kehidupan. Wabah ini seakan-akan musuh yang berat bagi kita. Sebagian orang ada yang nyawanya terancam saat berada di masa-masa pandemi. Sebagian lain ada yang merasa hanya dirugikan, sebab beberapa aktivitasnya menjadi terganggu oleh wabah Corona, baik aktivitas ekonomi bahkan sosial.
Ternyata bukan pertama kalinya bumi kita ini terserang oleh wabah penyakit secara besar-besaran. Sebelum-sebelumnya ada juga wabah dengan jenis lain yang tak kalah besar dan sangat merugikan manusia. Hal tersebut memunculkan beberapa respon kita terhadap wabah penyakit tersebut. Ada yang merasa sangat ketakutan dan melakukan protokol kesehatan secara berlebihan. Bahkan ada yang bersikap masa bodoh karena takdir kematian ada di tangan Tuhan.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai manusia yang baik dan beragama Islam saat mengalami pandemi tersebut? Hal itu sudah di contohkan oleh para nabi terdahulu.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 243 disebutkan bahwa pada jaman terdahulu terdapat sebuah wabah penyakit di suatu kota dan mematikan banyak sekali umat manusia.
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedangkan jumlahnya ribuan karena takut mati? Lalu, Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian, Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
Dalam asbabun nuzul-nya, mereka menganggap bahwa dengan keluar dari kota yang mereka tempati merupakan cara terbaik. Untungnya ketika mereka berada di kota lain, kematian sebab wabah itu dapat sedikit berkurang dan kemungkinan untuk hidup sangat besar. Mereka sangat berbangga diri telah berhasil menjauh dari kematian sehingga mereka lupa bersyukur atas nikmat Allah yang Allah berikan.
Nabi Hizqil (nabi yang diutus pada masa itu) sempat memperingatkan sikap mereka yang lalai setelah berhasil mencegah kematian masal saat wabah tersebut. Namun mereka tak menghiraukannya, mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasa dan melalaikan Allah SWT. Sehingga Allah menimpakan kembali wabah yang sempat mereka hindari sampai mereka benar-benar bersyukur dan mengingat Allah.
Dalam hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid telah dijelaskan bahwa, “Tha’un (wabah penyakit menular) merupakan peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-hamba-Nya dari golongan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu terjangkit di negeri kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.”
Dalam hadis di atas kita diperintahkan oleh Nabi Muhammad untuk berikhtiar menjauh dari wabah dan berusaha menjauh dari orang-orang yang terdampak wabah penyakit itu (sosial distancing). Sebab tiada yang tahu kapan wabah itu menular ke kita atau kita menularkan penyakit tersebut ke orang-orang yang kita sayangi.
Selain itu, secara tersirat kita juga harus menjaga kesehatan diri kita sendiri baik menjaga dari dalam tubuh (seperti berolahraga dan mengkonsumsi makanan-makanan yang bergizi) maupun dari luar tubuh (seperti mencuci tangan atau menggunakan alat pelindung diri)
Dari ayat dan hadis yang telah dipaparkan, kita tahu bahwa wabah penyakit merupakan makhluk Allah SWT yang tidak boleh diremehkan namun kita juga tidak perlu terlalu terlalu panik. Mereka didatangkan oleh Allah untuk menguji kita (hamba-Nya). Tinggal kita sendiri yang harus menyikapinya dengan baik dan mencontoh sikap para nabi perihal menghadapi pandemi, seperti dengan melakukan sosial distancing, menjaga kebersihan dan menjaga diri dari penularan wabah sebagai langkah ikhtiar kita, serta berdoa sebagai langkah tawakal kita. Dan yang terpenting adalah bersyukur jika pandemi itu mulai menyusut bahkan menghilang. (AN)