Istilah Maqasid Syariah pada perkembangannya muncul dalam penerapan berbagai metode Ushul Fiqh seperti al-qiyas, al-istihsan dan al-maslahah. Walaupun begitu, Maqasid Syariah belum terlihat sebagai bagian dari studi pemikiran hukum Islam tersendiri. Sehingga muncul pengembangan teori “kebutuhan publik” oleh al-Juwaini (w.478 H/1085 M) pada abad ke-5 H. Al-Juwaini atau yang dikenal dengan Imam Haramain adalah ulama terkemuka kelompok Asy’ariyah sekaligus ahli Ushul Fiqh.
Baca juga bagian pertama tulisan ini: Melacak Sejarah Istilah Maqasid Syariah dan Karya Ulama yang Membicarakannya (1)
Metode-metode yang ada sampai abad ke-5 H, ternyata tidak mampu menjawab problem peradaban yang terus berkembang. Sehingga kemudian teori-teori seperti al-maslahah al-mursalah muncul sebagai metode yang mencakup “apa yang tidak disebutkan dan yang ada dibalik teks-teks suci”.
Adapun para ulama Ushul Fiqh yang berpengaruh dalam teori Maqasid Syariah dari abad ke-5 H sampai ke-8 H adalah Abu al-Ma’ali al-Juwaini (w. 478 H/1085 M), Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Izzudin Ibn Abdissalam (w. 660 H/1209 M), Syihabuddin al-Qarafi (w. 684 H/1285 M), Syamsuddin Ibn al-Qayyim (w. 748 H/1347 M), dan Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H/1388 M).
Al-Juwaini sebagai pencetus “teori kebutuhan publik”, menulis kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Yang merupakan karya Ushul Fîqh dengan pembahasan tentang “jenjang-jenjang kebutuhan dasar” atau dikenal dengan al–dharuriyyah, al-hajiyyah, al-tahsiniyyah. Al-Juwaini juga menyarankan lima jenjang Maqasid Syariah, yaitu al-dharurah, al-hajah, al ‘ammah, al-makrumah, al-mandubah, dan apa yang tidak bisa dikembalikan pada sebuah maksud yang jelas atau spesifik.
Adapun al-Ghazali sebagai pencetus ‘jenjang-jenjang keniscayaan’, mengembangkan teori al-Juwaini dalam kitabnya al-Mustashfa. Al-Ghazali mengawali mengartikan maslahah sebagai suatu ibarat untuk menarik manfaat, dan menolak kerusakan dalam diri makhluk. Dalam hal ini, kemaslahatan makhluk adalah tujuan akhir yang ingin dicapai. Dengan demikian, kemaslahatan sama halnya dengan memelihara tujuan-tujuan syariat. Di mana tujuan-tujuan syariat yang ada pada makhluk terdapat lima macam, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta.
Setelah al-Ghazali, ada nama Fakhruddin al-Razi (w.606 H). Lewat kitabnya al-Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul, beliau mengemukakan gagasan yang berbeda terkait dengan urutan al-ushul al-khomsah dengan mendahulukan menjaga jiwa di atas menjaga agama, sebagaimana yang terdapat dalam karyanya tersebut. Ulama selanjutnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Abd al-Rahman (w. 546 H), yang menulis kitab Mahasin Islam wa Sharai al-Islam.
Kemudian ada nama Izzudin Ibn Abdissalam (w.660 H/1209 M), yang menulis dua kitab mengenai Maqasid. Di dalam dua kitabnya inilah, beliau membahas hikmah di balik aturan-aturan syariat yaitu: Maqasid al-Shalah dan Maqasid al-Shaum. Akan tetapi, sumbangan-sumbangan besarnya dalam teori Maqasid Syariah justru terdapat dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam.
Setelah Izzudin Ibn Abdissalam, ada nama Najmuddin al-Thufi (w.716 H). Beliau adalah ulama yang banyak menimbulkan kontroversi pada masanya, karena gagasannya banyak mencemaskan para ulama waktu itu. Hal tersebut tidak lain karena Najmuddin al-Thufi memberikan porsi sangat besar dalam penggunaan akal, atau lebih mengutamakan penggunaan maslahah.
Setelah al-Thufi, ada Ibnu al-Taimiyah (w.728 H) yang mempunyai kontribusi dalam kajian Maqasid Syariah yang diaplikasikan langsung kedalam fatwa-fatwanya di kitab Majmu’ al-Fatawa al-Kubro. Muhammad Husayn, al-Tanzir al-Maqasidi.
Pasca Ibnu Taimiyah, ada Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dari mazhab Hanbali. Dengan kritikan-kritikannya terhadap praktek rekayasa hukum, atau al-hiyal (sesuatu yang bisa menjadi media untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal). Nama ulama lain setelah Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah adalah Tajuddin as-Subki (w. 771 H), dengan karyanya Jam’u al-Jawami’ yang memberi tambahan al-kulliyah al-khomsah dengan memelihara kehormatan (hifdz al-irdh).
Setelah itulah muncul nama Abu Ishaq al-Syatibi Ibrahim bin Musa al-Maliki (w.790 H/1388 M), ulama mazhab Maliki yang berhasil menyusun Maqasid Syariah menjadi dasar-dasar hukum Islam. Melalui karyanya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, beliau berhasil memberi sumbangan besar terhadap pengembangan kajian ini dengan mentransformasikan tiga hal penting:
Pertama, menjadikan Maqasid Syariah sebagai asas-asas hukum. Kedua, menjadikan Maqasid Syariah dari sebuah hikmah yang ada dibalik aturan menjadi sebuah dasar aturan. Ketiga, Maqasid dari sebuah ketidaktentuan menjadi sebuah keyakinan.
Sepeninggal al-Syatibi, kajian Maqasid Syariah mengalami kemandekan dan baru lima abad setelahnya muncul nama Ibnu Asyur (w. 1393 H/1973 M), lewat karyanya Maqasid Syariah al-Islamiyah yang berusaha mengeluarkan Maqasid Syariah dari Ushul Fiqh dengan menjadikan disiplin keilmuan baru. Hal tersebut dilakukan oleh Ibnu Asyur karena persoalan-persoalan yang berkembang, dan persoalan kekinian lebih relevan jika dikaji dengan pendekatan Maqasid, karena pendekatan ini lebih mengarah kepada penggunaan ‘illah hukum daripada penggunaan aspek kebahasaan sebagaimana yang dominan dalam ilmu Ushul Fiqh. Akan tetapi, pendapat tersebut masih diperselisihkan oleh banyak ulama para pengkaji pemikiran hukum Islam. Selain Ibnu Asyur, ada juga Alal al-Fasi dari Maroko (w.1974 M) yang menulis Maqasid Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha.
Setelah era Ibnu Asyur dan Alal al-Fasi, ada nama seperti Nuruddin al-Khadimi yang juga ingin menjadikan Maqasid Syariah sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Maqasid Syariah kemudian banyak dikaji oleh para pemerhati pemikiran hukum Islam dan para ulama dunia seperti Hasan al-Turabi, Jaser Audah, Ahmad al-Raisuni, Muhammad Khalid Mas’ud, Jamaludin al-Athiyyah, Yusuf al-Qaradhawi, Ali Jum’ah, Abdul Majid Najjar, Abdullah bin Bayyah, dan Abdullah Ahmad An-Na’im.
Adapun di Indonesia memunculkan nama para ulama seperti KH. Sahal Mahfudh, KH. Ali Yafie dan lainnya. Selain itu, kajian-kajian Maqasid Syariah juga banyak berkembang di negara-negara yang mayoritas bermazhab Maliki, walaupun pada awalnya kajian ini banyak dirumuskan oleh para ulama yang bermazhab Syafi’i.
Oleh karena itu, untuk melihat sejak kapan Maqasid Syariah itu maka akan lahir dua kesimpulan: pertama, dalam perspektif hanya sekadar wacana ilmiyah yang diperbincangkan dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, maka sejarah awalnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW. Karena kata Maqasid merupakan sinonim dari kata hikmah, illah, al-ma’ani, dan al-asrar (rahasia). Namun, jika Maqasid Syariah dianggap sebagai sebuah disiplin kajian tersendiri, atau keilmuan yang mempunyai definisi dan kerangka pembahasan tersendiri, maka sejarah awalnya bisa dinisbatkan kepada Imam al-Syatibi.