Saat menggali sumur zamzam, Abdul Muthalib menemukan harta karun. Saat itu, orang-orang yang tidak setuju dengan keputusannya malah berebut harta karun hasil galiannya.
Selama beberapa tahun Mekah dipegang oleh kabilah yang berbeda-beda. Ajaran Nabi Ibrahim dari waktu ke waktu luntur dan membaur dengan kepercayaan paganisme. Mereka masih mengenal Allah akan tetapi sebagai Tuhan yang begitu jauh. Keberadaan Allah seakan-akan hanya simbol bagi mereka, karena pada zaman itu penduduk Mekah lebih banyak menyembah berhala yang terletak di dekat Ka’bah.
Penduduk Mekah lama-lama lupa dari mana asal dunia ini dan tidak memercayai bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dari tahun ke tahun, akhirnya kota ini jatuh ke tangan klan Quraisy, yang masih ada beberapa orang yang menganut ajaran Nabi Ibrahim. Salah satunya adalah kakek Nabi yang bernama Abdul Muthalib. Kini Abdul Muthalib adalah salah satu pemuka Quraisy.
Abdul Muthalib mempunyai tanggung jawab yang besar sebagai pemuka, tugas yang tidak ringan diemban olehnya. Dalam musim haji, kewajiban beliau adalah menyediakan air minum bagi peziarah Baitullah. Tidak hanya dari kota Mekah saja yang datang saat musim haji, melainkan orang-orang dari kota lain. Memberikan miuman kepada peziarah yang lebih dikenal dengan sebutan siqoyah.
Abdul Muthalib awalnya mampu memenuhi kewajibannya untuk memberikan peziarah minum. Sayangnya, sumur-sumur itu mengering hingga jika diambil airnya, debu-debu yang ada di dalam ikut tercampur dalam air. Di satu sisi, peziarah makin meningkat. Itu merupakan sebuah keuntungan yang sangat tampak di depan mata.
Saat peziarah Mekah meninggkat, masyarakat Mekah dapat meraup penghasilan yang banyak dari perdagangannya. Tapi disisi lain, kaum Quraisy merasa berat untuk memenuhi kebutuhan minum para peziarah Mekah karena sumur-sumur yang terletak di dekat Ka’bah mulai mengering. Jika masyarakat Mekah tidak mampu memenuhi kebutuhan minum para peziarah, artinya mereka akan gagal menjamu dan memuliakan tamu-tamu Tuhan. Begitulah kondisi kota suci beberapa tahun terakhir.
Hal ini membuat keprihatinan serius kepada Abdul Muthalib. Beliau sadar bahwa peziarah dari tahun ketahun semakin banyak, sementara sumber air tidak pernah ada peningkatan, mengingat di kota Mekah yang gersang dan panas, air adalah kebutuan yang sangat penting untuk penduduknya.
Sumber air sangatlah berhaga di kota Mekah, tidak kalah berartinya dengan tambang emas. Di Mekah ada satu sumur yang bisa diandalkan, yaitu Zamzam, akan tetapi sumur ini beberapa tahun silam telah diuruk oleh suku Jurhum tanpa ada bekas galian sumur satu pun. Sedangkan suku Khuza’ah yang berhasil mengusir suku Jurhum, tidak ada ketertarikan untuk mencari dan menggali sumur Zamzam itu.
Dari kejadian beberapa tahun silam akhirnya penduduk Makkah setengah melupakan sumur yang telah diuruk tersebut. Penduduk Mekah memilih untuk menggali sumur yang baru di dekat Ka’bah.
Krisis air ini, membuat kaum Quraisy seperti di hantui rasa waswas. Abdul Muthalib pun memilih untuk menenangkan diri di Hijr Isma’il yang berdekatan dengan Ka’bah. Akhirnya Abdul Muthalib mengambil kebijakan untuk mengatasinya. Suatu malam ketika Abdul Muthalib berada di tempat itu untuk beristirahat sejenak dan memikirkan kenyataan yang sedang dihadapinya, tiba-tiba kedua mata beliau terpejam. Beberapa menit kemudian beliau tersentak oleh sebuah mimpi. Beliau merasa ditemui laki-laki mengenakan pakaian serba putih dan memeritahkannya untuk menggali at-Thaibah (salah satu nama ka’bah). Setelah bermimpi beliau bercerita kepada kaumnya agar mimpi itu bisa di tafsirkan. Kaumnya meminta Abdul Muthalib untuk mengulangi tidurnya.
Keesokan harinya Abdul Muthalib kembali tidur di tempat ia bermimpi selama 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan jawaban dari mimpinya. Dalam tidurnya selalu di temui laki-laki berpakaian putih dan meminta Abdul Muthalib untuk menggali sesuatu. Di hari ketiga, beliau baru memahami apa yang diperintahkan oleh laki-laki misterius dalam mimpinya tersebut.
“Galih sumur Zamzam, sumber air yang akan mencukupi bagi jamaa’ah haji, lokasi sumur berada di suatu tempat yang banyak kotoran dan darahnya. Di sana selalu ada burung gagak yang mematuk, serta menjadi sarang semut,” tutur sang laki-laki dalam mimpinya.
Abdul Muthalib menganggap bahwa itu lah ;okasi sumur Zamzam yang telah lama menghilang setelah kejadian yang dilakukan oleh suku Jurhum.
Setelah mimpi itu terungkap, Abdul Muhthalib segera mencari tempat itu dan menyusuri sekitar Masjid al-Haram, kemudian beliau melihat kearah berhala Ishaf dan Na’ilah. Di antara kedua berhala itu terdapat burung gagak sedang mematuk kotoran onta yang tercampur oleh darah, beliau juga melihat semut yang keluar dari sarangnya. Dari situ Abdul Muthalib yakin bahwa sumur Zamzam terletak di antara dua berhala tersebut.
Tanpa banyak biacara Abdul Muthalib akhirnya bertindak, beliau di bantu oleh putra tunggalnya yaitu al-Haris. Dalam perkerjaan ini, banyak sekali resiko yang telah dipikirkan Abdul Muthalib, mengingat tempat tersebut termasuk tempat suci kaum Quraisy.
Tempat itu terletak di antara dua berhala yang sering dikunjungi kaum Quraisy. Jika tempat itu diusik, maka kaum Quraisy akan protes. Abdul Muthalib sudah memikirkan bahwa kaum Quraisy akan menganggapnya sebagai perusak tempat suci mereka. Akan tetapi, resiko itu tidak menghentikan pekerjaan Abdul Muthalib. Beliau tetap bersikeras untuk menggali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Putranya, al-Haris diperintahkan untuk tetap menjaga ayahnya dalam keadaan apapun.
Baru beberapa kali menggali tanah, suaranya mengundang perhatian orang yang ada di sekitarnya. Beberapa menit kemudian, satu persatu penduduk mendatangi sumber suara tersebut. Penduduk Mekah terkejut melihat Abdul Muthalib pemimpin yang berwibawah sedang menggali tanah bekas darah pegorbanan. Berbagai perkataan mulai bermunculan, resiko yang beliau takutkan benar-benar terjadi. Penduduk mengancam tindakan beliau dan memintanya untuk menghentikan pekerjaan itu. Akan tetapi tidak ada satu orang pun yang bisa menghentikannya.
Abdul Muthalib dengan tegas berkata bahwa semua yang ia lakukan hanyalah untuk menemukan keberadaan sumur Zamzam, bukan karena tidak menghormati tempat keramat itu.
Hari itu, Abdul Muthalib merasa miskin karena hanya mempunyai satu anak. Dalam hatinya ia bernadzar, seandainya ia mempunyai banyak putra pasti mereka akan melindunginya. Ia bernadzar, berjanji akan mengorbankan salah satu anaknya jika memiliki anak sepuluh. Nadzar tersebut menjadi bukti keseriusannya terkait penggalian zamzam.
“Di tempat ini kalian sudah banyak berkurban untuk tubuh Ka’bah. Sekarang liat aku akan mengorbankan darah dagingku sendiri.” ujar Abdul Muthalib.
Semua orang diam dan tercengang oleh nadzar yang diucapkan Abdul Muthalib. Setelah itu, tidak ada satu orang pun yang mencelanya lagi. Mereka hanya melihat pemimpinnya menggali tanah tersebut. Dalam penggaliannya, Abdul Muthalib bersama putranya al-Haris di awasi oleh puluhan mata yang hanya tetap melihat mereka berdua menggali, tak ada keinginan dari mereka untuk membantu.
Di tengah penggalian Abdul Muthalib menemukan sebuah harta karun peninggalan suku Jurhum. Seketika penduduk Makkah yang berada di dekat sumur itu langsung meminta hak atas harta tersebut. Penemuan harta karun memicu keramaian.
Abdul Muthalib memutuskan untuk mengundi harta karun tersebut dengan penduduk Mekah. Harta karun tersebut berupa dua patung emas dan berbagai jenis peralatan perang. Beliau mempersiapkan beberapa bejana. Dua bejana hitam untuk Abdul Muthalib, dua bejana kuning untuk Ka’bah dan dua lainnya untuk kaum Quraisy.
Undian pun dimulai, dua berjana kuning mengarah ke bagian Ka’bah, dua bejana hitam mengarah pada peralatan perang sehingga semua peralatan perang menjadi hak Abdul Muthalib dan dua bejana putih jatuh pada undian akhir. Yang artinya kaum Quraisy tidak mendapatkan bagian dari harta karun tersebut. Sumur Zamzam digali lagi hingga menemukan sumber air. (AN)
Baca juga tulisan lain tentang Sirah Nabawiyah