Banyaknya follower bukan jaminan kesuksesan dakwah seseorang. Beberapa ulama tidak punya banyak follower, ia hanya memiliki murid sedikit, namun sangat berkualitas.
Imam Muhammad bin Abdillah Ibnu Malik, yang terkenal dengan Ibnu Malik adalah seorang ulama yang memiliki keistimewaan di hati santri nusantara, terlebih santri yang menghafal, mendaras dan memahami nazam beliau yang masyhur: al-Khulasah (Alfiyah).
Bayt-bayt nazam beliau sering dikaitkan hal-hal dalam kehidupan: manhaj belajar yang benar, berlaku bijak bestari, mencari jodoh, poligami bahkan kadang dikaitkan dengan politik. Saya ingat teman saya ketika masa pemilihan presiden, pakai dalil Bayt Ibnu Malik untuk memilih Jokowi.
ويحذف الثاني ويبقى الأول
كحاله إذا به يتصل
Yang no 2 (Prabowo) dibuang saja (gak usah dipilih) dan yang pertama (Jokowi) tetap jadi presiden 2 periode sebagaimana biasa.
Tentu ini guyonan biasa. Entah, kalau Imam Ibnu Malik hidup dan mendengarkan nazamnya dibuat dalil politik, barangkali beliau akan marah kepada teman saya ini. Haha.
Ibnu Malik ini—tutur guru kami, syaikh Ayyub Jazairi—memiliki kemampuan luar biasa dalam menazamkam bayt syair. Beliau capat sekali merangkai bayt-bayt nazam seperti kalanya beliau membuat natsir (prosa). Sangat mudah sekali bagi beliau. Ilmu arudh (ilmu yang digunakan untuk menimbang benar dan tidaknya sebuah syiir) sudah sangat melekat dan mendarah daging bagi beliau.
Namun, ada yang menyedihkan sekali—menurut saya—dari Ibnu Malik. Beliau termasuk ulama yang tidak memiliki banyak follower. Suatu hari beliau menunggu orang-orang untuk belajar kepada beliau. Namun tak kunjung ada yang datang. Beliau pun berdiri dari jendela memanggil orang-orang yang ingin belajar tanpa rasa gengsi (meski beliau telah menjadi pendekar ulama lughah pada zamannya):
“Yang mau belajar ilmu Qiraat. Yang mau belajar ilmu Arabiyah,” tidak ada yang tertarik. Beliau pun pergi lalu mengucap, “Saya bebas dari beban menyembunyikan ilmu (karena beliau telah memanggil orang-orang yang ingin belajar).” Demikian ungkap Imam Jazari, pakar Qiraat kenamaan asal Suriah dalam kitabnya: Ghayat al-Nihayah juz 2 hal !59-160.
Menurut syaikh Ayyub al-Jazairi, meski Ibnu Malik tidak memiliki banyak pengikut, atau murid, Allah memberi beliau satu murid yang luar biasa sekali, yaitu Imam an-Nawawi Rahimahullah. Satu murid berkualitas lebih baik dibanding banyak tapi tak ada kualitasnya. Imam an-Nawawi memang sempat berguru kepada Imam Ibnu Malik. Dalam Alfiyah, Bab Ibtida’, Imam Ibnu Malik menyebut murid kesayangannya itu.
ورجل من الكرام عندنا
Dan orang mulia di antara kami.
Rajul yang disebut dalam bayt itu tak lain adalah Imam an-Nawawi, seorang ulama yang karyanya melampaui umurnya.
Dari kisah tersebut bisa diambil pelajaran bahwa ketika seorang guru benar-benar fokus mengajar seorang murid, sebagaimana yang dicontohkan Ibnu Malik kepada Imam Nawawi, itulah yang justru akan menjadi kebanggaan bagi sang guru, meski muridnya sedikit.
Dari kisah ini juga dapat dipahami bahwa banyak atau tidaknya follower seseorang ulama bukan jaminan kesuksesan dakwahnya. Artinya, walaupun seorang ulama tidak punya banyak follower, namun jika ia mampu memaksimalkan dan memperbaiki kualitas muridnya yang sedikit, maka itu jauh lebih baik.
Saya ingat sekali apa yang dikatakan Habib Ali al-Jufri ketika pengajian pagi di Raudhatun Naim, Kairo
“Jangan kalian kira, ketika banyak orang yang berantusias hadir dan mendengarkan bacaan Al-Quran kalian di sebuah majelis, takjub dan berteriak ‘Allah, Allah ya syaikh’ adalah tanda penerimaan Allah kepada kalian. Orang-orang yang mengikuti konser justru lebih banyak dari ini.”
وما كل شهرة عليَّ عظيمةٌ
ففرعون مشهورٌ ففَعَّالةُ الشر
وبعض خمولٍ درةٌّ فوقَ درَّةٍ
لها حسنٌ يخفى كما ليلة القدرِ
[الشيباني]
Tidak semua kepopuleran itu agung dan mulia bagiku. Firaun itu sangat populer sekali tapi ia adalah rajanya keburukan.
Beberapa hal yang tidak populer justru permata yang sangat amat tinggi. Ia memiliki keindahan yang dirahasiakan sebagaimana Lailatu al-Qadr yang dirahasiakan. (AN)