Menjamurnya para misionaris yang mendakwahkan agama Islam tentu saja menjadi kabar gembira bagi umat Muslim se-dunia. Tapi kali ini kita akan bicara tentang Indonesia.
Rasulullah SAW pastilah bangga melihat umatnya di abad ke-21 ini ramai-ramai mengisi panggung ceramah keagamaan. Situasi ini tentu saja sangat kontras dengan yang dialami Nabi dan para sahabat beliau SAW.
Saat itu, jangankan bikin pengajian akbar, untuk sembahyang saja umat Muslim kudu sembunyi-sembunyi.
Maka, terjadilah peristiwa hijrah. Yang pertama adalah mencari suaka ke negeri Habasyah, sebagian menyebut Abyssina. Di sana ada seorang raja yang terkenal adil bernama Negus, sebagian menyebut Najasyi.
Beragama Nasrani, Raja Negus menerima dan menjamu umat Muslim dengan baik. Malahan, para sahabat yang hijrah kloter pertama itu diberi kebebasan penuh untuk beribadah. Mereka berjumlah sekitar delapan puluh orang, selain anak kecil.
Jangan salah, hijrah di masa Nabi itu tidak segambreng hari ini. Taruhannya adalah nyawa. Dan, penentangnya adalah orang-orang terdekat, termasuk keluarga mereka sendiri. Karenanya, keberangkatan itu ditempuh secara rahasia dan dilakukan per-kelompok kecil.
Menyadari bahwa umat Muhammad mencari suaka ke negeri sebelah, para pemimpin Quraisy memutuskan untuk meneror umat Muslim yang telah hijrah. Adalah Amr bin Ash dari Bani Abd al-Syam yang menjadi salah satu dari dua utusan pemuka Quraisy untuk melancarkan misi ke negeri Raja Negus.
Dalam sebuah simulasi, para tetua Quraisy mengatakan apa yang harus dilakukan oleh Amr bin Ash sesampainya di Habasyah. Mereka harus mendekati setiap jenderal secara terpisah dan memberinya hadiah seraya mengatakan, begini:
“Beberapa pria dan wanita bodoh dari kaum kami telah melarikan diri ke kerajaan ini. Mereka telah meninggalkan agama mereka, dan bukan untuk memeluk agama Anda, melainkan untuk agama yang mereka ciptakan. Para pemuka kaum mereka telah mengutus kami kepada raja Anda agar beliau berkenan memulangkan mereka.”
Itu tadi adalah catatan Martin Lings dalam buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Suber Klasik.
Lalu, sewaktu Amr bin Ash melakukan dengan baik setrategi suap-menyuap itu, para jenderal semuanya setuju. Dua utusan Quraisy itu lalu memberikan hadiah kepada Raja Negus, memohon agar para pengungsi diserahkan kembali kepada mereka.
Di luar dugaan, Raja Negus menolak proposal mereka dan mengatakan kepada para jenderal, “Tidak! Demi Tuhan, mereka (umat Muhammad) tidak boleh dikhianati, mereka telah meminta suaka dan tinggal di negeriku serta memilihku dari yang lainnya! Mereka tidak akan aku serahkan sebelum aku memanggil mereka dan menanyakan perihal mereka seperti yang dikemukakan utusan ini.”
Ringkasnya, Raja Negus lalu memanggil para sahabat Nabi, dan di saat yang sama memangil para pendeta. Kali ini Ja’far bin Abi Thalib menjadi juru bicara umat Muslim.
Ditanyakan oleh Raja Negus, “Agama apa gerangan yang menyebabkan kalian berpisah dari kaum kalian, sedangkan kalian tidak memeluk agamaku, juga tidak memeluk agama di sekitar suku-suku kami?”
Ja’far menjawab, “Wahai Raja, di masa lalu kami adalah orang jahiliah, menyembah berhala-berhala, memakan daging yang tidak suci, melakukan maksiat, dan pihak yang kuat menerkam yang lemah. Begitulah keadaan kami, sampai Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami, seorang yang garis keturunannya kami ketahui, juga perangainya, kejujurannya, integritasnya, dan penghargaannya kepada kebenaran…”
Penerjemah istana lalu melakukan tugasnya dengan baik atas semua yang Ja’far katakan. Raja Negus kemudian bertanya apakah ada wahyu Tuhan yang dibawa Nabi mereka. Lalu Ja’far mengiyakan dan membaca sebagian dari surah Maryam.
Ajaib, Raja Negus menangis, begitu pula yang terjadi dengan para pendeta saat mendengar ayat itu dibacakan. Segera setelah itu, Raja Negus berkata kepada utusan Quraisy, “Kalian boleh pergi! Karena demi Tuhan, aku tidak akan menyerahkan mereka kepadamu; mereka tidak boleh dikhianati.”
Betapapun, perkara keyakinan merupakan hal yang sejak dulu menyebabkan ketegangan sosial di satu titik tertentu. Penggalan sejarah di atas adalah salah satu contoh konkretnya. Tapi ada yang menarik di sini: keterangan Ja’far bin Abi Thalib saat menyentil keyakinan sebelumnya.
Apakah Ja’far berbohong? Tentu saja tidak. Apa yang ia katakan adalah fakta tak terbantahkan, bahwa menyembah berhala-berhala, memakan daging yang tidak suci, melakukan maksiat, dan penindasan terhadap yang lemah merupakan sederet histeris yang dijalani para sahabat Nabi sebelum memeluk Islam. Karenanya, ia lalu menjadi heroik.
Maka, saya sungguh takjub dengan menjamurnya fenomena percobaan aksi heroisme itu yang diselebrasiksan oleh para ustadz mualaf belakangan ini. Anda bisa cek sendiri ceramah-ceramah itu di mesin pencarian google, betapa para dai mualaf itu tampak berapi-api melegitimasi keyakinan barunya dengan merendahkan keyakinan lamanya.
Teranyar, ada yang mengaku sebagai keturunan kardinal, tapi tak butuh waktu lama dibantah oleh banyak orang. Betapa tidak, bagaimana mungkin seorang kardinal bisa punya keturunan? Nikah saja tidak boleh!!
Terus terang, saya tiada masalah dengan meruahnya para pendakwah mualaf. Juga, kepada para pendakwah yang mengaku baru saja “hijrah”, pada dasarnya saya tiada soal. Sederhana saja, dakwah itu baik dan perlu.
Namun, akan menjadi masalah dan menjadi soal jika tanpa musabab yang mendesak, seorang pendakwah mualaf secara tiba-tiba menggunjing keyakinan lamanya.
Lhoh, bukankah Ja’far bin Abi Thalib juga melakukan hal itu?
Benar!
Tapi, mereka melupakan satu hal, bahwa pengakuan Ja’far terhadap kengerian tradisi jahiliyah itu adalah karena desakan keadaan. Ja’far sedang berdiplomasi, memperjuangkan nasib umat Muslim yang berhijrah.
Sebaliknya, atas dasar apa para ustadz mualaf itu menggunjing keyakinan yang ia peluk sebelumnya, yang pada dasarnya keyakinan itu sebetulnya juga diafirmasi keberadaannya oleh al-Quran?
Menarik rasa simpatik umat, barangkali itulah kata kuncinya. Ya, para pendakwah mualaf itu tidak punya materi untuk didakwahkan, sehingga yang memungkinkan dibagi kepada umat adalah mencacat keyakinan sebelumnya.
Di titik ini, semangat dakwah yang mestinya berorientasi pada mencerdaskan kehidupan umat jadi kehilangan ruhnya. Akibatnya, dakwah kebencian pun menjadi niscaya. Umat dijejali permusuhan, umat diajak arogan menang-menangan.
Sekali lagi, tiada masalah bagi siapapun untuk berdakwah, sekalipun itu adalah seorang yang baru merayakan “hijrah” atau bahkan mualaf. Hanya saja, yang mendesak buat umat muslim hari ini bukanlah pendakwah, sebab ia telah terlampau melimpah, turah-turah sampai ke bangku cadangan.
Sebaliknya, seperti kata Rumail Abbas, Islam sedang butuh saintis yang banyak, biar tidak ada lagi dokter yang ketika hijrah malah tidak membuka praktik, dan bilang obat segala penyakit ialah habbatus sauda’.