Masjid saat ini hanya digunakan sebagai ibadah saja. Beberapa orang enggan melihat sisi sosial, ekonomi, keragaman, dan literasi. Sisi-sisi itu cenderung diabaikan atau malah tidak dianggap sama sekali.
Padahal sejarah dibangunnya masjid oleh Nabi Muhammad SAW tidak seperti itu. Diawali dari hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makah ke Madinah yang terjadi karena tantangan dan perlawanan yang diberikan oleh suku Quraisy Makah dengan tidak memberi celah Islam untuk bergerak bebas. Nabi beserta pengikutnya ditekan supaya mereka kembali ke ajaran nenek moyang. Sedangkan dari sisi ketahanan pangan, ajaran Islam yang memuat keadilan dan kesetaraan cukup merugikan kalangan elit Makah.
Kedua narasi di atas kental didapati di banyak literatur yang membahas sejarah, ekonomi, dan kondisi sosial-politik pada masa Nabi Muhammad. Di tengah-tengah pendapat yang berseliweran soal sebab hijrah itu, topik masjid di banyak literatur justru sedikit sekali mendapat porsi pembahasan, atau malah tidak ada sama sekali.
Padahal menarik jika mempertanyakan kenapa ketika sesampainya di pinggiran Kota Madinah, Nabi malah mendirikan Masjid Quba? Kenapa bukan mendirikan semacam benteng pertahanan untuk melindungi seluruh kaumnya dari kemungkinan serangan suku Quraisy?
Pun begitu sesampainya di Kota Madinah, Nabi mendirikan Masjid Nabawi. Sidi Gazalba di dalam bukunya ‘Mesdjid; Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam’ (Djakarta: Pustaka Antara, 1962) memaknai laku pendirian masjid di awal-awal hijrah ini bukan semata-mata untuk tempat beribadah saja. Simak pernyataannya, “Pembikinan mesdjid tersebut dianggap Nabi lebih penting dari jang lain2 dalam saat jang darurat itu. kalau hanja sekedar tempat sembahjang semata, bukankah djagat ini telah didjadikan Tuhan mesdjid?”
Faktanya memang demikian, Masjid Nabawi saat itu digunakan oleh Nabi dan para sahabat sebagai markas untuk hal-hal lain yang bermanfaat, di samping laku beribadah lima waktu tetap ditunaikan. Masjid di masa Nabi menjadi ruang publik yang luwes dan ramah pada tamu-tamunya.
Sekarang Masjid Nabawi masih menyuarakan semangat yang sama, kendati kondisi dan situasi yang telah mendunia memaksa masjid melakukan renovasi sekaligus menerapkan sejumlah aturan ketat. Namun hal itu tidak lantas menghilangkan nilai sakral sebuah tempat ibadah. Masjid yang terlihat megah dan gagah ini telah banyak dikunjungi jamaah haji untuk ziarah, pelancong, dan peneliti.
Nah, literatur yang mengulas tentang masjid-masjid pada masa Nabi dan sahabat ini perlu dibaca kembali. Terutama kepada kebanyakan pengurus masjid yang kaku, rigit, dan tidak mengikuti semangat zaman. Bahwa pendirian masjid semakin masif, itu iya. Tapi jika pengelolaannya hanya mematok kemakmuran masjid dari banyaknya orang yang datang menunaikan shalat lima waktu, masjid kehilangan banyak sisi-sisi lain yang dapat memberi kontribusi positif pada jamaahnya.
Menurut Dewan Masjid Indonesia (DMI), ada sekitar 800 ribu masjid dan mushala yang berdiri. Lebih banyak dibanding mall yang hanya 708. Nah, banyaknya masjid dan mushala ini coba kita bagi dengan jumlah desa yang berjumlah 83.931. Hasilnya kita akan mendapati setiap desa memiliki sekitar 9-10 masjid atau mushala.
Seperti yang saya katakan di paragraf sebelumnya, banyaknya masjid hari ini justru malah memunggungi keluwesan pendirian masjid-masjid pada masa awal Islam. Masjid melulu dimaknai hanya sebagai ruang untuk beribadah. Terutama tempat untuk menunaikan shalat semata. Selebihnya, masjid terkesan menutup diri atau malah ditutup oleh pengurusnya dengan dalih kebersihan, keamanan, kesucian, dan kesakralan masjid. Pintu dan gerbang dikunci rapat-rapat.
Apalagi di masa pandemi seperti ini. Jamaah pendatang mesti dicurigai. Bahkan di beberapa tempat, masjid hanya boleh diakses oleh warga yang mukim di sekitarnya. Masjid emoh menerima tamu yang tidak dikenal sebagai bentuk ikhiar memproteksi jamaah dari covid 19.
Melihat fakta ini, saya teringat wejangan guru ngaji saya beberapa tahun lalu ketika bertamu ke rumahnya. Ia pernah memberi wejangan bahwa masjid yang sudah dan akan didirikan tidak cukup hanya dipoles cantik dan dijaga kebersihannya. Katanya, “beribadah memang akan lebih nyaman jika kondisi masjidnya bagus, ber-AC, karpet bersih, dan di dalamnya bau wangi. Tapi itu kurang pas. Masjid sepatutnya juga peka dan merespon kondisi jamaah dan lingkungan sekitarnya”.
Ia mencontohkan masjid yang ada di pinggir jalan raya. Masjidnya ya jangan dikunci dan ditutup rapat-rapat. Karena setiap orang yang berlalu-lalang barangkali ada satu dua yang ingin mampir untuk istirahat barang lima menit. Atau kebetulan hujan, mereka memilih berteduh di masjid. Atau malah ada yang kebelet ingin buang air kecil, bisa mampir ke toilet masjid. Lumayan, daripada di pom bensin bayar.
Adapun masjid di pelosok desa bisa dimanfaatkan sebagai pusat edukasi. Tidak hanya sebatas menyelenggarakan baca tulis al-Qur’an dan ngaji ilmu agama, tapi juga edukasi ilmu-ilmu praktis lainnya. Misalnya cara mengusir wereng atau tikus agar tidak merugikan petani, terus cara membuat pupuk kompos dari kotoran hewan atau bisa juga mengajari ibu-ibu membuat barang kreatif dari sampah. Katanya, “lha umat Islam kan manusia juga. Perlu bekerja agar bisa makan. Tidak diisi ngaji dan beribadah terus, masjid juga punya kewajiban berkontribusi untuk membangun masyarakatnya.”
Saya kira tidak berlebihan jika diberlakukannya new normal ini juga menjadi babak baru mengubah wajah masjid menjadi lebih ramah pada semua jamaah, baik yang di sekitar masjid maupun pendatang. Memang keramahan itu tidak bisa persis seperti Masjid Quba dan Masjid Nabawi yang dibangun oleh Nabi, tapi minimal semangatnya dapat diwarisi. Bahwa masjid, punya sisi profan yang boleh dikunjungi, diakses, dan dimanfaatkan oleh umat manusia, tanpa terkecuali. (AN)
Wallahu a’lam.