Bak melengkapi susunan puzzle, mengaji Kitab Al-Munqidz min al-Dlalal yang diampu Gus Ulil Abshar Abdalla via Facebook beliau menjadi salah satu keping puzzle yang turut menyempurnakan susunan keilmuan kimia yang telah kususun selama kurang lebih 9 tahun. Puzzle pelengkap itu datang saat ngaji Kitab Al-Munqidz min al-Dlalal sampai pada babak filsafat Yunani, khususnya bagian Thabi’iyyun (filsuf naturalis).
Sejak 2011, saya mulai serius mendalami ilmu kimia, dan seperti pada umumnya mahasiswa tahap sarjana, hampir semua seluk-beluk keilmuan dipelajari. Mulai dari kimia dasar yang fungsinya semacam jembatan antara kimia versi SMA menuju kimia versi universitas. Lalu sub-ilmu kimia seperti kimia fisik, kimia analitik, kimia organik, kimia anorganik, biokimia sampai kimia lingkungan kesemuannya tuntas dibahas. Semua dipelajari dan diulang-ulang selama masa belajar. Namun ada satu babak yang tidak saya temukan di kelas kimia, dan justru saya temukan di ngaji Kitab Al-Munqidz min al-Dlalal, yakni babak awal kimia selama masa Yunani.
Dalam kelas kimia yang saya alami, di sana mula-mula diajarkan tentang beragam teori atom. Pada bab teori atom ini lah, saya menemui satu-satunya kisah kimia era Yunani, meskipun durasinya tak sampai 10 menit dibicarakan. Dalam teori atom, fondasi yang digunakan adalah gagasan dari seorang filsuf Yunani yang bernama Demokritos. Ia adalah orang pertama yang mencetuskan bahwa benda bisa dibelah sampai ke bentuk terkecil, yang kemudian ia namai sebagai atom.
Lalu selepas Demokritos, teori atom tidak berkembang dan kita langsung diantarkan menuju abad 20 dan 21, di mana pada abad itu kita baru menemui teori atom terbaru yang dirumuskan ilmuan seperti Rudherford, Thomson, Bohr, dan lain-lain. Jadi bisa dibilang zaman Yunani dalam kelas kimia yang pernah saya alami hanya berisi kisah yang sangat singkat. Padahal pada masa itu terdapat banyak naturalis yang mungkin juga fokus pada materi, selain Demokritos.
Dari ngaji online Al-Munqidz, saya jadi mengerti bahwa setidaknya ada 3 golongan filsuf yang pernah hidup di Yunani, mulai dari Dahriyyun, Thabi’iyyun sampai Ilahiyyun. Dan para Thabi’iyun adalah nenek moyang dari ilmu kimia yang selama ini saya kaji. Hal itu terasa seperti bertemu benda kesayangan yang lama hilang. Sangat menggembirakan!
Secara jelas, Gus Ulil menjelaskan bahwa konten kajian dari filsuf Thabi’iyyun adalah hal-hal fisik dan kasat mata. Para Thabi’iyyun saat ini disebut sebagai saintis. Kajian orang-orang Thabi’iyyun diisi dengan induk ilmu alam yakni fisika, kimia dan biologi. Fisika adalah ilmu yang mempelajari fenomena alam dan segala realitas fisik. Lalu kimia adalah ilmu yang membicarakan tentang beragam materi, saat ini materi-materi itu kita kenal lewat tabel periodik. Sementara biologi adalah ilmu yang mempelajari realitas yang bernyawa, dari yang paling kecil seperti bakteri sampai yang bersel banyak dan kompleks seperti manusia dan hewan.
Para filsuf Thabi’iyyun adalah orang yang percaya bahwa dunia ini adalah satu-satunya realitas. Mereka tidak mempercayai adanya alam selain dunia yang tampak ini. Mereka adalah orang-orang yang terpukau dengan betapa menakjubkannya dunia bekerja, lalu mereka berkesimpulan bahwa segala yang ada di alam raya ini adalah sesutau yang sudah diatur oleh hukum-hukum yang tetap. Karenanya, mereka menafikan adanya Tuhan dan hal-hal yang gaib lainnya. Karena pandangan menafikan yang gaib ini lah, mereka dihukumi tertutup dari kebenaran (Kafir) oleh Al-Ghazali dan sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang meletakkan fondasi keimanan pada sesuatu yang gaib.
Meskipun, ketika dinalar secara rasional, apa yang dibicarakan para Thabi’iyyun adalah sesuatu yang benar dan sulit dibantah, bahkan sudah seperti ilmu yang burhani.
Mari kita tilik sebuah contoh. Dalam ilmu kimia, dipelajari tentang beragam reaksi dan salah satu reaksi yang pasti diketahui semua kimiawan adalah reaksi normalisasi. Reaksi normalisasi adalah reaksi dari senyawa bersifat asam dan basa yang “pasti” akan menghasilkan garam. Untuk orang yang kurang akrab dengan kimia, asam-basa adalah terma untuk menyebutkan kuantitas unsur hidrogen positif (H+). Asam adalah citra dari suatu larutan yang memiliki kuantitas hidogen positif amat banyak, sementara basa adalah kebalikannya. Lalu, garam yang dimaksud di sini adalah gabungan dari ion positif dan ion negatif dari senyawa asam dan basa itu tadi. Sementara garam dapur yang kita kenal adalah salah satu contoh dari garam-garam hasil reaksi ini. Untuk lebih jelas mari kita simak contoh reaksi normalisasi sederhana.
Salah satu contoh sederhana reaksi ini adalah pencampuran asam klorida (HCl) dengan basa natrium hidroksida (NaOH). reaksi ini akan menghasilkan air dan garam. Air terbentuk dari atom H pada asam klorida yang bergabung dengan gugusan OH dari basa natrium hidroksida (H-OH atau umum ditulis H2O). sementara zat lain, yakni Cl dari asam klorida akan bereaksi dengan Na dari basa natrium hidroksidan dan menghasilkan garam NaCl (Na-Cl). Senyawa yang selama ini kita sebut garam dapur.
Dalam pandangan Thabi’iyyun, bisa dipahami kenapa mereka menyebut bahwa alam memiliki hukumnya sendiri dan tidak memerlukan realitas lain. Karena sampai kapanpun ketika kita mencampurkan asam klorida dan natrium hidroksida, reaksi itu pasti akan menghasilkan garam dan air. Tidak mungkin reaksi normalisasi itu akan menghasilkan senyawa lain. Semisal mengubahnya menjadi gula atau vetsin/micin, itu tidak mungkin.
Namun, dari betapa “burhaninya” kimia menjelaskan reaksi, yang terlihat seperti kebenaran yang mutlak dan rasional, saya teringat pada dua hal. Pertama adalah ujaran salah satu dosen terkasih saya saat menempuh sarjana.
Beliau mengatakan “inti dari ilmu kimia adalah mempelajari materi serta perubahannya”. Artinya seluruh seluk beluk kimia itu pasti membicarakan dua topik ini, dan saya mengarisbawahi pada aspek “perubahan”. Realitas kita saat ini, perkembangan atau perubahan dari materi itu terus berjalan. muncul banyak inovasi dan variasi. Reaksi normalisasi adalah reaksi yang primitif. Saat ini banyak sekali reaksi-reaksi baru yang dikembangkan dan hasilnya sering kali berlawanan dengan teori yang sebelumnya mapan dan dipercaya.
Selain ujaran dosen saya itu tadi, kedua, saya juga teringat pada salah satu syarah Al-Hikam dari Gus Ulil tentang “Seluruh Keadaan (alam raya, “al-kawn”) ini adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang benderang ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya” yang menjelaskan bahwa jelasnya atau tersingkapnya rahasia dunia ini tidak lain karena cahaya dari Tuhan.
Laboratorium saat ini mengembangkan beragam variasi dan melakukan percobaan baru. Ilmuwan masih banyak pertanyaan tentang rahasia dunia yang belum mampu dijawab. Contoh yang dilakukan ilmuwan di laboratorium, “Bagaimana kalau kita campurkan zat A dengan zat B? Menurut teori, kedua zat itu akan menjadi C.”
Lalu dicobalah reaksi itu. Ketika hasilnya C, penemuan baru itu akan semakin mengukuhkan teori yang saat ini dipercaya atau “Cahaya Tuhan” semakin terang di sana. Namun apabila yang muncul adalah zat D, E, dan seterusnya, hal itu akan menjadi koreksi dan perlu analisa lebih.
Saat dianalisa, ternyata A tambah B jadi C itu karena suatu kondisi tertentu, tetapi saat kondisinya berubah, hasilnya bisa berubah. Pemahaman seperti itu adalah bukti bahwa Tuhan “memancarkan Cahaya” pada para ilmuan tentang banyaknya realitas reaksi yang masih gelap dan penuh tanda tanya.
Contoh terkini dari masih banyaknya rahasia dunia yang belum diketahui para Thabi’iyyun itu adalah rahasia tentang keterangan lengkap virus corona mulai dari asal mutasinya, struktur, sifat, cara berreplikasinya, sampai vaksinnya. Dalam pandangan Tasawuf, virus corona itu masih belum tersingkap dan mendapat Cahaya, masih banyak rahasia yang coba diungkap di sana. Membuat Kitab Al-Munqidz min al-Dlalal makin layak dikaji.
Wallahu A’lam bisshawab. [rf]