Waspada Kebangkitan Komunisme”, judul broadcast provokatif ini nampaknya mulai menyebar di berbagai lini media sosial. Penulis baru tahu setelah seorang kawan mengirimnya via Whatsapp sore tadi (30/5).
Banyak orang mengira isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya berlangsung selama bulan September saja. Tahun ini nampaknya berbeda. Isu kebangkitan PKI rupanya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum bulan September. Terhitung sejak bulan Mei, utamanya tanggal 23 Mei yang dianggap sebagai Ulang Tahun PKI, para “pemburu isu” telah berhasil membakar atribut bendera PKI yang entah didapatnya dari mana.
Sayangnya banyak yang menelan mentah-mentab isu tersebut, sebagaimana seorang kawan penulis yang sore tadi (30/5) menyebarkan broadcast ajakan untuk menumpas PKI. Menurutnya, PKI masih ada dan harus ditumpas habis hingga ke akar-akarnya.
“Sampai sekarang PKI itu sebenernya ada. Cuma ditutup-tutupin rezim yang pro komunis China,” ungkapnya melalui Whatsapp.
Terkait pembakaran bendera PKI, banyak anggapan bahwa ada oknum yang sengaja menyablonnya sendiri kemudian membakar sembari berteriak-teriak kebangkitan PKI yang faktanya PKI sudah bangkrut dan tergantikan oleh idologi Pancasila yang makin kuat dari masa ke masa.
Isu lawas yang tidak terbukti alias bodong
Faktanya isu kebangkitan PKI yang digaungkan oleh oknum “berjubah” tidaklah benar adanya. Sebagian besar postingannya di media sosial pun berupa hoax. Jikapun benar adanya kebangkitan PKI, jelas aparat penegak hukum yang memiliki andil untuk menumpas keberadaannya, bukan individu maupun ormas.
Misteri dibalik hantu “kebangkitan PKI” rupanya mulai mencuat dan ramai diperbincangkan pada periode pemerintahan Joko Widodo untuk mendiskreditkan Jokowi beserta keluarga dan partai PDI-P. Hal ini dipicu oleh kepentingan politik oknum yang merasa tertandingi akibat Jokowi terlihat “mesra” dengan negara China.
Jika kita buka catatan sejarah kelam Partai Komunis di Indonesia, Orde Baru menjadi tahun yang sangat mengerikan bagi mereka. Bagaimana tidak, banyak orang yang dituduh PKI atau terlibat dengannya yang menjadi tahanan politik rezim Soeharto. Tak tanggung-tanggung, keluarganya pun mendapat ancaman mengerikan berupa tidak diperbolehkan menjadi PNS hingga tujuh turunan.
Tak berhenti disitu saja, perempuan-perempuan yang dituduh PKI banyak yang disiksa, diperkosa hingga dibunuh secara tragis. Pasca peristiwa G30S PKI (Orde Baru) menjadi sejarah paling kelam peradaban bangsa Indonesia. Betapa saat itu, Hak Asasi Manusia telah diabaikan dan diremehkan begitu saja oleh rezim otoriter Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
PKI Setelah Reformasi
Reformasi nampaknya memberikan nafas lega terhadap para tahanan politik yang dituduh PKI beserta keluarga mereka. Sedikit demi sedikit HAM kembali ditegakkan. Di era Gus Dur, TAP MPR RI yang berisi tentang pembubaran PKI sempat akan dicabut. Namun belum sampai terlaksana, Gus Dur sudah dikecam banyak pihak. Argumennya tidak sempat mencuat ke publik secara utuh karena terkalahkan dengan argumen bantahan dan penolakan. Padahal jika dikaji, kebijakan Gus Dur sangat realistis. Ada setidaknya tiga alasan yang mejadi pijakan Gus Dur kala itu.
Pertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.
Sepanjang sejarah pemerintahan di Indonesia, tercatat hanya Gus Dur yang paling berani mengambil kebijakan “berdamai dengan masa lalu”. Tak heran jika banyak pihak yang terdorong untuk menjatuhkan Gus Dur dari periode kepemimpinannya.
Isu Kebangkitan PKI dan peluang yang menguntungkan pihak lain
Mengudarakan kembali isu kebangkitan PKI sangat menguntungkan bagi oknum yang berkepentingan. Hal tersebut dikarenakan ada sebagian masyarakat yang sangat alergi terhadap Komunis, baik dari sisi ideologi maupun gerakan. Tidak semua masyarakat Indonesia bisa berdamai dengan masa lalu seperti yang dilakukan Gus Dur. Namun nampaknya dari sekian kelompok Islam yang terprovokasi akan kebangkitan PKI, ormas Islam arus utama NU dan Muhammadiyah masih tetap tenang-tenang saja. Terlebih di tengah pandemi ini, keduanya terfokus pada penanganan Covid-19, bukan pada isu lain semisal kebangkitan PKI.
Padahal jika kita kaji sejarah, NU menjadi ormas yang paling getol melakukan perlawanan kepada partai tersebut. Sejarah mencatat, Banser NU lah yang berada di garda terdepan dalam melakukan perlawanan. Sehingga jika saat ini isu PKI mencuat namun NU terutama Bansernya masih tenang-tenang saja, artinya Indonesia masih aman, kemungkinan besar isu kebangkitan PKI hanyalah settingan oknum untuk kepentingan komersial.
Bagaimana cara bijak dalam menanggapinya?
Ada setidaknya dua cara bijak dan paling dasar dalam menanggapi isu ini. Pertama kita harus bersikap seperti Gus Dur, mulai berdamai dengan sejarah. Sejarah G30S PKI adalah sejarah kelam masa lalu. Biarkan menjadi catatan sejarah dan pengetahuan masyarakat. Berhenti menggaungkan kebencian kepada PKI, sebab yang terjadi saat ini, pelabelan PKI berlaku kepada individu yang berseberangan dengan kepentingan suatu kelompok alias hanya jadi bahan kepentingan komersial saja.
Kedua, mulai membuka wawasan dengan mengkaji ideologi dan gerakan komuisme baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Hal ini dirasa cukup penting supaya membuka wawasan keilmuan masyarakat menjadi lebih lebar lagi. Sehingga tidak mudah termakan isu-isu murahan seputar PKI dan Komunisme. Sebab dari kebanyakan isu yang ada, masyarakat yang literasinya rendah cenderung sangat mudah terombang-ambing oleh isu.
Di tengah pandemi ini, sebaiknya masyarakat sama-sama terfokus pada penanganan Covid-19 supaya kasusnya tidak membludak. Itu sudah menjadi tugas dan kewajiban bersama saat ini. Perihal isu kebangkitan PKI, jika mempunyai data yang dirasa valid, silakan segera laporkan ke aparat penegak hukum. Mereka yang memiliki andil dalam permasalahan tersebut. Betul kita perlu waspada, namun tidak dengan sembarangan berkoar-koar tanpa ada fakta dan data di saat sebagian besar masyarakat terfokus dengan tujuan lain: menihilkan kasus Covid-19 di Indonesia.
Waspada tetap perlu, tetapi bukan dengan main gegabah.