Hari ini, 1 Juni dikenal sebagai kelahiran Pancasila. Dalam perjalanannya, Pancasila ditafsirkan secara beragam oleh masing-masing pemerintahan yang sedang berkuasa. Terkadang, Pancasila menjadi panduan luhur untuk merekatkan persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. Dan, terkadang juga Pancasila tidak lebih dari sekadar “alat” penguasa untuk meredupkan realitas keberagaman. Yang terakhir ini adalah benderang sekali kita jumpai di masa-masa 30 tahun pemerintahan Orde Baru dengan tafsir tunggal Pancasilanya yang kelewat horor itu.
Semakin ke mari, nasib Pancasila tampaknya masih berada di jalan terjalnya. Tidak sedikit orang yang semakin hari semakin jauh dari ruh dan semangat awal dilahirkannya Pancasila. Ini dimungkinkan karena orang-orang membaca Pancasila secara telanjang belaka. Dengan kata lain, sejarah kelahiran Pancasila seolah tidak lagi dipandang penting untuk memahami Pancasila secara kontekstual.
Lalu, bagaimana Bung Karno bisa ‘menemukan’ Pancasila? Sebelum ke sana, saya ingin cerita. Satu waktu, seorang kawan dari Ende bercerita tentang kampung halamannya. Kami punya waktu cukup banyak untuk mengobrol, sambil menunggu kelas dimulai. Dia antusias dengan latar asal yang membentuk identitasnya. Saya antusias sebab Ende pernah dekat lewat buku-buku dan film.
“Kamu sudah pernah nonton film Ketika Bung di Ende? Gimana menurutmu?” Saya mengawalinya ringan. “Lalu gimana kabar bekas rumah pengasingan itu? Masihkah pohon besar itu sekarang? Apa kamu pernah ke sana?”
Kawan saya menjawabnya satu per satu dengan hangat. Mengaitkannya dengan ini dan itu. Kami tahu apa yang sedang kami bicarakan. Tentu bukan rumah biasa, bukan pula pohon sembarangan. Tempat indah di Pulau Flores tersebut menyimpan sesuatu yang lebih dari itu.
Tahun 1934, rumah itu dihuni Bung Karno dengan status tahanan politik. Ia diasingkan oleh pemerintah kolonial. Sedangkan pohon rindang yang agak berjarak dengan rumahnya itu pernah meneduhi sang proklamator saat merenungkan dasar negara kita sekarang.
Hari ini, juga pada setiap 1 Juni lainnya, kita memperingati lahirnya Pancasila. Namun jauh sebelum kelahirannya, apa yang dilakukan Bung Karno di bawah pohon sukun yang menghadap ke teluk tersebut adalah menciptakan bibit-bibitnya. Bibit weltanschauung atau pandangan mendasar, filsafat, dan fundamen yang digali dari jati diri bangsa Indonesia.
Pancasila yang digagas Bung Karno tidak terlepas dari horizon religusitas dan spiritualitasnya. Dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1966), presiden pertama RI itu menceritakan bahwa ia sudah mengenal Islam sejak kecil, terutama sejak ia mendiami rumah keluarga H.O.S. Cokoraminoto yang kental dengan atmosfer religiusnya.
Sedangkan sisi spiritualitas Bung Karno, salah satunya ia dapat dari perenungan mendalam pada Islam saat ia meringkuk di Penjara Sukamiskin. Selain itu, Bung Karno juga mendapatkannya lewat persinggungan dengan tokoh-tokoh Islam berpengaruh pada masa itu.
Bung Karno sadar bahwa hasil yang ia dapat dari perenungan selama di Ende sejatinya bukanlah darinya. Ia merasa mendapat hidayah dari Tuhan. Ia merasa bahwa dirinya hanyalah sebagai perantara semata.
“Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah Yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku,” kata Sukarno, menceritakan doa yang ia panjatkan pada malam hari menjelang 1 Juni 1945.
Ketika Bung Karno menawarkan lima poin dasar negara miliknya, Panitia Sembilan mengubahnya. Meski sempat terjadi perdebatan yang alot pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, namun pada akhirnya tawaran Bung Karnolah yang diterima.
Sila pertama yang kita kenal sekarang sangatlah fundamental bagi rakyat Indonesia. Sedikit perubahan saja, gejolak bisa timbul di mana-mana. Bahkan sampai saat ini, masih ada sebagian kelompok Islam yang menghardik Sukarno sebab tidak mencantumkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada sila pertama.
Saat merumuskannya, tentu Sukarno sadar akan keberagaman yang menjadi keniscayaan di negeri ini. Ia tahu, perjuangan merebut kemerdekaan tidaklah diraih oleh umat Islam an sich. Banyak elemen yang terlibat di dalamnya. Sila pertama akan terlalu dangkal jika hanya berpusat pada satu agama saja.
“Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktunya aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan. Aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama,” kata Bung Karno dalam autobiografinya.
Dalam gagasan keislamannya, Bung Karno juga mengharapkan agar rakyat Indonesia dapat bertuhan secara kebudayaan. Artinya, kita semua tidak hanya sekadar bertuhan, tapi juga berketuhanan.
Orang yang hanya bertuhan, ia memang mempercayai Tuhan, tapi perilakunya seperti orang yang tidak mempunyai Tuhan. Mereka gampang putus asa, gampang marah, susah menerima perbedaan. Apa yang ia lakukan di dunia ini seperti menampik segala kekuasan Tuhan yang ia percayai. Hal ini akhirnya menjadi paradoks.
Padahal, seharusnya ia tahu kalau Tuhan pasti menolong hamba-Nya, bahwa Tuhan melarangnya untuk marah-marah, bahwa perbedaan adalah salah satu bentuk kekuasaan-Nya. Orang-orang seperti ini biasanya hanya sebatas memiliki religiusitas, tapi miskin spiritualitas.
Sedangkan berketuhanan yang diharapkan Sukarno adalah bertuhan secara kebudayaan. Kita harus menyadari bahwa setiap agama membutuhkan wadah berupa budaya. Agama memerintah kita untuk beramal saleh, katakanlah, tapi amal saleh juga memerlukan realitas untuk mengaplikasikannya. Bersikap baik terhadap tetangga, tidak membenci mereka yang berbeda, melindungi mereka yang lemah, itu semua adalah realitas yang kita butuhkan dalam berketuhanan.
“Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan jalannya agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain,” kata Bung Karno dalam pidatonya di Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Saya menemukan esensi bertuhan dalam diri Sukarno. Orang seperti dia tidak perlu memakai jubah dan surban ke mana-mana untuk bertuhan dan mengamalkan ajaran agamanya. Ia cukup berpenampilan seperti orang Indonesia pada umumnya tapi menebar kebaikan pada apapun yang ada di sekitarnya. Bukan sebaliknya, memakai atribut agama ke mana-mana tapi rajin menebar teror dan kebencian di sekitarnya.
Dan terakhir, selamat memperingati hari lahirnya Pancasila. Semoga kita tidak hanya menjadi orang yang bertuhan, tapi juga berketuhanan.