Weltanschauung Islam
Ajaran Islam bisa dibedakan antara yang merupakan nilai dasar dan kerangka operasionalisasinya. Nilai dasar adalah nilai-nilai yang mendasari kehidupan masyarakat, yang intinya adalah (menurut Dr. Muhammad Abu Zahrah dan diperkuat oleh ahli-ahli lain) keadilan, persamaan dan demokrasi (syura). Prinsip operasionalisasi nilai-nilai dasar ini sudah dirumuskan dalam kaidah fiqh 'tasharruful imam 'ala ra 'iyyatihi manuthun bil mashlahah' (tindakan pemegang kekuasaan rakyat ditentukan oleh kemaslahatan dan kesejahteraan mereka). Dengan bahasa sekarang, harus dijunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial dan persamaan di muka undang-undang. Jadi Weltanschauung Islam sudah jelas, yaitu bahwa Islam mengakomodasi kenyataan-kenyataan yang ada sepanjang membantu atau mendukung kemaslahatan rakyat. Prinsip ini harus mewarnai segala wujud, baik bentuk kelembagaan maupun produk hukum.
Andaikan telah terjadi kesepakatan (sekurang-kurangnya oleh mayoritas) tentang Weltanschauung Islam, niscaya pekerjaan telah selesai. Sayangnya, kesepakatan ini belum pernah terjadi, sebab orang Islam baru pada tahap membuat komponen-komponen Weltanschauungs Islam sendiri. Proses yang terbalik ini menyebabkan kesalahan dalam penyusunan skala prioritas kepedulian. Pada ujungnya, muncullah keruwetan-keruwetan seperti dalam soal ada tidaknya negara Islam, masyarakat bersyariat ataupun masyarakat berhukum sekular, bahkan masih ditambah lagi dengan soal-soal kecil seperti apakah sebuah Undang- undang Pendidikan Nasional harus menyebutkan pendidikan agama dalam pasal-pasalnya ataukah tidak. Upaya sejumlah intelektual muslim, seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Yusuf Qardlawi dan intelektual lainnya untuk menyusun prioritas yang benar, ternyata tidak mendapatkan sambutan, karena kaum muslimin sedang mengalami krisis identitas yang ditandai oleh kegairahan mempersoalkan manifestasi simbolik dari Islam. Identitas diri mesti tampil secara visual. Inilah yang mempakan sebab mengapa umat Islam sibuk dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran (periferal).
Apa yang disebut dengan islamisasi pada umumnya barulah pada arabisasi budaya, yaitu semakin banyaknya dipakai terminologi Arab yang berasal dari nash. Sebutan 'saudara-saudara', 'kelompok' atau 'kolega' diganti dengan 'ikhwan'. Istilah 'sembahyang' yang telah berabad-abad dipakai di negeri ini yang sebenarnya telah berkonotasi Islam, walaupun kata itu sendiri berasal dari 'nyembah Sang Hyang', diganti dengan 'shalat', sambil berpendirian bahwa sembahyang bukanlah shalat. Dan 'langgar' pun dirubah menjadi 'mushalla'. Hal-hal yang bersifat 'embel-embel’ malahan menjadi perhatian pokok. Kecenderungan ini akan berlanjut terus selama proses identifikasi diri kaum muslimin belum terselesaikan dengan baik.
Di hadapan itu semua tampak ada semacam quasi weltanschauung (syibh nadha-riyyah ‘anil haryah), yang lalu menjadi ideologi semu. Misalnya munculnya ideologi tertentu. Padahal ujung dari ungkapan ‘Islam sebagai alternatif’ yang seakan merupakan manifestasi dari suatu ideologi tertentu. Padahal ujung dari ungkapan ini juga masih mempersilahkan masing-masing negara untuk menentukan corak ideologinya sendiri.
Dengan sikap demikian, sebenarnya yang ditawarkan bukanlah alternatif, karena toh tetap berpendirian bahwa tidak ada alternatif yang universal. Terus terang satu-satunya penulis yang secara konsisten tetap mendambakan Islam sebagai alternatif adalah Abul A’la al Maududi. Semua ahli lain, bahkan Abul Hasan An Nadawi apalagi Sayyid Quthb, telah merubah pendirian mereka. Terlihat jelas pula bahwa jawaban-jawaban yang diberikan, baik oleh Khomeini maupun Ziaul-Haq, masih bersifat semu. Idealisme mereka begitu tinggi, sehingga tidak bisa mendarat dalam kehidupan; gagal menemukan prinsip-prinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat. Seringakali percobaan-percobaan untuk keperluan itu berujung pada bentuk-bentuk kekuasaan Imam. Padahal prinsip-prinsip operasional itu semestinya senafas dengan yang telah disebutkan, yaitu ‘tasharruful-imam ‘ala raiyatib manuthun bil-mashlahah’, ‘laa dlarara wa laa dlirar’ (tidak dibenarkan terjadinya segala bentuk perbuatan yang merugikan) dan sebagainya.
Selama problem krisis identitas kaum muslimin belum terpecahkan, maka langkah-langkah belum bisa diambil untuk membentuk Weltanschauung Islam. Dan selama masih dalam keadaan demikian, yang ada barulah weltanschauung Islam yang semu dan baru pada tahap semangat keislaman saja atau sekadar slogan-slogan islami kosong. Jalan yang terbaik adalah melakukan upaya rekonstruksi hukum agama secara parsial sesuai dengan kebutuhan atau bersifat ad-hock sejalan dengan situasi ad-hock yang tengah berlangsung. Tentu saja tawaran ini datang dari cara pandang sarwa-fiqh. Fiqh adalah alat yang paling efektif untuk mengatur kultur umat Islam dan bisa dikatakan sebagai kunci kemajuan atau kemunduran mereka.
Tiga pilar dasar; keadilan, persamaan, dan demokrasi (weltanschauung) itu diejawantahkan kedalam sikap hidup yang mengutamakan Islam, kebangsaan dan kemanusiaan. Prinsip operasional ‘tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manuthun bil-mashlahah’ dirinci dalam sub-sub prinsip hingga menjadi kerangka operasioanal dari Weltanschauung Islam tersebut. Di sinilah kultur Islam hendaknya diisikan.