Melaka merupakan wilayah yang sangat penting untuk dibahas karena bukan hanya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam, akan tetapi juga merupakan salah satu kesultanan yang paling berpengaruh di dunia Melayu-Indonesia. Selain itu, Melaka juga menjadi pusat perjuangan muslim dan orang asing asal Eropa, yaitu Portugis dan belanda.
Menurut Azyumardi Azra dalam artikelnya berjudul “The Struggles for Melaka: Islamic Networks In The Region”, Melaka sendiri merupakan penerus kesultanan Samudra Pasai yang terletak di seberang selat. Melaka juga memiliki jejaring antar penguasa muslim, sebagai bentuk kekuatan ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) yang dibentuk melalui sebuah konversi bernama Parameswara/Iskandar Shah pada tahun 1414.
Dalam sistem hukum, Melaka menganut hukum Islam sebagai sumber rujukan. Hal ini dibuktikan ketika Sultan Mansur Shah memberikan nasehat kepada putranya, Alaudin Shah untuk menjadikan aturan Allah sebagai rujukan untuk memimpin kesultanan.
Selain Hukum Islam, Melaka juga menggunakan hukum adat sebagai bagian dari hukum kesultanan. Dalam Undang-undang Melaka ditemukan juga adaptasi antara doktrin Islam dan adat melayu lokal, yang biasa disebut juga sebagai vernacularisasi dan indegenisasi. Setidaknya ada lima hal yang berkaitan dengan hukum adat.
Pertama, gagasan tentang aturan dan sifat kedaulatan ditentukan oleh hukum Islam; Kedua, aturan ketertiban umum dan solusi perselisihan, diambil dari hukum Islam dan adat; Ketiga, hukum keluarga didasarkan pada fiqh; Keempat, hukum kerajaan harus sejalan dengan praktik muslim; Kelima, hukum yang berkaitan dengan tanah merujuk hukum adat.
Secara khusus, hukum Islam yang digunakan di Melaka adalah menganut fikih mazhab Syafii, mazhab yang paling banyang penganutnya di daerah Melayu-Indonesia. Hampir keseluruhan undangan-undang tentang fikih politik kesultanan diterjemahkan dari kitab-kitab rujukan mazhab Syafii, seperti Fath al-Qarib al-Mujib yang juga dikaji di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia, khususnya di Jawa. Namun dalam beberapa hukum tertentu, seperti riba dan qisas diambil langsung dari Al-Quran.
Untuk menjalankan Undang-undang yang telah dibuat tersebut, kesultanan menunjuk seorang fungsionaris semacam qadi untuk menegakkan hukum yang telah dibuat. Para fungsionaris ini juga menjadi penasehat agama bagi kesultanan sekaligus mufti. Rata-rata orang-orang yang ditunjuk sebagai fungsionaris ini berasal dari luar negeri, hal ini bisa dilihat dari namanya, seperti Mawlana Abu Bakar, Qadi Yusuf, Qadi Munawar, Qadi Shah Jahan.
Kesuksesan suatu kerajaan di dunia Melayu-Indonesia memudahkan kosmopolitan ‘ulama’ untuk menjadi ‘klien’ dari satu sultan ke sultan lainnya. Hal ini karena selama ini, sultan menjadi ‘pelindung’ ulama ‘ yang mensponsori islamisasi dan pusat pembelajaran Islam. Jika suatu kesultanan mengalami kemunduran, maka pembelajaran Islam oleh ulama kosmopolit ini bergeser, dari kesultanan tertentu menuju kesultanan yang lain.
Saat itu Melaka menjadi pusat pembelajaran Islam kosmopolit yang sering dikunjungi para ulama dari belahan dunia lain. Para ulama kosmopolit yang berada di bawah perlindungan Sultan mengajar siswa-siswa yang berasal dari daerah-daerah di wilayah Melayu-Indonesia, juga para sultan. Salah dua ulama yang paling dikenal adalah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Sebagai pusat pembelajaran Islam yang melibatkan ulama di Samudra Pasai dan Kesultanan Aceh, Melaka menjadi tempat pertukaran informasi dan ilmu.
Para ulama dan murid yang selesai mengajar dan belajar di Melaka kemudian menyebarkan Islam ke wilayah lain, seperti Jawa, Johor, Pahang, Jambi, Kampar, Bengkalis, kepulauan Karimun dan Filipina. Berbeda dengan di Jawa, pembelajaran di Melaka hanya menggunakan masjid dan istana, karena tidak ditemukan bukti pondok, atau madrasah yang ada di sana. (AN)