Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi merupakan salah seorang filsuf besar pertama di dalam Islam yang mempunyai jasa menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab. Dia hidup di era keemasan Daulah Abbasyiah, tepatnya pada masa kekhalifahan al-Makmun. Dibalik nama besarnya, ternyata di awal abad ke-20 telah ditemukan sebuah risalah yang membicarakan seputar kiat-kiat atau cara-cara mengatasi kesedihan. Risalah kecil tersebut berjudul al-Hilah Li Daf’i al-Ahzan (الحيلة لدفع الأحزان).
Melalui tulisan tersebut Al-Kindi membicarakan tentang persoalan bagaimana manusia dapat mengatasi kesedihan yang sedang menimpa mereka di tengah-tengah kehidupan yang serba dinamis, kadang kala dilanda kesusahpayahan namun di waktu yang lain kebahagiaan datang menghapus kesusahan tadi. Kerap kali manusia dirundung permasalahan yang tak kunjung usai, seolah-olah masalah demi masalah silih berganti menempa roda kehidupan mereka.
Mula-mula Al-Kindi memberi pesan agar setiap kesedihan ditelusuri terlebih dahulu penyebab dari munculnya, berikut pernyataannya yang menarik:
“إِنَّ كُلَّ أَلَمٍ غَيْرُ مَعْرُوْفِ الْأَسْبَابِ غَيْرُمَوْجُوْدِ الشِّفَاءِ”
Maksudnya, setiap kesedihan yang tidak diketahui sebab-sebabnya maka tidak akan ditemukan obatnya. Pesan ini penting untuk dipahami siapapun yang sedang mengalami kesedihan, sebab tanpa mengetahui penyebab dari kesedihan yang sedang menguasai diri seseorang maka mustahil dapat menghilangkannya. Jika sudah ditemukan penyebab atau akar permasalahannya, lantas pertanyaan selanjutnya ialah apakah alasan tersebut cukup untuk membuat diri seseorang bersedih atau bahkan berlarut-larut dalam kesedihan? Di sinilah kemudian al-Kindi berperan di dalam mengingatkan kembali perihal pentingnya menyikapi kesedihan dengan menempatkan kesedihan pada tempatnya.
Ketahuilah, tidak ada sesuatu yang lebih jauh dari masa lalu, dan tiada sesuatu yang lebih dekat dari masa depan.
Selanjutnya, al-Kindi juga berpesan agar seseorang tidak terlalu kecewa dengan sesuatu yang telah hilang dari kehidupannya, karena hal tersebut justru akan membebani pikiran serta tindakannya di dalam menjalani kehidupan saat ini dan kehidupan yang akan datang. Ia yang masih terjebak ke dalam romantisme masa lalu kerap kali merasa terbelenggu dengan sesuatu yang sejatinya telah pergi dari kehidupannya sehingga hal itu dapat menjadikannya enggan untuk melangkahkan kaki menapaki masa depan. Ketahuilah, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih jauh ketimbang masa lalu, serta tiada sesuatu yang lebih dekat dari pada masa depan.
Sejauh dan selama apapun penantian akan masa depan tetap saja ia akan datang, sebaliknya sedekat apapun masa lalu tetap saja ia terasa jauh sebab ia tak akan pernah kembali untuk kedua kalinya.
Kemudian, al-Kindi menyebutkan tentang alasan di balik kesedihan yang menempa seseorang, yakni karena adanya obsesi berlebihan terhadap apa yang hendak ingin seseorang raih. Ketika seseorang menginginkan sesuatu maka secara bersamaan sejatinya ia telah membuat satu kemungkinan akan datangnya kesedihan manakala suatu hal tersebut tidak dapat terpenuhi olehnya.
Semakin banyak keinginan-keinginan tentu semakin banyak pula kemungkinan-kemungkinan kesedihan yang harus siap dihadapi. Hal Ini bukan berarti melarang seseorang untuk menghasrati sesuatu, tetapi kiranya al-Kindi ingin berpesan kepada kita semua agar ketika mempunyai keinginan haruslah realistis, yakni sesuai dengan kapasitas kemampuan yang kita miliki.
Wallahua’lam bisshawab.