Di samping gemerlap iklan sirup, lagu Maher Zein, maupun Nisa Sabyan, Kurma dapat ditandai sebagai alarm kehadiran bulan Ramadan. Sebetulnya kurma telah menjadi salah satu konsumsi masyarakat Indonesia. Hanya saja, dalam hari-hari biasa kurma lebih mudah ditemui pada kalangan masyarakat tertentu, seperti masyarakat keturunan Arab, Kiai, atau muslim kota menengah ke atas.
Berbeda ketika Ramadan, kurma lebih mudah ditemui. Tidak hanya di Masjid perkotaan, tetapi warga di desa juga menikmati buah yang bentuknya mirip “juwet” ini. Jenis-jenisnya pun beragam, dari Sukari, Tunis, Ajwa, hingga ruthob serta nama-nama kurma yang sungguh susah dihafal. Tentu, harganya tak kalah varian, mulai puluhan ribu sekilo hingga ratusan ribu sekilo. Satu yang pasti bahwa seluruh jenis kurma tersebut didapatkan melalui proses impor.
Nah, tersebarnya kurma di berbagai lapisan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari keyakinan atas sunnah nabi. Di berbagai riwayat disebutkan bahwa nabi berbuka dengan kurma basah (ruthab), jika tidak ada maka dengan kurma kering (tamr), dan jika tidak ada beliau berbuka dengan seteguk air putih. Dalam kitab-kitab klasik, hadis ini kemudian dijadikan dalil atas kesunnahan berbuka dengan kurma dan air putih.
Lebih lanjut, hadis tersebut lantas diterima oleh masyarakat kita sebagai kesunnahan berbuka dengan buah “arab” ini. Beberapa ahli medis juga berupaya meneliti dan menyingkap rahasia dan khasiat buah ini. Intinya, zat-zat yang dikandung di dalamnya selain kaya dengan zat gula, ia dengan cepat dan mudah diakses oleh lambung. Oleh karena itu, kurma memiliki fungsi yang sempurna untuk mengembalikan kekuatan tubuh manusia. Sehingga, selain keyakinan normatif, dorongan untuk membeli dan mengkonsumsinya dilegitimasi kuat oleh perspektif medis. Tentu pemahaman seperti ini sangat sempurna.
Persoalannya adalah bagaimana jika kemudian masyarakat kita tidak kuat membeli? Atau negara tak bisa impor karena pandemi? Sedang, untuk budidaya pohon ini terasa sulit. Apakah mereka tidak mendapatkan keutamaan sunnah kurma ini? Ini yang perlu dipikirkan masak-masak.
Dalam menjawab persoalan ini, beberapa orang mengqiyaskan kurma ini dengan buah atau makanan yang manis-manis. Dengan arti ini, pengganti kurma adalah setiap makanan yang manis. Al-Syaukani dalam penjelasannya tegas menyatakan akan hal ini. Dalam kitab Tufatul Ahwazi disebutkan:
“Disyariatkan buka puasa dengan kurma karena ia manis. Sesuatu yang manis dapat menguatkan penglihatan (mata) yang lemah karena puasa. Ini merupakan alasan (‘illat) yang paling baik. Adapula yang berpendapat bahwa sesuatu yang manis ini sesuai dengan iman dan melembutkan hati. Apabila ‘illat kesunahan buka puasa dengan kurma itu karena manisnya dan dapat memberikan dampak positif, maka hukum ini berlaku untuk semua (makanan dan minuman) yang manis. Demikian menurut pendapat Al-Syaukani dan lainnya.”
Dari penjelasan di atas, maka tidak heran jika di Indonesia banyak dihidangkan kolak, puding, dan sebagainya yang semuanya dominan unsur manisnya. Ini dilakukan sebagai pelengkap atau pengganti kurma yang tentu manis.
Tetapi, jika kita perhatikan, sebenarnya pemahaman ini juga masih menyisakan persoalan. Karena dalam hadis sendiri disebut secara berurut air sebagai pengganti kurma. Unsur manis dalam air putih tentu sulit ditemui, kecuali ketika meminumnya berada disamping kekasih hati. Pasti semua terasa manis. Bisa jadi, ada makna lain yang ingin disampaikan atas kesunnahan ini.
Baik, saya ingin mengajak pada perhatian yang berbeda terkait kurma ini. Selain aspek normatif, kita dapat melihat kesunnahan kurma dari dua peristiwa penting sejarah kenabian:
Peristiwa kelahiran Nabi Isa merupakan peristiwa pertama yang melibatkan kurma. Benar, kelahiran Nabi Isa diiringi oleh perjuangan keras Ibunya, Maryam dalam mempertahankan hidupnya. Saat kepayahan mendera pasca melahirkan, ia memutuskan untuk sejenak beristirahat di bawah pohon kurma. Darah mengucur deras dari rahimnya hingga seolah ia tak berdaya. Rasanya hari itu hari terakhir baginya.
Dalam keadaan penuh kepasrahan, ia berdoa dan meminta petunjuk Tuhan Sang Maha Kuasa. Hingga akhirnya petunjuk itu benar-benar datang. Sebuah isyarat yang menyelamatkan nyawanya, juga nasib puteranya. “Goyonglah pohon itu” ilham ajaib yang datang dari Jibril. Riwayat lain menyebutnya keluar dari mulut sang bayi. Sesegera setelah ia menggoyangkan batang pohon yang teramat kuat itu, buah kurma berjatuhan. Ibunda Maryam lantas memakan satu dua buah hingga ia merasa tubuhnya kembali menguat.
Kisah kedua yang tidak kalah memilukan dan melibatkan kurma yaitu peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. Peristiwa ini terjadi di Thaif, sebulan pasca Kanjeng Nabi ditinggal wafat isterinya tercinta. Ketika maksud baikknya dalam berdakwah dan mengajak beriman kaum Thaif mendapatkan balasan yang sangat anarkis.
Dalam keadaan tergopoh, rasul kemudian memutuskan beristirahat di salah satu perkebunan. Keringat bercampur darah yang mengalir dari wajah dan tubuhnya benar-benar menguras energi serta ketahanan tubuhnya. Bagaimana tidak, beliau lari terhuyung-huyung dikejar dan berkali-kali dilempari batu.
Dalam kondisi kepayahan yang mengingatkan pada peristiwa Maryam, seorang budak datang dengan membawa anggur dan kurma. Sekali lagi, di perkebunan kurma peristiwa ini terjadi. Seketika itu nabi tidak menolak bantuan dari Addas yang ternyata dikirim oleh majikannya. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa yang sangat berat bagi nabi. Masyhur malaikat penjaga gunung sampai memberi tawaran pada Nabi untuk meratakan tanah thaif dengan gunung hingga tak ada yang tersisa. “Jangan, saya malah berdoa semoga pada generasi selanjutnya lahir di kota ini orang-orang beriman dan saleh”, begitu tegar nabi menolak tawaran malaikat ini.
“Allahummahdi qaumi fainnahum la ya’lamun..”
Dari kedua kisah di atas, ada baiknya kita melihat kesunnahan kurma dari aspek ini. Ada sejarah dan nilai yang melekat dari kurma dalam perjuangan kenabian. Selain itu, pohon kurma tampaknya mudah sekali ditemui di wilayah Arab, Timur Tengah dan sekitarnya. Bahkan dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad pernah mengatakan, “Rumah yang tidak ada kurmanya seperti rumah yang tidak ada makanan”.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa, kurma merupakan buah yang sangat mudah ditemui oleh nabi, juga para sahabatnya. Artinya, dalam konteks berbuka puasa dengan kurma, Nabi hendak mengisyaratkan suapaya umat Islam berbuka dengan buah atau makanan yang ringan, mudah ditemui, sederhana dan tidak terlalu mewah. Maka, saya kira posisi air putih dijadikan alternatif ketika tidak didapati kurma berada pada makna ini, bukan pada aspek manisnya.
Walhasil, bagaimanapun nilai kesunnahan kurma tidak dapat tergantikan, terutama jika menengok kehadirannya dalam sejarah kenabiaan. Tetapi, bagi teman-teman yang tak cukup akses untuk membeli kurma, saya kira berbuka dengan makanan pokok yang mudah ditemui di daerah-daerah dapat diqiyaskan dan diniatkan sebagai sunnah nabi, tentu dengan cukup menambahkan minum air putih. Yah, sesekali kolak, es dawet, es campur, atau bahkan kopi serta olahan tembakau.
Wallahu A’lam.