Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa pergi menemui Fir’aun di Mesir, ia sadar, dia harus mempersiapkan banyak hal. Salah satu yang Nabi Musa persiapkan adalah doa. Dia minta kepada Allah adalah mengizinkan Harun menjadi bagian dari perjalanan dakwah itu. “Ya Allah, jadikanlah salah satu dari keluargaku sebagai teman perjalananku, pendampingku, dia itu saudaraku, Harun,” pinta Musa. Bagi Musa, kembali ke Mesir, kembali ke istana di mana ia pernah tinggal dan tumbuh besar, menemui seorang raja yang ingin membunuhnya, dan mengajak orang yang mengaku tuhan untuk menyembah Tuhan, bukanlah tugas yang mudah.
Selain meminta Harun untuk menjadi wazīr dalam perjalanan dakwahnya menemui Fir’aun, ada beberapa hal penting lainnya yang Musa pinta kepada Allah. Permintaan Musa ini diabadikan dalam ayat-ayat Alquran, yang kemudian menjadi salah satu doa masyhur yang sering sekali dipanjatkan kaum muslimin. Penggalan dari doa tersebut sebagai berikut:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي* وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي* وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي * يَفْقَهُوا قَوْلِي
Musa Berkata: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha: 25-28)
Bagi Musa, yang pernah mengalami masa kecil di istana Fir’aun, kembali ke Mesir tentu akan menghadirkan kembali ingatan dan kenangan atas peristiwa-peristiwa yang ia alami di negeri sungai Nil itu. Menemui Raja Fir’aun ibarat mendekatkan diri ke tiang gantungan, sebab beberapa tahun sebelumnya ia pernah lari menyelamatkan diri dari kejaran tentara Fir’aun. Musa sepenuhnya sadar bahwa Fir’aun masih menginginkan dirinya dihukum akibat keberpihakannya terhadap orang-orang Bani Israel yang dilemahkan.
Kita tahu bahwa di Mesir, Nabi Musa pernah hidup di antara “dua dunia”: kekuasaan Fir’aun yang mengekang dan menindas serta kehidupan Bani Israel yang dikekang dan tertindas. Pada waktu itu Musa menjadi tokoh yang secara fisik tumbuh di istana, tapi hatinya berkelana bersama empati dan pengalaman buruk budak-budak Bani Israel. Tentu tidak mudah menjalani kehidupan yang demikian. Di satu sisi ia tumbuh di antara kemewahan ruang-ruang istana dan memiliki keistimewaan sebagai keluarga raja, tapi di sisi lain hatinya senantiasa berontak menentang semua tindakan keji dan kebijakan yang tidak berpihak pada kaum lemah bangsa Israel.
Maka ketika Allah memerintahkan Musa untuk menyampaikan risalah kepada Fir’aun, dia mempertimbangkan banyak hal. Ada beberapa hal yang secara spesifik dia minta, seperti disebutkan dalam ayat di atas: kelapangan dada, kemudahan, dan kefasihan berbicara.
Dalam Tafsīr al-Rāzī dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kelapangan dada (sharh al-sadr) adalah sebentuk penerimaan hati terhadap cahaya, terhadap kebenaran: kalimat tauhid adalah cahaya, shalat adalah cahaya, dan surga adalah cahaya. Dalam ayat lain disebutkan bagaimana Allah menegaskan bahwa Dia-lah Zat yang memberi kelapangan dada kepada Muhammad. “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, Muhammad.” (QS. Al-Hashr:1)
Selain kelapangan dada, hal yang tak kalah penting dari strategi dakwah adalah kejelasan pesan. Musa meyakini hal itu, maka ia meminta agar ucapannya dilancarkan: wahlul ‘uqdatan min lisānī yafqahū qawlī. Kitab Tafsīr al-Jalālayn menjelaskan doa ini dengan makna, “biarkan lidahku bicara dengan logika yang fasih, sehingga mereka bisa memahami perkataanku.”
Kejelasan kata-kata dan logika merupakan pondasi utama dalam berdakwah. Sebuah kebenaran yang disampaikan dengan kalimat yang buruk tidak akan menuai kebaikan. Kebenaran membutuhkan retorika yang baik dan sistematis. Seperti sebuah pepatah Arab yang mengatakan, al-haqq bi lā nizhām yaglibuhu al-bātil bi nizhām (kebenaran yang tidak terstruktur akan dikalahkan oleh kejahatan yang terstruktur).
Di masa post-truth, ketika kebenaran berita bercampur dengan lebih banyak kesimpangsiuran, doa Nabi Musa menjadi relevan. Setiap kita bertanggung jawab untuk mengucapkan hal-hal yang baik dan benar, sekaligus menyaring informasi yang meragukan. Bukankah puasa bukan semata persoalan menahan lapar dan haus? Lebih dari itu ia adalah upaya menyeluruh dari seorang Muslim untuk menahan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang buruk, termasuk berkata-kata dan mendengarkan hal yang tidak baik. Wallahu a’lam. [rf]