Ada dua hal yang menentukan ramah atau tidaknya era informasi bagi kehidupan kita: pertama, cara kita memproduksi informasi; dan kedua, cara kita mengonsumsi informasi. Sayangnya, di banyak kesempatan, penyuluhan tentang cara memproduksi informasi mendapat perhatian jauh lebih banyak dibanding cara mengonsumsi informasi.
‘Cara memproduksi informasi’ adalah tentang kecakapan seseorang dalam mengoperasionalkan medium tertentu. Di kehidupan sehari-hari, penyuluhan ini biasanya berupa pelatihan-pelatihan desain grafis, video-editing, pelatihan vlogging, pelatihan manajemen media sosial, dan kompetensi-kompetensi teknis lain. Penyelenggaraannya kerap ditujukan untuk menstimulus jumlah talenta digital dalam menyambut era 4.0. Dan tidak lupa disematkan label ‘literasi digital,’ ‘literasi media,’ dan sejenisnya.
Sementara itu, ‘cara mengonsumsi informasi’ porsinya cenderung terbatas pada pelatihan cek-fakta, hoax-buster dan jargon saring sebelum sharing. Bagian ini biasanya hanya menjadi materi ‘pelengkap’ di sela-sela kegiatan literasi digital dan seabreg paparan jumlah data misinformasi. Artinya, ada ketimpangan fokus pemberdayaan antara aspek produksi dan konsumsi.
Ada banyak masalah selain hoaks dan berita bohong yang membelit era informasi, seperti: gelembung keyakinan (filter bubble), konteks palsu (pseudo-context), semangat kerecehan (trivial pursuit), tebang-pilih (cherrypicking), dan demagogi.
Gelembung keyakinan yang ada di media sosial terbangun dari jejak like, follow, durasi melihat, kata kunci pencarian, dan lain-lain yang pengguna tinggalkan. Jejak itu memberikan bahan analisa bagi algoritma untuk membaca keyakinan, afiliasi, karakter, emosi, dan selera si pengguna. Sehingga, apa yang tampil di beranda adalah ‘gelembung’ yang menjauhkan individu dari keragaman sudut pandang.
Konteks palsu muncul karena adanya gambar yang menyertai tulisan (caption/headline/dll.), Implikasinya, tulisan dipahami berdasarkan mental model yang dibangun oleh gambar. Bayangkan ada berapa banyak gambar dan artefak visual di dunia digital? Maka bayangkan juga ada berapa banyak jumlah konteks palsu yang ditawarkan dunia digital?
Selain itu, orang selalu mempertanyakan fakta pada tulisan tapi nyaris tidak pernah mempertanyakan fakta pada gambar. “Disconnected facts,” atau fakta-fakta yang terputus, begitu kata Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death (1985). Dampaknya, di tengah ketidak-nyambungan itu, orang perlu menciptakan konteksnya sendiri terhadap informasi yang hendak ia konsumsi.
“Konteks palsu adalah pengungsian terakhir bagi kebudayaan yang dibanjiri konten yang irrelevan, inkoheren dan impoten,” lanjut Postman. Orang bingung akan guna dari deretan informasi yang tidak nyambung, dan akhirnya menjadikan banjir itu untuk hal-hal receh. Di sini, semangat kerecehan lahir.
Adapun cherrypicking, lahir karena adanya ego kepercayaan bahwa argumen/pendapat yang baik adalah pendapat yang didukung oleh data yang kuat—dan banyak. Implikasinya, proses konsumsi dan produksi informasi melakukan tebang-pilih pada informasi mana saja yang mampu menguatkan kepercayaan/ideologi diri/kelompoknya. Padahal, argumen/pendapat yang baik justru dibuat berdasarkan kesadaran premis metodologis. Artinya, si peracik ataupun si konsumen sadar tentang persesuaian dan pertidak-sesuaian atas asali, metode, konteks dan latar belakang antara satu informasi dan informasi lainnya.
Cherrypicking kerap digunakan dalam praktik demagogi. Entah itu demagogi dari aktor pemerintah, non-pemerintah, kelompok ataupun individu. Di samping cherrypicking, demagog gemar menggunakan pantikan emosi yang berupa diksi-diksi name-calling, metafora hiperbolik, puitika keindahan dan kengerian, antagonisasi identitas dan romantika masa lalu.
Berbeda dengan hoaks dan berita bohong yang identifikasinya bagai hitam-putih dengan fakta, masalah-masalah yang telah diuraikan diatas justru berwarna abu-abu. Masalah-masalah tersebut dikukuhkan oleh produksi informasi, namun bisa dilarutkan lewat pola konsumsi informasi yang kritis.
Untuk merespon tantangan era informasi, banyak institusi—mulai dari sekolah, universitas, lembaga swadaya masyarakat hingga komunitas—memfasilitasi penyuluhan literasi digital. Dan tidak ketinggalan juga beberapa pesantren mengikutinya.
Namun, sebagaimana yang telah dikemukakan di awal tadi, penyuluhan yang hanya berorientasi pada teknis produksi justru kurang memadai untuk membasmi masalah-masalah era informasi yang berwarna abu-abu tadi.
Dalam hal ini, critical thinking mungkin adalah satu-satunya bahtera yang paling menjanjikan. Sayangnya, akses terhadap critical thinking masih sangat terbatas. Bahtera ini biasanya ditemui di menara gading, komuntas literasi, dan lembaga swadaya masyarakat tertentu. Sekolah yang seharusnya menjadi garda depan pun masih baru sebagian kecil yang memiliki bahtera critical thinking.
Di tengah kelangkaan bahtera ini, khazanah intelektual pesantren memiliki embrio critical thinking yang potensial. Hanya saja, karena belum dikembangkan lebih jauh, embrio ini belum mampu memenuhi kebutuhan minimal kompetensi critical thinking di era informasi.
Ambil-lah contoh sederhana, umpamanya: masalah filter bubble, konteks palsu dan masalah demagogi. Masalah-masalah ini bisa terurai—salah satunya—melalui sensitifitas pengamalan baris pertama kitab Jurumiyyah, yakni: Al kalamu huwal lafdzul murokkabul mufidhu bil wad’i. Masalah masalah tersebut tidak lain dilahirkan dari dinamika relasi tanda (lafadz), susunan/rangkaian (murokkab), makna (mufid), dan maksud/konteks (wad’i) yang berevolusi melampaui paten aturan komunikasi non-digital yang selama ini kurang mendapat perhatian dari kalangan pesantren.
Selain pembaharuan muatan warisan intelektual, tauladan yang layak diajarkan sebagai minimum kompetensi di era informasi adalah: ketelitian, atau sistem berpikir (framework) ulama terdahulu dalam mengolah hal tertentu. Contoh sederhananya bisa dilihat bagaimana ketelitian Syech Abdullah Fadhil ‘Asymawi mengelaborasi definisi kalam dengan rigit dalam karyanya yang berjudul Hasyiyyah ‘Asymawi. Yang jika dipadankan, ketelitiannya melampaui bagaimana Jorge J.E Gracia mendefiniskan teks (kalam) dalam bukunya, A Theory of Textuality (1995).
Jurumiyyah biasanya diajarkan untuk santri tingkat dasar (beginer), sedangkan Hasyiyyah ‘Asymawi biasanya untuk tingkat menengah atas (intermediate/advance). Hal ini menunjukkan bahwa embrio critical thinking telah diajarkan sejak dini. Di samping dua potong embrio yeng telah dicontohkan di atas, tentu pesantren punya segudang sumber embrio potensial lainnya yang bisa kembangkan. Misalnya, bagaimana khazanah etika sosial dan tasawuf meninjau trivial pursuit, dan lain sebagainya.
Sumber daya khazanah intelektual pesantren perlu disintesis ulang, diaktualisasi dengan riset-riset terkini, dan diekstrak dengan berbagai paradigma interdisipliner agar formulasi-formulasi yang mumpuni (adequate) untuk modal hidup di era informasi bisa ditemukan. Jika berhasil ditemukan, maka formulasi itu perlu disediakan juga ‘versi’ bahasa masyarakat umumnya. Melalui jalan ini, pesantren bisa menjadi penyuluh alternatif pola konsumsi informasi yang kritis.