Hari Minggu lalu adalah titik balik matahari musim panas di belahan bumi utara. Begitu sumbu bumi miring, matahari mencapai posisi tertinggi di langit, memanggang daerah lintang utara untuk jangka waktu yang panjang. Warga Fairbanks Alaska menjalani hari yang berlangsung hampir 22 jam, sedangkan penduduk Duluth,Minneosta melewati siang yang cukup moderat yaitu 16 jam.
Tahun ini yang merupakan Tahun Cahaya Internasional sangatlah pantas kita menyebut seorang manusia yang pernah menulis tentang cahaya : Ibnu Haytham. Sebagai seorang muslim saleh yang cinta sains, dia percaya bahwa mencari kebenaran dan pengetahuan tentang alam akan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Pencarian dirinya — hal yang ilmiah dan spiritual– telah membawa menulis karya besarnya : Buku tentang Cahaya atau Kitāb al-Manāẓir (كتاب المناظر).
Terbit sekitar 1000 tahun lalu, buku tebal itu menggambarkan seluk beluk cahaya lebih akurat dari pada yang pernah ada sebelumnya, dan yang paling penting, dilengkai dengan bukti-bukti eksperimental rinci nan cermat. Terlebih lagi, Ibnu Haytham menggambarkan eksperimennya secara jelas sehingga siapapun dapat mengulanginya. Apa yang dilakukannya ini menjadi cikal bakal lahirnya metoda ilmiah itu sendiri.
Ibnu Haytham mempublikasikan karya monumentalnya ini di era keemasan ilmu pengetahuan di kawasan Timur Tengah. Kira-kira antara tahun 750 hingga 1258, penemuan-penemuan ilmiah mengalir dari dunia Islam bak air Sungai Tigris dan Euphrat. Tidak ada bagian dunia lainnya yang menyaingi kebangkitan intelektual Timur Tengah saat itu. Perpustakaan agung dibangun di Kairo, Aleppo dan Bagdad. Para sarjana dari pelbagai penjuru dunia berkumpul di kota-kota metropolitan untuk bertukar pikiran. Penemuan-penemuan revolusioner begitu melimpah dan murah.
Tapi kemudian semua itu berakhir. Para penyerang Perang Salib dari Eropa, dan gelombang invasi Mongolia dari Asia adalah gara-garanya. Perang telah menyebabkan dunia Islam compang-camping. Bertahun-tahun terjadilah perpecahan dan kemiskinan. Akhirnya, dari serpihan abu ribuan buku yang terbakar, dari reruntuhan perpustakaan yang hancur lebur, dan ide-ide yang musnah itu, justru muncul pola pikir seperti abad pertengahan yang meniadakan rasa ingin tahu dan berdasarkan iman buta. Selama abad keemasan para pemimpin Islam selalu mengobarkan kalimat Qur’an “Tinta ulama lebih mulia daripada darah syuhada,” dan “Tidakkah mereka melihat bagaimana awan diciptakan, bagaimana langit ditnggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan?” dan mereka menganggap sains sebagai sesuatu yang suci.
Namun di era baru itu, para pemimpin Islam memandang sains dengan apatis. Jawaban-jawaban tentang kehidupan selalu dilemparkan langsung kepada kitab suci; tidak ada dorongan untuk investigasi lebih dalam. Pandangan seperti ini telah membuat pincangnya sains di dunia Islam selama berabad-abad.
Selengkapnya klik lanjutan.