Beberapa waktu yang lalu, teman-teman lama yang sudah tak kuat menahan rindu mengajak bereuni. Dulu, sewaktu masih mahasiswa di Fisipol UGM, kami yang lebih menyukai kegiatan nongkrong-nongkrong dan bercanda-canda daripada mengikuti perkuliahan mendaulat diri sebagai Jamaah Musholla Fisipol UGM. Tentu saja dengan maksud agar kami menguasai klaim relijius atas peri-hidup masyarakat kampus, walaupun yang disebut musholla itu sendiri wujud fisiknya hanyalah sebuah ruangan sempit bekas gudang, terletak tepat di depan WC.
Karena saya ini sejak menjelang dewasa nyaris selalu berpeci, maka dalam acara reuni itu saya didaulat untuk berpidato menceramahi hadirin. Itu merupakan nikmat luar biasa bagi saya, yang saya pastikan sebanding dengan kenikmatan yang akan dialami oleh Prabowo seandainya dia terpilih menjadi presiden nanti. Betapa tidak? Saya sendiri drop out. Dan saya mendapat kesempatan untuk menggurui guru-guru besar dan kaum akademisi kelas tinggi di antara hadirin. Sekian banyak doktor dan profesor. Termasuk di antara mereka adalah Dekan Fisipol UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal, dan pengganti-penggantinya, Prof. Dr. Mochtar Mas’oed dan Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si.
Saya jadi teringat masa-masa awal masuk UGM dulu. Formulir pendaftaran waktu itu diisi dengan cara mengurek-urek kotak-kotak kecil yang melengkapi setiap huruf. Semakin banyak huruf kau tulis, semakin banyak engkau harus mengurek-urek kotak-kotak kecil yang menyebalkan itu. Maka, demi efisiensi, saya menuliskan nama secara singkatan:
Y. C. STAQUF.
Dan tulisan itu pun kemudian tertera pada semua dokumen identitas kemahasiswaan saya.
Mulai bergaul dengan sesama rookie, suasana sektarian terasa. Orang-orang berkumpul — atau dikumpul-kumpulkan oleh kaum senior — menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Anehnya, saya merasa tidak sepenuhnya diterima di kalangan kaum muslimin. Padahal saya ini kurang apa? Seorang gus, santri Krapyak, dan senantiasa pakai peci.
Baru belakangan saya dengar kasak-kusuk yang dipicu seorang teman asal Bantul yang sungguh militan karena nenek-moyangnya sudah NU sejak sebelum NU didirikan,
“Hati-hati! Dia itu kristen kok pakai peci terus maunya apa? Salamnya fasih lagi. Pasti dia dikader untuk menyusup!”
Dia mengira, “Y. C.” pada nama saya itu singkatan nama baptis.[]
*) Yahya Cholil Staquf, Katim Aam PBNU 2015-2020
Kolom ini dimuat pertama kali di teronggosong.com