“Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami.”
Begitu ratap R.A. Kartini dalam salah satu surat yang dikirimkan untuk temannya di Belanda. Surat tersebut merupakan respon Kartini atas kondisi perempuan Hindia Belanda yang tidak mendapatkan kesempatan bersekolah. Saat itu, hanya anak laki-laki kaum bangsawan yang diperkenankan untuk mengenyam bangku pendidikan.
Cita-cita Kartini membuka sekolah khusus perempuan di Hindia Belanda memang tidak bisa diwujudkan sendiri olehnya. Ide pemberian akses pendidikan bagi anak perempuan kemudian diwujudkan oleh teman-temannya di Belanda yang terinspirasi semangat Kartini berupa pembangunan sekolah-sekolah yang khusus untuk perempuan. Bahkan teman-temannya itu juga membuat semacam Yayasan yang secara khusus digunakan untuk mencari, mengelola dan memberikan donasi demi keberlanjutan proses pendidikan bagi anak-anak perempuan.
Semangat pembebasan Kartini ini, khususnya dalam persamaan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan, kemudian diambil oleh Presiden Soekarno dengan menetapkan Kartini sebagai pahlawan dan hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini. Semangat emansipasi ini yang harus dijaga dan bahkan dikembangkan dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa dan bermasyarkat. Negara harus memberikan akses pendidikan kepada setiap warga negara, tidak memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, dan identitas primordial lainnya. Pendidikan harus dinikmati oleh setiap anak bangsa, baik laki-laki dan perempuan.
Semangat memperjuangkan persamaan setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang dimiliki Kartini ini, kemudian didukung dan ditegaskan oleh Konstitusi Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki manusia yang diakui oleh Konstitusi. Hak mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia diatur di dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Bahkan ayat (2) Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa keikutsertaan dalam pendidikan dasar merupakan kewajiban setiap warga negara. Kewajiban tersebut sama saja baik untuk laki-laki ataupun perempuan.
Ketiadaan perlakuan yang membedakan warga negara dalam penikmatan pendidikan juga ditegaskan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan hak setiap warga negara. Begitu juga hak mendapatkan pendidikan. Tidak boleh negara memberikan kesempatan secara berbeda untuk mengenyam pendidikan bagi warganya atas dasar perbedaan jenis kelamin.
Meskipun Konstitusi telah secara tegas mengatur hak mendapatkan perlakuan yang sama bagi semua warganya, nyatanya negara melalui UU Perkawinan memperlakukan secara berbeda kepada warganya yang didasarkan jenis kelamin. Bagi laki-laki, usia minimal menikah adalah 19 tahun, sedangkan bagi perempuan minimal 16 tahun. Bagaimana perbedaan usia minimal pernikahan tersebut bisa sampai pada tindakan diskriminasi negara yang didasarkan jenis kelamin, khususnya hak mendapatkan pendidikan?
Usia 16 tahun merupakan umur seseorang yang masih dalam tingkat pendidikan Menengah Atas, dan akan selesai pendidikannya berkisar pada usia 18 tahun. Dengan demikian, seorang perempuan yang berumur 16 tahun dianggap oleh negara bahwa ia telah layak untuk menikah, harusnya masih dalam masa pendidikan yang apabila telah menikah, tentu akan cenderung mengalami keterbatasan dalam akses pendidikan.
Sementara bagi anak laki-laki, usia minimal menikah tidak berpengaruh bagi akses pendidikannya, karena dengan usia 19 tahun ia dimungkinkan telah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya. Kebijakan yang diskriminatif tersebut sama saja kita kembali lagi pada masa sebelum Kartini. Masa dimana perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan.
Pasal yang diskriminatif tersebut kemudian diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh tiga orang perempuan yang dinikahkan oleh orang tuanya pada saat usia mereka 13 dan 14 tahun. Akibatnya, ketiga perempuan tersebut mengalami putus sekolah. Mereka semuanya tidak mempunyai ijazah SMP, bahkan yang lebih tragis, satu diantaranya tidak dapat mengambil ijazah sekolah dasar yang disebabkan faktor ekonomi. Atas permohonan tersebut, MK mengeluarkan putusannya yang bernomor 22/PUU-XV/2017 dengan memerintahkan pembuat UU untuk memberikan batas umur yang sama bagi laki-laki dan perempuan.
Merespon putusan MK yang demikian, pembuat UU kemudian berinisiatif untuk melakukan perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 7 ayat (1) yang mengatur tentang usia minimal perkawinan. Pada tanggal 16 September 2019, revisi UU tersebut disetujui oleh DPR dan Pemerintah. Perubahan tersebut kemudian dimuat dalam UU Nomor 16 Tahun 2019. Perubahan ini merupakan perubahan yang pertama kali dilakukan oleh lembaga pembentuk UU, yakni DPR dan Pemerintah, atas UU Perkawinan setelah diberlakukan selama 45 tahun di Indonesia tanpa adanya perubahan.
Persamaan usia minimal pernikahan bagi laki-laki dan perempuan merupakan perwujudan cita-cita Kartini secara kontekstual. Cita-cita Kartini berupa perempuan mendapatkan hak yang sama dalam kesempatan mengenyam pendidikan, hanya dapat diwujudkan dengan adanya persamaan usia minimal pernikahan.
Di sisi lain, semangat pendidikan untuk semua orang, baik laki-laki maupun perempun, juga senafas dengan ajaran Islam. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah Saw. mewajibkan kepada setiap orang Muslim baik Muslim laki-laki maupun Muslim perempuan untuk mencari ilmu. Penyebutan itu dilakukan secara spesifik (dengan menyebut Muslim laki-laki dan Muslim perempuan), tegas dan langsung. Oleh karenanya, revisi atas usia minimal menikah tersebut selain mengkontekstualkan cita-cita Kartini juga dapat dikatakan sebagai jalan mengamalkan hadis Rasulullah Saw dalam kehidupan nyata.