Jika mau jujur, Khilafah Islamiyah (Kepemimpinan Islam) yang diyakini umat muslim Indonesia masih banyak diterjemahkan secara galak. Taruhlah kitab Majmu’ Fatawa (h. VIII/61) sebagai kitab galak dari Ibn Taimiyah sebagai penjelasnya: “Semua bentuk kepemimpinan dalam perspektif Islam tujuannya adalah menjadikan agama seluruhnya milik Allah, dan hanya Allah saja yang tertinggi.”
Hadir sebagai pendukung Ibnu Taimiyah adalah Syaikh Al-Dumaiji melalui kitab karangannya yang tak kalah galak, Imamat Al-‘Uzma (h. 83), bahwa kepemimpinan Islam diciptakan untuk memurnikan agama Islam. Teknisnya, menurut Syaikh Al-Dumaiji, adalah dengan cara dakwah dan menawarkannya 3 (tiga) hal kepada penguasa kafir dan bangsa-bangsa non-muslim melalui jalan jihad: Pertama, masuk Islam; Kedua, jika enggan masuk Islam maka diwajibkan membayar jizyah (pajak) untuk kemudian si kafir statusnya berubah menjadi dzimmy; Ketiga, manakala dua penawaran di atas ditolak maka diijinkan perang untuk menaklukkannya.
Kenapa dalam hal mengurus umat/warga negara harus berdasarkan agama Islam? Imam Al-Mawardi dalam Ahkam Al-Sulthaniyyah (h. I/3) dan Imam Al-Ramli dalam Nihayat Al-Muhtaj (h. VII/289) cukuplah memberikan alasan: Karena kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian; Nabi berfungsi sebagai penjaga agama, dan mengurus dunia dengan cara agama. Maka atas dasar keperluan itulah Imam Al-Subki dalam kitab Ma’idun Ni’am (h. 16) menerangkan: salah satu tugas pemimpin Islam adalah menyiapkan tentara. Kenapa? Karena seorang pemimpin diwajibkan untuk menegakkan syiar Allah dan dilarang membiarkan orang kafir untuk tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
Hampir menjadi ijma’ (kesepakatan dlarury yang statusnya di bawah Quran dan Sunnah sehingga tak boleh dilanggar/diselewengkan) bahwa kepemimpinan Islam bersifat wajib untuk mengatur seluruh kehidupan warga negaranya dalam kacamata syariah. Hal ini berangkat dari asumsi yang sama ijma’-nya bahwa Islam adalah agama yang syumul (mencakup segala macam hal aspek kehidupan). Karena diturunkan oleh Allah, Dzat Yang Menciptakan Alam Semesta, maka Islam sudah menjadi “referensi jaminan mutu” untuk dijadikan rujukan dan harus selalu merujuk kepadanya.
Andaikata ada yang sedikit saja meragukan hal ini, menurut Syaikh Abdul Wahab, pendiri aliran Wahabi yang sama galaknya dengan Ibnu Taimiyah, dalam Al-Tibyan memvonis orang itu sebagai murtad (keluar dari Islam). Manakala mendapati seorang murtad, yang dilakukan umat muslim lain (atau Qadli) adalah: istitabah (menagih pertaubatan) darinya agar memeluk kembali agama Islam dalam jangka waktu 3 (tiga) hari. Jika masih enggan tobat, maka boleh dibunuh. Bahkan boleh dipancung di hari ketiga itu juga. Tidak selesai di situ, ketika di alam baka pun si murtad tadi bakal dipanggang dalam siksa api neraka.
Indonesia VS Al-Maidah 51
Kalau Anda memiliki penerjemahan tentang kepemimpinan yang sama galaknya seperti di atas, kemudian mengkampanyekannya kepada orang lain, dan secara kebetulan terdengar oleh non-muslim, apa yang dilakukan non-muslim tadi? Banyak yang akan terganggu, namun mungkin ada yang merasa enggan sehingga memilih untuk diam. Diam karena merasa dirinya minoritas, atau bisa jadi mereka diam karena sungkan. Sungkan kepada dominasi mayoritas, meskipun jengkel dengan suaranya.
Bagaimana tidak, non-muslim mendengar sendiri kampanye memilih pemimpin Islam adalah wajib, sementara dikatakan bahwa mereka, umat Nasrani, adalah umat yang selalu memiliki dengki kepada umat muslim, tak akan ridla dengan agama Islam, sampai kiamat kurang satu hari pun bakal memiliki kedengkian yang sama, oleh karenanya diharamkan untuk memilih mereka.
Sebaliknya bagi umat muslim kampanye seperti ini tidak akan mengganggu. Bahkan sering dianggap tidak ada yang salah di dalamnya. Namun kalau sedikit saja memiliki tenggang rasa, umat muslim akan tahu bahwa perbuatannya itu tidak ada patut-patutnya.
Dalam memahami konsep kepemimpinan dalam Islam, terdapat 2 (dua) teknis berurutan untuk menerjemahkannya: Pertama, secara teks syariat (نصوص الشريعة); kemudian Kedua, secara tujuan syariat (مقاصد الشريعة). Untuk yang pertama, yaitu teks syariat, harus diakui pemaknaan “awliya” dalam Al-Maidah 51 sebagai “pemimpin” masih dapat diperdebatkan. Makna yang paling relevan untuk saat ini adalah: aliansi/sekutu. Tentu harus diapresiasi terlebih dahulu para penafsir Quran yang mengartikan “awliya” sebagai “pemimpin” secara mutlak. Pokoknya harus muslim. Persoalan ia punya kapabilitas untuk mendatangkan kemaslahatan umat, tidak membatalkan teks syariat haramnya memilih non-muslim sebagai pemimpin. Kendati asbab al-nuzul ayat tersebut tidak dijadikan konteksnya (dimana umat Islam waktu itu didera kekalahan dalam perang Uhud sehingga sebagian muslim kepincut untuk bersekutu dengan Nasrani/Yahudi), maka menjadi hak para penafsir “pemimpin” tersebut.
Kemudian kita menginjak pada teknis yang kedua, yaitu tujuan syariat, bahwa kepemimpinan mengandung spirit Islam berupa terwujudnya keadilan dan ketertiban sosial. Seorang pemimpin dipilih atas dasar kapasitasnya yang mumpuni untuk mengatur warganya agar lahir keadilan dan ketertiban sosial. Penitik beratan pada tujuan syariat ini tidak melihat agama si pemimpin. Manakala ia mampu menciptakan tujuan syariat di atas, maka ia sah sebagai pemimpin dan keputusan ini sangat Islami. Manakala ia mampu menciptakan kemaslahatan umat, maka ia sah secara Islami sebagai pemimpin.
Qiyas narasinya seperti ini: dalam menentukan boleh tidaknya seseorang meng-qashr shalat, syaratnya adalah menempuh jarak tertentu (مسافة القصر). Sebagian ulama yang memandang secara teks syariat, yaitu ketika seorang muslim telah menempuh jarak tertentu tersebut maka ia dibolehkan melakukan qashr shalat secara mutlak. Pokoknya jika sudah mencapai jarak itu, maka boleh meng-qashr shalat. Persoalan ia naik pesawat/bus sehingga tidak merasa letih dalam perjalanannya, tidak membatalkan syarat bolehnya ia meng-qashr shalat. Sedangkan ulama yang memandang secara tujuan syariat tidak berpendapat demikian. Kendati telah mencapai jarak tertentu tersebut, jikalau ia tidak merasa letih dalam perjalanannya, maka dilarang untuk meng-qashr shalat.
Dalam konteks kepemimpinan Indonesia, negara ini dibangun oleh seluruh umat beragama. Dalam pemilu 1955, sekadar memberikan contoh, Masjumi memerintahkan kader dan umat muslim Indonesia untuk mencoblos partai Islam. Sementara DGI (Dewan Gereja Indonesia) menganjurkan umat gerejanya untuk mencoblos Parkindo, Partai Kristen Indonesia. Masjid dipakai untuk kampanye, para pendeta pun berkampanye di kebaktian atau Misa, dan tidak ada yang mereka dapatkan selain rasa kecurigaan dan rasa saling memusuhi. Buntutnya adalah pertikaian tiada henti, saling menjelekkan berhari-hari. Bahkan sebagian umat Kristen mencoblos PKI karena mereka kampanye Komunis tidak akan pernah membiarkan Indonesia berdasarkan syariat Islam.
Sebelumnya sudah getir pahitnya ingatan akan Kartosuwirjo yang mengadakan coup dan membunuhi orang-orang lantaran ide Khilafah Islamiyah yang ia kobarkan.
Seyogyanya perbedaan penafsiran tentang larangan memilih non-muslim sebagai pemimpin harus disingkirkan, meskipun terjadi ikhtilaf (perbedaan penafsiran ulama), karena pendiri bangsa telah bersepakat untuk meletakkan Pancasila sebagai landasaran negara, bukan Syariat Islam. Dan negara ini telah memutuskan bahwa tiap-tiap warga negara (baik muslim ataupun non muslim) memiliki hak yang sama dalam membangun bangsa lewat memimpin jabatan administratif negara selama memiliki kemampuan yang cakap dalam hal itu, sehingga berlaku kaidah: Keputusan Negara menutup perbedaan (ikhtilaf) pendapat (حكم الحاكم يرفع الخلاف).