‘Aisyah ummilmu’minin (ibu bagi seluruh orang yang beriman) bukan hanya teladan bagi perempuan. Memang benar, beliau adalah sosok perempuan tangguh nan cerdas. Tetapi beliau telah mampu menembus tembok pemisah antara laki-laki dan perempuan. Beliau adalah teladan bagi perempuan juga tidak ketinggalan bagi kalangan laki-laki.
Supaya teladan ‘Aisyah tidak hanya dalam bayang fatamorgana, menyematkan pujian dan kekaguman tapi tidak mengetahui nilai dan suri tauladannya, alangkah baiknya kita sedikit menengok hitam-putih kehidupan beliau. QS. An-Nûr akan kita jadikan batu loncatan untuk sedikit menelisik sisi kehidupan salah satu istri Nabi dan putri Abu Bakar ini. Dalam al-Qur’an disebutkan;
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”.
Asbâb an-nuzûl ayat
Menurut Sa’id bin Musayyab dan beberapa sahabat Nabi lainnya yang mendapatkan informasi langsung dari Siti ‘Aisyah, sebagaimana disebutkan oleh Fakhruddinar-Razi, ayat ini turun berkenaan dengan simpang siur berita yang mengarah kepada ‘Aisyah.
Sebagaimana biasanya, ketika Nabi akan pergi, beliau selalu disertai salah satu istri-istrinya. Caranya adalah dengan pengundian. Siapa yang keluar namanya dialah yang akan menemani Nabi di perjalanan. Pada sebuah peperangan, sebelum perang Bani Mushthaliq, ‘Aisyah adalah yang mendapatkan giliran untuk menemani Nabi. Menurut al-Tsa’âlabi dalam Tafsirnya kejadian ini terjadi pada perang Bani Mushthaliq. Waktu itu sudah turun ayat tentang hijab. Untuk itu, ‘Aisyah dibawa dalam sebuah tandu. Karena ‘Aisyah masih terlalu muda, maka tandu tersebut sangatlah ringan. Tidak bisa dibedakan antara ada penumpangnya atau tidak.
Ketika kesempatan istirahat, ‘Aisyah pergi untuk buang air. Setelah selesai dan kembali ke rombongan, ‘Aisyah menemukan rombongan telah berangkat mendahuluinya. Akhirnya, ia berpikir untuk istirahat dengan harapan ada yang menyusulnya. Dalam keadaan tertidur, Sufyan bin Mu’athal yang berangkat terakhir karena ditugasi Nabi untuk mengecek jangan-jangan ada barang berharga yang tertinggal, menemukan Siti ‘Aisyah. Akhirnya, ‘Aisyah dipersilahkan untuk naik unta yang digunakan Sufyan dan ia sendiri berjalan menuntut unta tersebut.
Setelah sampai pemukiman warga, masyarakat banyak yang berbisik-bisik memberikan penilaian buruk kepada mereka berdua. Seolah mereka berdua telah melakukan hal-hal yang tidak etis (zina). Ini menjadi beban tersendiri bagi ‘Aisyah. Ditambah lagi, ketika ‘Aisyah berhasil menyusul Nabi, tanggapan dan cara Nabi menyambut tidak sebagaimana biasanya, lembut dan penuh cinta. Singkat cerita, akhirnya ‘Aisyah meminta izin kepada Nabi untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya. Nabi pun mengizinkan. Dalam kondisi ini, ‘Aisyah akhirnya mengalami sakit parah.
Para mufassir melihat ayat ini
Al-ifku berarti kabar bohong. Ada ulama yang menyebut bahwa al-ifku lebih parah daripada al-kidzbu. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan bohong. Sementara yang dimaksud dengan “‘ushbah” adalah sepuluh sampai empat puluh orang. Diantaranya, sebagaimana dalam Tafsir al-Bahr al-Muhîth, adalah ‘Abdullah bin Ubay, Zayd bin Rifa’ah, Hassan bin Tsabit, Masthoh bin Atsatsah, Hamnah binti Jahsy, dll. Tujuan orang-orang ini membuat berita palsu adalah untuk menciptakan keributan atau fitnah dalam tubuh umat islam pada waktu itu (Ibnu ‘Asyûr, al-Tahrîrwa al-Tanwîr).
Ayat ini adalah klarifikasi bahwa ‘Aisyah tidak melakukan apa yang menjadi perbincangan pada waktu itu. Penilaian salah akibat berita bohong yang berkembang. Ayat ini juga memuat peringatan tegas berupa balasan bagi orang yang membuat berita-berita bohong, sebagaimana akan kita bicarakan selanjutnya.
Tanpa diturunkannya ayat ini sebenarnya bisa digunakan beberapa pendekatan untuk membaca apakah ‘Aisyah benar-benar melakukan dakwaan tersebut atau tidak. Namun ini sifatnya hanya pembacaan, bukan kepastian. Fakhruddinar-Razi dalam Mafâtih al-Ghaib memberi beberapa alasan: pertama, bahwa ‘Aisyah adalah istri Nabi dan memiliki sifat ma’shum (terjaga dari kesalahan). Kedua, sebelum terjadinya polemik ini, ‘Aisyah tidak pernah melakukan hal-hal yang mengarah kepada perzinahan. Untuk itu yang lebih utama adalah khusnudzan. Ketiga, berita ini dihembuskan pertama kali oleh orang-orang munafik. Untuk itu, tuduhan itu adalah sangat lemah.
Dari ketiga alasan ar-Razi, penulis melihat alasan yang ketiga yang lebih masuk akal. Catatan pada alasan yang pertama adalah maksud ma’shum yang disematkan kepada Nabi dan para kekasih-Nya adalah berbeda. Ma’shum-nya Nabi berarti Nabi terjaga melakukan sebuah kesalahan yang akibatnya adalah dosa. Sementara kesalahan yang akibatnya bukan dosa masih dimungkinkan, sebagaimana prediksi Nabi terkait mengawinkan kurma yang keliru. Sementara makna ma’shum-nya orang-orang pilihan Allah adalah apabila mereka melakukan dosa maka mereka akan segera melakukan pertaubatan dan benar-benar tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut.
Dalam ayat ini justru tidak melihat kabar bohong dengan hitam-putih. Secara tekstual, Allah justru mengingatkan bahwa berita bohong ini ada sisi baiknya, yaitu bagi Siti ‘Aisyah. Sementara bagi pembuat berita bohong itu ada balasan yang akan ditanggungnya kelak, yakni hukuman yang berat di akhirat.
Dalam Jawâhir al-Hisân, al-Tsa’âlabi menyebutkan bentuk kebaikan yang dihasilkan dari peristiwa ini adalah akhirnya Allah turut angkat bicara untuk mengklarifikasi bahwa ‘Aisyah bersih dari persangkaan-persangkaan buruk yang diarahkan kepadanya. Ini adalah bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada ‘Aisyah. Disamping itu, derajat beliau diangkat lebih tinggi lagi. Serta menjadi pelajaran bagi umat manusia agar tidak mudah menyebarkan informasi yang belum dipastikan kebenarannya.
Abu Bakar Ibnu ‘Arabi menyebutkan bahwa kebaikan (al-khair) adalah selama kuantitas kebaikannya lebih dominan daripada sisi keburukannya. Sedangkan keburukan (al-Syarr) adalah kuantitas keburukan yang lebih mendominasi daripada sisi kebaikannya. Dengan inilah, peristiwa ini bagi Siti ‘Aisyah adalah bukan termasuk kebaikan bukan keburukan. Lantas, bagaimana menyikapi keburukan dari berita bohong atau pembuat berita tersebut?
Terkait menanggapi sisi keburukan dari berita bohong ini dan pelakunya ayat di atas dengan jelas menyebut bahwa kelak mereka akan bertanggungjawab atas perbuatannya. Namun bukan berarti kerusakan ini dibiarkan begitu saja. Sebab, bagi masyarakat yang beragama itu adalah jawaban paling dalam. Sebab, bukankah setiap manusia mengharapkan keselamatan di alam sana? Wallahua’lambish-shawab.