Kasus intoleransi kembali mengguncang negeri. Gejolak-gejolak pergolakan bernuansa sentimen agama tak pernah sepi mewarnai berita keseharian di berbagai media dan televisi. Mengapa ini semua terjadi di negara mayoritas Muslim? Padahal, sejarah Islam mencatat banyak khalifah yang membantu gereja. Dalam hal ini, komitmen perlindungan dari Negara atas hak-hak dasar warganya seharusnya menjadi perhatian bersama.
Gereja Paroki Santo Joseph Tanjung Balai Karimun adalah kasus terkini. Gereja berusia hampir 100 tahun ini digugat IMB-nya kala akan direnovasi dalam rangka menampung jamaah yang semakin banyak. Gugatan FUIB (Forum Umat Islam Bersatu) ke PTUN terkait IMB gereja tersebut membuat jamaahnya menunggu resah. Masih terang dalam ingatan bagaimana persoalan GKI Yasmin di Bogor yang belum juga menemukan ujung sampai saat ini.
Negeri ini punya rapor merah ketidakramahan penduduknya atas keyakinan yang berbeda. Berbagai gereja ditutup dan digugat. Masjid Ahmadiyah disingkirkan.’ Bahasanya halusnya sih direlokasi, tapi relokasi dengan pengusiran bedanya hanya setipis jaring laba-laba.
Setara Institute mencatat paling tidak terdapat terdapat 199 kasus berkaitan dengan konflik tempat ibadah sepanjang 2007 sampai dengan 2019. Catatan ini tentu tidak bisa diabaikan mengingat negeri ini berdiri di atas semboyan keberagaman.
Di tengah suramnya berita intoleransi antar agama, muncul angin segar. Bupati Luwu Utara (yang kita kebanyakan mungkin tidak tahu titiknya di peta Indonesia) mencuri perhatian dengan tindakannya meletakkan batu pertama pendirian gereja di daerahnya.
Jika ditelaah lebih jauh, sejarah Islam tidak mengamini represi atas keyakinan yang berbeda. Meskipun memang benar ada kontestasi dominasi ideologi dalam wilayah sosio-kultural. Interaksi sosial meniscayakan munculnya relasi yang sehat maupun tidak. Namun penutupan sarana ibadah maupun menyengsarakan sesama adalah langkah paling pengecut dari apa yang disebut umat beragama.
Aksi tersebut menuai banyak pujian. Apalagi aksinya membantu pendirian Gereja Ebenhaezer tersebut berlangsung tepat di lapangan. Selain itu juga diberitakan, ia juga menyisihkan sebagian uang pribadinya untuk kelancaran pembangunannya. Aksi tersebut bukan barang baru. Aksi membantu pendirian gereja sudah dilakukan oleh para khalifah Islam di masa lalu.
Sejarah awal Islam mencatat beberapa pemangku kekuasaan yang ramah atas rumah ibadah agama lain. Thomas W Arnold dalam Preaching of Islam menyebutkan beberapa; Abdul Aziz bin Marwan, Saudara dari Khalifah ketiga Dinasti Umayah, Abdul Malik bin Marwan (646-705 M), saat menjadi Gubernur di Mesir mengizinkan pembantunya untuk mendirikan gereja di Halwan, sebuah kota di Mesir yang ketika itu mayoritas Muslim (Arnold, 1985: 105).
Pada masa pemerintahan Khalifah Yazid bin Abdul Malik (687-724 M) gereja pun dilindungi dalam rangka agar penduduknya bisa beribadah dengan tenang. Masa setelahnya, Gubernur Irak Khalid al-Kasri (724-728) masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) bahkan membangun Gereja untuk mengenang ibundanya yang menganut ajaran Kristen.
Masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M) juga diwarnai dengan pembangunan gereja untuk para tawanan selama perang melawan Byzantium sebagai sarana peribadatan mereka. Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) pernah memberikan izin pembangunan gereja di kota Basrah. Kota Basrah yang banyak kita baca dalam sejarah Islam itu.
Penerus al-Rasyid, Khalifah Al-Makmun (813-833) memberikan izin kepada kedua pembantu istananya yang Kristiani untuk membangun gereja di al-Muqattan, sebuah bukit dekat Kairo, dan di Burah, sebuah kota lainnya di Mesir. Di masanya juga, Timothius, seorang Patriarch Nestoria mendirikan sebuah gereja di Takrit dan sebuah biara di Baghdad.
Penolakan pembangunan gereja oleh kelompok-kelompok tertentu rata-rata didasarkan pada (atas nama) kepentingan agama mayoritas semata. Namun sebenarnya ia minus landasan hukum. Ia sebatas sebuah gerakan yang didasarkan pada permainan sentimen keagamaan.
Pola sentimen ini, mengacu pada perspektif Manuel Castel tentang Kecerdasan Afektif (Affective Intelligence) mengenai permainan emosi yang paling vital dalam mobilisasi massa adalah rasa takut dan antusiasme (Castell, 2012: 12-13). Dalam kasus penolakan gereja ini, tidak bisa dipungkiri terdapat ketakutan yang dihadirkan ke dalam relasi sosial, persisnya ketakutan pada isu kristenisasi. Gerakan ini akan semakin masif mana kala diaransemen secara cantik dengan emosi antusiasme menjalankan perintah agama yang menggebu-gebu. Antusiasme jenis ini telah terbukti menggerakkan massa yang begitu besarnya dalam berbagai peristiwa aksi nomor cantik bela ini bela itu.
Tradisi teks telah menyebutkan jaminan pada keamanan rumah ibadah. Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai khalifah paling agung Bani Umayah memberikan pesan penting kepada para tentaranya dalam proses penaklukan wilayah untuk tidak menyerang gereja (al-Syahud, tt: 97). Tafsir Qurthubi pun menyampaikan pesan yang sama ketika menjelaskan Q.S. al-Hajj [22]: 40, terkait dengan melindungi gereja milik orang-orang yang terikat perjanjian dalam Islam. (Qurthubi, 2006: 410)
Jika sejarah Islam begitu ramah dengan gereja dan rumah ibadah agama lain, maka sekali lagi, atas nama apakah semua ketegangan ini?