Dalam Maqaal fiyl Insaan; Diraasah Qur’aniyyah, tafsir tentang manusia menurut Alqur’an yang ditulisnya, Bintusy Syathi’ menguraikan sebagai berikut.
“Membicarakan ihwal kebebasan secara umum, sebagaimana yang telah dilakukan dalam pelbagai penelitian kuno maupun modern, di Timur maupun di Barat, bukanlah persoalan yang mudah. Begitu juga dalam Islam, sudah banyak dibahas oleh filosof, pemikir dan cedekiawan. Karena itu kami hanya akan membatasinya menurut konsepsi Alqur’an saja.”
Lalu Syathi’ menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud mengabaikan tentang Hadits Nabi maupun warisan agung para ulama salaf yang telah memperjuangkan kebebasan manusia [Baca tulisan sebelumnya: Bintu Syathi dan Tafsir Manusia Modern-red] . Ia hanya mau to the point, merujuk Alqur’an.
Hirarki empat macam kebebasan manusia
Ada bermacam kebebasan menurut Syathi’, di antaranya adalah kebebasan dalam arti umum yang merupakan lawan kata dari perbudakan, kebebasan dalam berakidah, kebebasan berpikir maupun berpendapat, dan kebebasan berkehendak.
Kebebasan pertama, yaitu kebebasan penghambaan adalah kebebasan terendah. Karena kebebasan ini diberikan kepada seseorang hanya karena dirinya terlahir sebagai manusia. Kemudian diikuti dengan kebebasan berakidah atau berkeyakinan dan kebebasan berpikir, yang keduanya merupakan nilai eksistensial kemanusiaan. Sedangkan kebebasan berkehendak adalah unsur yang paling rumit. Ya, karena kebebasan yang terakhir ini adalah kebebasan yang melatarbelakangi manusia hingga mendapatkan amanah sebagai khalifah Allah di bumi.
Terkait dengan kebebasan penghambaan, Syathi’ terutama merujuk pada surah Ali Imran ayat 79, “Tidak seyogyanya seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah serta hikmah dan kenabian, kemudian menyeru kepada manusia: Jadilah kalian penyembahku dan bukan penyembah Allah…”
Tentang kebebasan berakidah, “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua manusia di bumi seluruhnya. Maka, apakah kamu akan memaksa manusia supaya mereka semua menjadi mukmin?” (Yunus, 29) dan, “Tidak ada paksaan dalam beragama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah!” (Al-Baqarah: 256).
Kebebasan akal dan berpendapat, “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang telah mati. Allah berfirman: Apakah kamu belum percaya? Ibrahim menjawab: Tentu saja saya percaya, tetapi supaya hati saya bertambah mantap.” (Al-Baqarah: 260) dan, “Sesungguhnya Aku telah mengulang-ulang bagi manusia dalam Al-qur’an ini pelbagai perumpamaan, dan manusia adalah makhluq yang paling banyak membantah.” (Al-Kahfi: 54).
Kebebasan berkehendak, “Dan, seorang manusia tidak mendapatkan selain apa-apa yang telah diupayakannya. Dan, pelbagai upayanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Dan, kepada Tuhanmulah segala sesuatu akan bermuara.” (An-Najm, 39-42).
Dalam tulisan singkat ini, ayat-ayat di atas hanyalah yang paling awal diketengahkan oleh Syathi’ dalam setiap pembahasan saja. Namun hal itu sudah lebih dari cukup sepertinya, karena bahkan membaca tulisan yang sudah sesingkat ini pun barangkali kita hanya berminat untuk melongok judulnya saja. Karena dengan begitu pun kita sudah sering merasa telah memahami maksudnya bukan?
Terakhir, Syathi’ menegaskan secara ringkas bahwa kita tidak boleh mengambil sebagian ayat Alqur’an dengan mengabaikan sebagian yang lain, karena jika demikian maka setiap kelompok orang hanya akan menggunakan ayat yang mendukung kelompoknya saja.
“Kita harus meneliti semua ayat Alqur’an yang terkait dengan kehendak (al-iradah), hingga kita tahu bahwa kehendak Allah itu benar-benar berbeda dengan kehendak makhluq. Kehendak kita memerlukan upaya dan pilihan bebas. Adapun keterpaksaan, itu hanya berhubungan dengan penerimaan akan akibat yang sesungguhnya memang sejalan dengan yang kita kehendaki dan pilih—meskipun acap kali kita tidak bisa objektif terhadapnya.
Keputusan Allah yang adil dalam hal yang terkait dengan kepastian nasib kita, senantiasa sejalan dengan pilihan kita sendiri sebelum menjadi ketentuan yang tak bisa kita hindari. Tanpa kebebasan seperti ini maka sia-sialah pengutusan para rasul , dan lenyaplah kemampuan manusia untuk menjaga amanahnya sebagai khalifah Allah di bumi.”
Demikian Syathi’ menutup pembahasan tentang kebebasan ini dalam paragraf terakhirnya.
Wallaahu a’lamu bishshawab.