Membicarakan letak musik dan lagu dalam Islam masih menjadi topik yang menarik perhatian. Pasalnya, ia ada di wilayah yang selalu dan terus diperdebatkan, meski banyak Ulama’ telah memberi pandangan hukum yang bermacam-macam.
Apalagi kita menyaksikan sendiri para musisi mengalami kebimbangan, ketika passion dalam bermusik bertabrakan dengan keyakinan mereka menjadi penganut agama Islam yang taat. Akhirnya, banyak musisi yang memilih hijrah dan sama sekali meninggalkan dunia musik sebab menilai musik adalah perbuatan yang diharamkan – atau perbuatan yang sia-sia (lahw).
Meski demikian, banyak pula musisi yang akhirnya menempuh proses belajar, mencoba untuk tetap selaras antara berislam dan menjadi musisi, seperti yang dilakukan oleh para musisi di Komuji (Komunitas Musisi Mengaji) yang rutin menggelar kajian di Bandung dan Jakarta.
Ada pula musisi yang tetap bermusik, namun sebagai medium untuk menyampaikan pesan dan menegaskan aspirasi keislaman mereka, sekaligus sebagai media kritik terhadap permasalahan sosial dari sudut pandang aktivisme Islam.
Baca juga: Salam Satu Jari sampai Hijab Metal
Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, seorang Habib dan munsyid (pelantun) shalawat kondang dari Solo, memberi satu petuah yang arif dalam menyikapi lagu. Dalam sebuah kesempatan di majelis pengajian di Gedung Bustanul Asyiqin Solo, figur utama Jamiyyah Ahbabul Musthofa ini memberikan petuah kepada para jamaahnya:
“Kadang memang dakwah melalui lagu-lagu itu lebih kena. Daripada ceramah tok (saja, red.). Lagu-lagu itu yang membikin orang lebih hapal dan diingat terus…”
Wejangan seperti ini tidak aneh, mengingat sepak terjang Habib Syech dalam membangun dan membina majelis shalawat Ahbabul Musthofa yang ia geluti sejak lama. Dalam sekali gelaran pengajian shalawatannya, ribuan – bahkan puluhan ribu – orang hadir untuk bersama-sama bershalawat mengikuti suara merdu sang Habib.
“Doakan ini, supaya bisa terus berdakwah lewat lagu. Supaya lancar, supaya bisa mengangkat Ahlussunnah wal jamaah di seluruh penjuru dunia. Tidak hanya di Indonesia… Biar semua orang tahu, ahlussunnah wal jamaah cara-caranya indah. Sudah lah, ceramah jangan galak-galak. Bismillah, kita santai-santai saja.. ” lanjut Habib Syech.
Para Habaib, yang nota bene adalah keturunan dari Rasulullah SAW, tidak bisa dilepaskan dari dakwah lewat syair, musik dan senandung lagu. Hal ini tidak lepas dari DNA mereka sebagai keturunan Hadhrami dengan tradisi shalawat, yang mengagungkan Rasulullah SAW dan para leluhur mereka dengan syair-syair pujian.
Bahkan, Habib Rizieq Shihab adalah penyusun syair Kisah Sang Rasul, yang ia ciptakan sebelum publik mengidentikkannya sebagai figur politik pimpinan FPI. Syair Kisah Sang Rasul ini mungkin lebih familiar di telinga netizen pada bait “Abdullah nama ayahnya.. Aminah ibundanya..” yang pernah viral dengan video kocak dua kakak beradik menyanyikan syair itu, hingga terdengar suara petir yang mengagetkan mereka.
Keterangan Habib Syech senada dengan pendapat Prof. Quraish Shihab. Pakar tafsir Al-Quran ini menyampaikan dalam sebuah kesempatan di program tanya jawab terkait problematika agama, Shihab & Shihab. Prof. Quraish menyadari bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai keindahan.
Agama Islam datang ke tengah-tengah manusia antara lain sebagai agama yang sejalan dengan fitrah, sehingga tidak mungkin ada suatu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah. Fitrah ini bisa dimaknai sebagai naluri atau kecenderungan bawaan manusia. Salah satu fitrah itu adalah kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa visual, seperti pemandangan yang indah, dan tentu termasuk kecenderungan suka dengan suara merdu. Tuhan tidak mungkin menciptakan itu dalam diri manusia kemudian Dia mengharamkannya begitu saja.
Hanya saja, masih menurut Prof. Quraish, jangan sampai keindahan yang didengar atau diekspresikan membuat manusia justru membawanya menyimpang dari fitrah. Ini juga yang menjadi catatan Imam Al-Ghazali dalam membahas musik.
Imam Al-Ghazali secara umum memperbolehkan musik. Adapun larangan dalam musik tidak terdapat pada musiknya itu sendiri, melainkan harus dilihat konteks dan situasi yang menyertainya, atau dampak negatif yang dilahirkannya. Misalnya, ketika musik disuguhkan dengan wanita penghibur, atau bersama dengan minuman keras, atau dengan kalimat dan kata kotor yang membangkitkan rangsangan kepada kemungkaran.
Adapun para Ulama yang berpendapat melarang musik, pada umumnya menyebut musik sebagai al-malahi, yakni kekhawatiran akan menjadikan orang lalai dari kewajiban atau hal penting lainnya. Namun, selama alasan tersebut tidak muncul, maka tidak ada alasan spesifik untuk melarang musik, apalagi alatnya, dengan begitu saja. “Bukan alatnya yang dilarang tetapi penggunaannya. Kalau dulu dilarang itu karena digunakan untuk sesuatu yang buruk. Alat tidak ada hukumnya, hemat saya begitu,” tutup Prof. Quraish. [rf]