Hari ini, dunia diresahkan dengan penyakit yang diakibatkan Coronavirus. Penyakit ini, menyebar dengan begitu cepat dalam skala global. Hingga saat ini angka kejadiannya terus meningkat diikuti makin tingginya korban jiwa. corona tentara Allah
Menarik diketahui bahwa di tengah keresahan ini, para agamawan dan pendakwah “berkontribusi” pendapat seputar persebaran infeksi Coronavirus tipe COVID-19 ini. Kita dengar dari beberapa pendakwah bahwa Coronavirus adalah “tentara Allah” dan azab-Nya atas kekejaman Cina terhadap muslim, atau merupakan persoalan spiritual yang dapat diatasi dengan ruqyah. Atau ada juga yang mengatakan infeksi Coronavirus ini adalah akibat sistem Cina yang komunis dan jauh dari agama.
Whatever, semua itu bukan sama sekali hal yang baru. Agaknya dalam peradaban agama Islam, keraguan, ketidakpercayaan, serta pemahaman yang kurang tepat atas wabah dan penyakit menular sedari dulu telah terjadi. corona tentara Allah
Syair-syair Arab pra-Islam mengulas bagaimana sikap orang kebanyakan terhadap suatu penyakit kala itu. Dikisahkan masyarakat Arab sebelum Islam dulu berbincang dengan penderita kusta dengan menggunakan sekat, baik kain atau dari balik tembok. Selain itu, mereka mengasingkan unta kurapan ke gurun luas agar ia tak dekat-dekat dengan yang sehat. Demikian dicatat Manfred Ullmann dalam buku Islamic Medicine.
Perilaku dan pemahaman masyarakat Arab pra-Islam itu masih dapat ditelusuri dalam beberapa riwayat hadis. Seperti berikut:
لا يورد ممرض على مصح
Artinya: “Jangan mengumpulkan (unta) yang sakit dengan yang sehat” (HR. at-Tirmidzi)
Atau hadis ini,
وفر من المجذوم كما تفر من الأسد …
Artinya: “…Dan larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa.” (HR. al-Bukhari)
Barangkali sering disebutkan juga tentang cara Nabi menyikapi wabah di suatu daerah. Saat terjadi wabah di suatu daerah, Nabi meminta agar jangan datangi tempat itu; dan jika berada dalam suatu daerah yang terdampak wabah, maka jangan keluar dari sana. Keterangan tersebut kiranya bukan semata-mata Nabi sudah mengenal konsep isolasi penyakit menular, seperti dipahami saat ini. Melainkan yang terjadi adalah suatu common sense kala itu bahwa lumrah seseorang takut untuk dekat-dekat dengan daerah yang terdampak wabah.
Cukup menjanjikan bahwa tampaknya masyarakat Arab dari masa pra-Islam hingga awal Islam punya kekhawatiran soal penularan penyakit sebagaimana di atas, sebagaimana ditunjukkan Nabi. Namun di samping sekian hadis yang menunjukkan kekhawatiran akan penularan penyakit di atas, ada hadis cukup populer yang membuat para agamawan berpolemik soal wabah dan penyakit menular: benarkah mereka sungguh ada?
Inilah hadis tersebut:
لا عدوى ولا طيرة، ولا هامة ولا صفر
Artinya: “Tidak ada penyakit menular, tidak ada dampak dari thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada kesialan para bulan Shafar…”
Dalam banyak riwayat, narasi hadis ini diikuti dengan keterangan untuk menjauhi orang kusta sebagaimana lari dari singa yang sebelumnya disinggung. Bagaimana mungkin dalam satu matan menyimpan dua makna yang berbeda: meniadakan penyakit menular, tapi sekaligus ada perintah menjauhi penderita penyakit yang dianggap menular?
Perdebatan ahli hadis seputar riwayat ini cukup pelik, mencakup debat teologis, persoalan fikih, permasalahan kualitas hadis, dan tentu saja akibat terbatasnya informasi dan pengetahuan zaman itu tentang kebenaran adanya transmisi penyakit.
Satu pemahaman yang bisa diambil – sebagaimana dicatat oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, bisa saja keterangan tentang tiadanya penyakit menular dan kesialan-kesialan “klenik” lain dalam hadis laa ‘adwa di atas merupakan bentuk pembinaan iman masyarakat muslim awal yang masih suka mengaitkan suatu musibah dengan keadaan tertentu. Sehingga alih-alih percaya pada yang gaib dan mengarah pada syirik, muslim diarahkan untuk menguatkan iman bahwa segala hal di dunia ini terjadi karena Allah.
Mengenai perdebatan ulama tersebut, Anda bisa membaca artikel ini.
Tapi interpretasi di atas hanya salah satu dari ragam pemahaman tentang laa ‘adwa di kalangan ulama. Mereka yang tidak memercayai adanya penyakit menular – berdasarkan makna literer hadis, lebih dominan memengaruhi wacana yang berkembang di masyarakat kala itu.
Para intelektual bidang kedokteran mulai memperkenalkan konsep bagaimana penyakit bisa menular dari satu orang ke orang lain. Salah satunya dilakukan Ali bin Abbas Al Majusi. Sayangnya mereka belum cukup mengenal persoalan hewan atau tumbuhan sebagai vektor atau media penularan penyakit – istilahnya, konsep penyakit infectious dan contagious. Semata-mata penularan dipandang adalah akibat interaksi antar tubuh manusia saja.
Meski mulai dikenal istilah amradl mu’diyah (penyakit yang bisa ditularkan) dan amradl wafida (penyakit yang mewabah), persoalan penularan penyakit masih dipandang semata akibat interaksi antar manusia – bukan akibat vektor atau lingkungan tertentu. Beberapa cendekiawan berusaha menjelaskan kaitan wabah dengan kondisi alam, sehingga ada istilah “penyakit musiman”. Cuaca inilah yang dulu dipandang menyebabkan mengapa satu daerah mayoritas bisa terdampak penyakit serupa.
Para dokter dan ilmuwan mulai membuat klasifikasi: penyebab penyakit bisa bersifat lokal dan tidak terbatas cuaca, seperti banyaknya bangkai-bangkai atau buah busuk yang tidak diurus dengan baik. Sedangkan penyebab yang musiman, adalah kondisi cuaca yang tidak cocok dengan semestinya sehingga membuat manusia tidak bisa beradaptasi – lalu jatuh sakit.
Tokoh-tokoh ilmu kedokteran era abad ke-9 kebanyakan meneruskan dan menguraikan apa yang mereka pelajari dari tradisi pengetahuan kedokteran Yunani – meski temuan pentingnya juga tidak sedikit. Selain itu, mereka tidak memberi narasi tandingan dan berkonfrontasi dalam debat teologis soal “tiadanya penyakit menular” dengan kalangan ulama ahli hadis, meskipun kehati-hatian masyarakat akan suatu penyakit kian meningkat. Zaman itu, belum ada gagasan yang cukup baik seputar penularan penyakit, di samping belum ada catatan sejarah tentang fenomena wabah yang terjadi sebagai bahan telaah.
Babak baru polemik ulama dan ahli kedokteran atas wabah dan penyakit menular adalah pasca kejadian Black Death di kawasan Mediterania sekitar abad ke-14. Di Eropa dan sebagian Timur Tengah, banyak orang mati akibat wabah pes.
Dalam kasus ini, peradaban keilmuan Islam yang dulu diperhatikan Dinasti Abbasiyah sedang dalam masa yang dekaden di bidang ilmu alam maupun filsafat. Menurut catatan Manfred Ullmann, keilmuan kedokteran Islam mengalami stagnasi dan tidak mampu memberi jalan keluar atas masalah kemanusiaan tersebut, seperti yang di era-era sebelumnya telah dilakukan. Di sisi lain, tradisi beragama sedang giat-giatnya.
Beberapa intelektual muslim menuliskan bagaimana wabah pes ini berkembang di Arab, seperti dilakukan oleh Abu Hafs Al Wardi. Sosok ini dikenal sebagai sejarawan penulis karya Kharidatul ‘Ajaib wa Faridatul Gharaib. Al Wardi disebutkan meninggal akibat penyakit pes. Pada satu titik ketika ia tahu bahwa obat untuk penyakit satu ini belum ditemukan, ia merasa pasrah dan memilih kembali pada agama. Doktrin yang dipercayainya – sebagaimana disebutkan dalam hadis – bahwa orang yang mati akibat wabah, akan dihitung sebagai syahid.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan soal tiadanya penyakit menular rupanya tetap populer, setidaknya sebagai keyakinan pribadi dan menjadi satu pendekatan tersendiri dalam cara beragama. Mudahnya: dalam sakit, Tuhan akan terasa lebih dekat. Apalagi ada jaminan syahid bagi yang meninggal akibat wabah. Adanya penyakit dan wabah adalah semata takdir: entah sebagai cobaan hamba-Nya dan meningkatkan ketakwaan, atau suatu siksaan Allah karena kemungkaran yang merajalela.
Akibat masih populernya nalar pemahaman hadis yang dominan soal tiadanya penyakit menular ini, serta semakin banyaknya korban berjatuhan akibat ragam penyakit, muncul konfrontasi dari kalangan dokter yang gerah soal ini. Salah satu yang melawan pendapat populer dari para ulama dan sufi ini adalah Ibnu al Khatib.
“Jika seseorang bertanya: “bagaimana mungkin ada orang meyakini bahwa penyakit menular itu nyata, sedangkan nash syariat meniadakan itu?”. Kami menjawab: infeksi dan penularan itu nyata, dari penelitian, pengalaman, serta amatan kami dalam banyak kasus. Salah satu buktinya adalah kebanyakan orang yang mati akibat (pes) memiliki riwayat interaksi dengan penderita lain. Di sisi lain, orang yang tidak ada riwayat kontak kebanyakan tetap sehat.” Demikian kurang lebih keterangan Ibnu al Khatib, sebagaimana dikutip Manfred Ullmann dalam Islamic Medicine.
Ibnu al-Khatib, dalam posisinya sebagai dokter cum intelektual ternama di Andalusia, menyerang sikap para ulama, agamawan dan sufi. Kalangan ulama dan sufi punya andil yang besar pada kepercayaan masyarakat seputar penyakit, dan sayangnya, menurut Ibnu al-Khatib, keterangan para ulama ini tidak diikuti dengan pembacaan atas temuan-temuan terbaru serta fakta-fakta lapangan soal wabah pes atau penyakit lain yang telah memakan begitu banyak korban.
Ibnu al Khatib mengajukan suatu gagasan yang cukup progresif: jika teks syariat dan fakta realitas hasil telaah bertentangan, maka nash syariat itu harus diinterpretasi ulang secara alegorik/majazi karena pada akhirnya manusia akan terlibat dalam realitas. Jika secara tekstual disebutkan bahwa laa ‘adwa, tiada penyakit menular, padahal bukti menunjukkan bahwa kontak antar penderita dengan orang sehat itu menularkan penyakit, berarti teks syariat yang harus dibaca ulang.
Selain itu, menurut Ibnu al Khatib, hadis yang menunjukkan adanya penularan penyakit itu banyak – seperti dicantumkan beberapa di atas, mengapa tidak merujuk ke riwayat tersebut. corona tentara Allah
Sayang, gugatan semacam itu tidak cukup populer. Di sisi lain, karya-karya ulama di bidang keislaman lebih semarak dan populer di masa-masa setelahnya. Ketika Eropa mulai belajar banyak hal dalam sains dan filsafat, orang muslim memilih bersolidaritas dan meningkatkan sikap beragama – tentu dengan konteks historisnya masing-masing. corona tentara Allah
Kajian keagamaan menjadi tren. Kitab tafsir, syarah hadis, fikih, tasawuf, masih banyak ditulis. Dibandingkan aliran rasionalisme yang menunjang dinamika keilmuan sains dan filsafat era Dinasti Abbasiyah sebelumnya sehingga tafsir dan syarah corak filsafat banyak ditulis sebelumnya, aliran yang memenangkan wacana muslim pasca dekadensi kekuasaan-kekuasaan Islam adalah dari kalangan ahli hadis dan kaum sufi.
Kitab-kitab hikmah, yang bercorak sufi, kadang klenik, dan kadang terbumbui kisah dan hadis yang kualitasnya dipertanyakan, diminati publik. Adalah satu fenomena sejarah sendiri ketika masyarakat muslim tidak banyak bicara sains, filsafat dan pengetahuan lainnya yang mulai digandrungi di Eropa.
Paparan sejarah di atas menunjukkan bahwa sikap para ulama yang tidak percaya penyakit menular, atau lebih menganggapnya sebagai sesuatu yang sifatnya spiritual, telah terjadi sejak dahulu. Bahkan, sumber ketidakpercayaan ini adalah interpretasi yang dominan dari hadis shahih, yang menyebabkan sikap tersebut seperti memiliki basis teologi maupun dalil syariat yang kuat – dan masih dipercaya serta terus didakwahkan hingga sekarang
Dengan segala gonjang-ganjing zaman hari ini, orang yang didapuk sebagai ulama perlu ikut bertanggung jawab dan berhati-hati atas ragam pernyataannya mengenai perihal apapun – karena ia dipercaya oleh jamaahnya, dan secara umum, oleh banyak masyarakat muslim. Sehingga, pernyataan seperti ‘corona tentara Allah’ dan lain sebagainya harusnya dihindari oleh orang-orang yang mendaku ulama. (AN)