Dr. Aisyah Abdurrahman yang memiliki nama pena Bintusy Syathi’ (1913-1998), adalah seorang mufassir perempuan kelahiran Mesir. Tepatnya di Dimyath, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah barat sungai Nil. Putri dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir ini memakai nama samaran Bintusy Syathi’ yang secara harfiah berarti gadis pinggir sungai, agar aktivitasnya sebagai penulis tidak diketahui oleh sang ayah.
Muhammad Ali Abdurrahman, Ayah Syathi’, adalah seorang sufi konservatif yang melarang putrinya untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah. Awalnya sang ayah bermaksud mendidik putrinya di rumah sendiri, namun tidak disetujui oleh ibu dan kakek Syathi’. Atas dukungan ibunda dan kakeknya, Syathi’ berhasil menamatkan pendidikan formal dari Madrasah Ibtidaiyah hingga sekolah keguruan di Tanta sebagai lulusan terbaik.
Syathi’ kemudian melanjutkan kuliah pada jurusan sastra di Universitas Fuad I (Universitas Kairo) pada tahun 1936 dan lulus cumlaude tiga tahun kemudian. Pendidikan Master juga diselesaikannya pada universitas yang sama dengan predikat summa cumlaude tahun 1941. Di sela-sela kesibukannya menjadi pendidik di Universitas Kairo, kritikus sastra di Koran Al-Ahram, dan pelbagai aktivitas lainnya, Syathi’ masih sempat menyelesaikan pendidikan doktoralnya tahun 1950, dan pada 1967 ditahbiskan sebagai Profesor dalam bidang sastra.
Syathi’ telah mewariskan karya tulis tidak kurang dari 17 judul. Yang paling monumental adalah Tafsir al-Bayaani lil Qur’anil Kariym yang terdiri dari tiga jilid. Dr. Johannes Julian Gilbert Jansen, guru besar luar biasa bidang pemikiran Islam di universitas Utrecht 2003-2008 lulusan Mesir, menyebut Bintusy Syathi’ sebagai mufassir wanita pertama yang paling berkompeten. Saat berpulang ke rahmatullaah tahun 1998 akibat serangan jantung, pemakaman Syathi’dihadiri oleh banyak tokoh intelektual dari pelbagai negara.
Tafsir Bintusy Syathi’ tentang manusia menurut Al-Qur’an
Dalam mukadimah buku Maqaal fiyl Insaan; Diraasah Qur’aniyyah, Syathi’ merefleksikan kegundahan atas meninggalnya Amin al-Khully, suaminya, 9 Maret 1966. Namun, ia menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan harus terus berjalan walaupun sarat akan kepedihan. Maka ia pun memusatkan perhatiannya pada ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan manusia. Tentang potensi yang dimilikinya; kelebihan maupun kehinaannya, juga kelicikan serta kesombongannya. Di sisi lain, ia pun mengamati perjalanan manusia dari alam yang tidak jelas (majhuwl) hingga ke alam gaib.
Awal kehidupan manusia diungkapkan oleh Al-Qur’an dengan adanya penunjukan Adam sebagai khalifah di bumi yang kemudian “diprotes” oleh para malaikat. Penunjukkan manusia sebagai khalifah di bumi tidak terlepas dari kemampuannya yang berbeda dengan para malaikat . Manusia memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu, kebebasan berkehendak, serta kemampuan untuk menghadapi pelbagai ujian hidup dan kehidupan.
Dualisme antara kebaikan dan keburukan, serta munculnya Iblis sebagai pembanding dari malaikat yang akan terus bertarung dalam diri manusia. Menjadikan manusia sebagai makhluk antara, yang menjembatani dua kutub yang saling bertentangan dengan adanya pertanggungjawaban kepada Allah di akhirat nanti.
Setelah menahbiskan bahwa manusia layak menjadi khalifah di bumi, kemudian Al-Qur’an memaparkan kepada manusia tentang al-Bayan. Kata al-Bayan ditafsirkan oleh Syathi’ sebagai kemampuan untuk menjelaskan sesuai dengan keadaan masyarakat pada masanya. Bahasa manusia memiliki kemampuan menjelaskan, pendengarannya bisa buat memahami dan menganalisa, dan pandangannya untuk membedakan dan menemukan hidayah.
Selanjutnya manusia diberikan amanah oleh Allah. Amanah merupakan ujian bagi umat manusia. Karena selain memberikan kebebasan untuk bertindak, dalam amanah juga terkandung kewajiban untuk mempertanggungjawabkan akibat dari setiap tindakan.
Akhir dari perjalanan hidup manusia menurut Al-Qur’an adalah kematian. Namun konsep kematian yang dibawa oleh agama samawi ini berbeda dari konsep duniawi yang memiliki anggapan bahwa manusia akan “selesai” setelah kematiannya. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa terdapat kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini, karenanya manusia dipacu untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan di dunia sebagai bekal untuk akhiratnya.
Tips Bintusy Syathi’ untuk manusia modern
Kehidupan manusia modern senantiasa diliputi oleh persoalan klasik antara agama dan ilmu pengetahuan. Seiring gemerlapnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang, banyak orang yang silau dan menganggap bahwa ilmu pengetahuan lebih layak diimani ketimbang agama.
Pertentangan tersebut menurut Syathi’ bukan berasal dari agama dan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan dari tokoh dari kedua kubu tersebut. Agama dan ilmu pengetahuan menurutnya saling melengkapi satu sama lain, saling mendukung dan dan bersinergi dalam membuktikan kebenaran.
Oleh karenanya, demi kesuksesan dunia dan akhiratnya, manusia modern perlu memahami esensi dari agama dan ilmu pengetahuan secara komprehensif dan holistik.