Pada ayat 43-44 dalam artikel sebelumnya diterangkan bahwa bukti-bukti yang terhampar tidak bermanfaat bagi kaum musyrikin. Pada ayat berikut ini diuraikan bahwa nasihat dan tuntunan lisan pun tidak pula menggugah hati mereka. Allah SWT berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّقُوا مَا بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَمَا خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ () وَمَا تَأْتِيهِمْ مِنْ آيَةٍ مِنْ آيَاتِ رَبِّهِمْ إِلَّا كَانُوا عَنْهَا مُعْرِضِينَ
Wa idzaa qiila lahumuttaquu maa baina aydiikum wa maa khalfakum la’allakum turhamuun. Wa maa ta’tiihim min aayatin min aayaati rabbihim illaa kaanuu ‘anhaa mu’ridhiin.
Artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (kaum musyrik): “Waspadailah apa (siksa) yang di hadapan kamu dan apa yang di belakang kamu dengan harapan kamu mendapat rahmat. Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka satu ayat (yang dibaca maupun bukti yang bersifat inderawi yang terhampar di alam raya) dari (sekian banyak) ayat-ayat (dan bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan) Tuhan (yang melimpahkan rahmat kepada) mereka, melainkan mereka selalu berpaling darinya.” (QS: Yasin Ayat 45-46).
Syekh Ibnu Jarir al-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta‘wil al-Quran mengutip dua riwayat terkait dengan kalimat ma bayna aydikum wa ma khalfahum pada ayat 45. Pertama dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, diterangkan pada kalimat ma bayna aydikum terkait dengan peristiwa-peristiwa yang telah menimpa umat-umat terdahulu, sedang pada kalimat ma khalfahum adalah peristiwa Kiamat (amr al-sa’ah). Kedua dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu ‘Ashim dari ‘Isa dari al-Harits dari al-Hasan dari Waraqa dari Abi Najih dari Mujahid bahwasanya yang dimaksud dengan kalimat ma bayna aydikum adalah dosa-dosa yang telah dilakukan mereka (kafir Quraisy) sedangkan kalimat ma khalfahum adalah perbuatan-perbuatan yang akan dilakukan mereka.
Dari dua riwayat di atas, al-Thabari cenderung memilih pendapat Imam Mujahid. Hal ini menurut al-Thabari karena maknanya seolah-olah mengatakan, “hati-hatilah terhadap siksa atas dosa yang telah kalian perbuat dan yang belum kalian perbuat (ittaqu ‘uqubata ma bayna aydikum min dzunubikum).”
Kemudian pada ayat berikutnya al-Thabari menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ayat min aayaat adalah hujjah dan tanda-tanda yang mengarah pada tauhid dan kebenaran Rasulullah. Apa pun yang telah dibuktikan kepada mereka, seperti wahyu al-Quran, mereka tidak memikirkan (la yatafakkarun), merenunginya (la yatadabbarun), sehingga tidak satu pun yang mengena dalam hati mereka.
Menurut Imam al-Qusyairi pada ayat 45-46, Allah SWT menunjukkan sifat ketidakpedulian musyrik Mekah terhadap peringatan dan tanda-tanda yang telah ditunjukkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Mereka keras kepala, buta, dan tuli, atas petunjuk (al-rusyd) Allah SWT, sehingga apa pun yang telah diberikan kepada mereka, mereka menerimanya dengan cara berpaling dari petunjuk-petunjuk tersebut.
Sama seperti penjelasan al-Thabari, dalam kitab al-Kasysyaf al-Zamakhsyari juga mengutip keterangan dari Qatadah yang mengatakan korelasinya dengan umat-umat terdahulu dan Hari Akhir dan juga keterangan dari Mujahid yang menjelaskan korelasinya dengan perbuatan-perbuatan yang mereka perbuat.
Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa ungkapan ‘ittaquu maa bayna aydiikum wa maa khalfakum’ pada ayat ke-45 adalah sebagai ancaman (al-indzar). Kata aydiikum artinya adalah urusan akhirat yang nanti akan dihadapi, sedangkan kata khalfakum berarti urusan dunia yang akan ditinggalkan.
Menurut M. Quraish Shihab, kalimat maa bayna aydiikum dipahami dalam arti aktivitas yang belum dilakukan dan boleh jadi dilakukan, dapat mengakibatkan bencana di dunia maupun di akhirat. Artinya, sebagai peringatan dari Allah SWT agar manusia berpikir matang sebelum bertindak. Sedangkan kata maa khalfakum dapat dipahami sebagai peringatan pula agar manusia memikirkan kesalahan yang telah dilakukan untuk kemudian introspeksi diri.