Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan foto sejumlah mahasiswi pengurus organisasi kampus yang disensor, dari mulai diblur hingga diganti dengan kartun. Jika kita telusuri, sebetulnya bukan hanya BEM UNJ saja yang melakukan hal demikian, beberapa organisasi di kampus lain juga seringkali menyensor foto perempuan, terutama organisasi keislaman seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Menanggapi isu tersebut, BEM UNJ kemudian mengklarifikasi bahwa sensor foto itu merupakan keinginan mahasiswi itu sendiri. Memang benar, semua orang punya hak untuk tidak menampilkan wajahnya di media sosial. Tapi rasanya cukup aneh jika praktik itu dilakukan turun-temurun dan membudaya.
Sebagai perempuan, saya mengerti jika ada perempuan yang enggan memasang foto di medsos pribadinya. Namun, dalam organisasi, tujuan menampilkan foto tentu bukan untuk menggoda lawan jenis, melainkan agar mudah dikenal dan diketahui. Terlebih saat pemilihan ketua atau pengumuman struktur kepengurusan. Jika foto diblur dan disensor, bukankah kita akan kesulitan mengenali orang yang dimaksud?
Mengenai hal ini, saya setuju dengan argumen yang dikatakan Kalis Mardiasih, bahwa penyensoran diri sebagai pilihan personal berbeda dengan sensor di organisasi yang dilembagakan dan ditradisikan.
Dalam sebuah acara yang penulis hadiri, Ayu Kartika Dewi, salah satu staf khusus milenial presiden Jokowi pernah berkata “Pakailah pakaian berwarna cerah, duduk di depan ketika rapat. Buat apa? Ya supaya kita kelihatan!”
Sebab tanpa kita sadari, dalam organisasi dan event, perempuan seringkali ditempatkan pada posisi-posisi yang terlihat feminis, misalnya sekretaris, bendahara, pembawa baki, penjaga tamu, atau seksi konsumsi. Apa salah?
Tentu tidak, hanya saja peluang perempuan untuk menjadi pemimpin menjadi lebih kecil. Sehingga tugas organisasi menjadi terkotak-kotak, posisi A hanya diambil laki-laki dan posisi B jadi lebih pantas diambil perempuan. Kemudian tanpa disadari peran perempuan semakin terpinggirkan dan hanya berfungsi sebagai pelengkap saja.
Kemudian, jika alasan menyensor foto adalah mencegah fitnah yang muncul dari pesona kecantikan perempuan, nampaknya ada logika berfikir yang perlu kita benahi. Pertama, mari kita perhatikan bagaimana Islam mengatur relasi.
Menurut Dr. Nur Rofiah, tuntutan Islam terkait relasi selalu menyasar pada dua pihak. Misalnya ketika rakyat diminta untuk taat pada pemerintah, maka pemerintah juga dituntut untuk berlaku adil.
Begitu pula dalam permasalahan relasi antara laki-laki dan perempuan. Perintah ghoddul bashor tidak hanya ditujukan pada laki-laki, tetapi juga perempuan. Begitu pula perintah menjaga farji, bukan hanya ditujukan pada perempuan, melainkan juga laki-laki. Sebagaimana firman Allah Swt:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya” (QS. AN-Nur: 30-31)
Maka, jika menyensor foto perempuan dianggap bisa mencegah laki-laki untuk ghoddul bashor, bagaimana dengan foto laki-laki? Bukankah perempuan juga dianjurkan ghoddul bashor?
Jika foto perempuan bisa menimbulkan fitnah, bukannya foto laki-laki pun bisa menimbulkan fitnah? Kita tentu masih ingat bagaimana kehebohan foto telanjang dada atlet bulu tangkis Jonatan Christie yang sempat membuat banyak perempuan klepek-klepek. Lalu bagaimana bisa penyensoran foto yang katanya kesepakatan perempuan itu dinilai setara?
Kedua, coba kita ingat kisah Rasulullah Saw dengan Fadhl bin Abbas. Suatu ketika, Rasulullah Saw membonceng keponakannya itu di atas unta. Tiba-tiba seorang perempuan dari Khoitsam mendatangi Nabi Saw untuk bertanya mengenai haji.
Seketika Fadhl menatap perempuan itu dan si perempuan juga menatap Fadhl. Menyadari hal itu, Rasulullah Saw kemudian memalingkan wajah Fadhl ke sisi lain agar ia berhenti memandang perempuan itu.
Dalam peristiwa tersebut, Rasulullah Saw tidak menyalahkan perempuan Khaitsam itu, beliau tidak meminta si perempuan bertanya sambil menunduk, bahkan tidak pula melarang perempuan untuk keluar rumah. Yang beliau palingkan justru wajah keponakannya itu.
Pada akhirnya, perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dan kesetaraan masih terbentur beberapa rintangan. Sebab bukan hanya laki-laki saja yang mencekal, sekelempok perempuan juga justru enggan meraih kesetaraan ini.
Miris rasanya bila mengingat peran perempuan yang hilang –atau bahkan sengaja dihilangkan- dari sejarah. Di saat ilmuan laki-laki sudah membumi sejak masa Socrates, Plato atau Aristoteles, nama perempuan tak juga kita dengar.
Agung Danarta dalam bukunya “Perempuan Periwayat Hadis” menyatakan, pada periode sahabat (thabaqoh pertama), jumlah perawi perempuan paling banyak jumlahnya dibanding thabaqoh setelahnya. Hingga akhirnya di thabaqoh ke delapan dan seterusnya, tak ditemukan sama sekali perawi perempuan.
Berbagai kitab-kitab ulama klasik yang kita temukan juga lebih banyak ditulis oleh laki-laki, jarang sekali saya mendapatkan kitab yang ditulis perempuan.
Bahkan di Indonesia, pernah ada ahli hadis bernama Syaikhah Fatimah al-Falimbani. Dikabarkan Habib Salim bin Jindan pernah berkunjung ke Palembang pada tahun 1950-an. Beliau melihat kitab karya Syaikhah Fatimah berjudul Al-Faharis al-Qa’imah fi Stabat Sitti Fatimah. Namun sungguh disayangkan, kini nasib kitab itu tidak jelas, belum juga ditemukan .
Menurut Leila Ahmad, masyarakat baru ini justru bercorak lebih restriktif dan lebih misoginis dibanding masyarakat Arabia di bawah bimbingan Nabi Muhammad Saw. Jadi, jika foto perempuan sengaja diblur, bagaimana kita bisa melacak identitas perempuan-perempuan ke depannya? Apa kita mau peran-peran perempuan hebat di masa kini juga hilang ditelan masa tanpa upaya pengabadian?