Beberapa teman berkeluh kepada penulis perihal kesulitan memulai tulisan. Padahal, kata mereka, sudah ada sekian ide dan gagasan dalam pikiran. Dalam rangka usaha menghadirkan solusi, penulis biasanya menyarankan mereka untuk membaca tulisan Gus Dur, dan meniru cara beliau memulai tulisannya.
Bagi pembaca tulisan-tulisan Gus Dur tentu tak asing dengan cara ia memulai tulisan-tulisannya. Pengamatan penulis, dalam beberapa karyanya, Gus Dur membuka dengan cerita yang menjadi latar belakang tulisannya lahir.
Penulis masih ingat salah satu tulisan beliau di buku Kumpulan Artikel dan Kolom Abdurrahman Era Lengser yang berjudul Gila NU, NU Gila. Sebelum masuk ke inti tulisannya tentang pluralitas pandangan dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur memulainya dengan cerita saat dihubungi sahabatnya dan diajak bareng ke sesuatu tempat:
“Pada suatu malam, setelah jam 01.00 WIB, dokter Fahmi Dja’far Saifuddin menjemput penulis di rumah Jl. Kutilang Cilandak. Maksudnya, adalah mengajak penulis ke Tanjung Priok, karena ada telpon agar kami berdua saat itu juga pergi ke sana. Penulis menyatakan pada dokter itu, kalau kita datang sebelum jam 24.00 WIB maka kita dianggap orang gila NU. Dan, kalau di atas jam 24.00 WIB malam maka yang melakukan itu adalah NU gila..”
Contoh lagi di buku Islam ku Islam Anda Islam Kita. Di salah satu artikelnya yang membahas tentang negara Islam, Gus Dur memulai dengan bercerita pengalaman seminarnya di suatu tempat dan mendapat respon dari salah seorang mahasiswa. Dari respon mahasiswa tersebut kemudian Gus Dur mengulas tulisannya secara panjang lebar. Begini Gus Dur memulainya:
“Dalam dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir Januari lalu, lagi-lagi keluar sebuah pertanyaan yang di mana-mana penulis hadapi, terutama dari kalangan anak muda. Seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam, umpamanya saja mengenai kehadiran “negara Islam” Nah, jawaban atas pertanyaan itu, penulis kemukakan dalam tulisan ini untuk dipikirkan bersama…”
Lalu apa hubungan antara cara Gus Dur mengawali tulisannya dengan dengan kitab kuning?
Entah ada hubungannya atau tidak, namun tadi malam saat penulis merampungkan ulasan yang berjudul “Alasan Penulisan Aisyul Bahri dan Kenapa Kiai Anwar Batang Menyatakan Kepakarannya” penulis merasa ada kesamaan cara memulai tulisan antara Gus Dur dan beberapa penulis kitab kuning.
Tadi malam penulis merujuk ke kitab Risalah al-Bajuri yang menjelaskan persoalan tauhid yang ditulis oleh Syaikh Ibrahim al-Bajuri. Setelah memuji Allah dan membaca salawat serta salam kepada Nabi Muhammad, yang menjadi ciri khas kitab kuning, beliau memulai kitabnya dengan bercerita. Katanya, beliau menulis kitab lantaran diminta oleh sebagian teman-temannya, dan beliau pun menyanggupinya. Baru setelah ceritanya itu, beliau masuk ke pembahasan persoalan tauhid, yang diantaranya meliputi sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah SWT.
Cara yang demikian ini, sesuai pengalaman dan ingatan penulis yang bisa saja khilaf, akan kita temukan di beberapa kitab kuning. Lalu pertanyaan berikutnya, apakah cara Gus Dur memulai tulisannya itu, sedikit atau banyak, lantaran penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning?
Jawab dari pertanyaan di atas, bisa “iya” dan bisa “tidak”. Namun melihat keakraban Gus Dur dengan kitab kuning, mengingat latar belakang Gus Dur yang tumbuh kembang di lingkungan pesantren dan juga masih berkutat dengan teks-teks berbahasa Arab sampai ia belajar di Mesir maupun Baghdad dilanjut dengan mengajar kitab kuning pasca kepulangannya ke tanah air lalu memimpin NU, bahkan putri pertamanya diberi nama yang diadopsi dari sebuah nama kitab karya Ibnu Hisyam: Qatrunnada, potensi jawaban “iya” cukup besar. Bukankah tulisan seseorang itu sedikit atau pun banyak juga dipengaruhi apa-apa yang ia baca?
Metode yang dipakai Gus Dur dalam memulai tulisannya, sebagaimana pengalaman penulis, efektif untuk mengatasi kebuntuan atau kebingungan dalam memulai tulisan. Dengan menjadikan cerita sebagai permulaan, seseorang bisa dengan mudah menghadirkan ide-idenya sebagai terusan kisah tersebut sebagaimana dilakukan Gus Dur, yang sudah dicontohkan di atas.
Memulai dengan kisah atau cerita, kalau kita baca buku Inilah Esai karya Muhidin M Dahlan, merupakan salah satu alternatif dalam memulai esai. Kata Muhidin, “jika ingin membuka dengan cerita, pilihlah cerita yang kuat”. Muhidin menyebut beberapa nama penulis yang memilih memulai tulisannya dengan kisah seperti Goenawan Mohamad dan Eko Prasetyo. Bagi penulis, selain memudahkan, memulai dengan kisah juga mengantarkan kalimat-kalimat selanjutnya menjadi runtut seperti orang bertutur. Kita sebagai pembaca juga seperti bercakap langsung dengan penulisnya.
Jika Anda sering mengalami kebingungan dalam memulai tulisan, mungkin cara Gus Dur bisa menjadi pilihan alternatif. Akan sangat baik jika Anda bisa menampilkan kisah yang jenaka seperti yang dilakukan Gus Dur di kolomnya yang berjudul Gila NU, NU Gila. Minimal, walaupun isi dari tulisan Anda “berat”, pembaca terhibur dan tertawa di awal sehingga memutuskan untuk melanjutkan membaca tulisan Anda.