Internet dan Islam, Sebuah inamika anak muda muslim menjadi salah satu topik paling hangat dalam kajian keislaman. Bukan hanya karena negara mayoritas muslim, seperti Indonesia, sedang berada menghadapi kondisi bonus demografi. Di mana jumlah anak muda cukup jauh di atas dari kelompok umur non-produktif. Anak muda, tidak hanya di Indonesia tapi juga di hampir seluruh dunia, sedang menjadi avant-garde dalam menterjemahkan Islam dengan situasi kekinian.
Tidak heran akhirnya diksi seperti “generasi milenial” menjadi akrab bersanding dengan berbagai kajian Islam. Diantara contoh artikulasi keislaman oleh anak muda adalah berlambaknya narasi Islam di dunia maya. Kenapa? Alasan paling manjur yang kita lihat sendiri kebenarannya adalah kelihaian anak muda dalam menyalurkan berbagai persoalan Islam di Internet.
Kondisi ini tentu menghendaki efek domino yang sekarang beberapa diantaranya sudah kita rasakan bersama, seperti persoalan otoritas, kegamangan umat melihat perbedaan hukum, hingga pertengkaran soal agama di media sosial. Ketiga perkara ini mungkin hanya puncak gunung es dari relasi antara Islam dan internet yang bisa kita lihat.
Boleh kita berdebat soal titik pangkal dari banyak persoalan tersebut, tapi sebelum lebih jauh pernahkah terlintas pertanyaan dalam benak kita tentang apa yang sebenarnya ditawarkan oleh internet dalam kehidupan manusia, termasuk agama.
Ben Bagdikian, wartawan The Washington Post, melukiskan beberapa kegagalan dari penerbit surat kabar saat berhadapan dengan mimpi dari masyarakat modern. Mereka mengimpikan berita yang bisa hadir secepat mungkin di dekat dengan kehidupan mereka. Mimpi mendekatkan tersebut hadir di masyarakat karena kemunculan teknologi di masa itu, termasuk digital.
Kondisi masyarakat sekarang yang telah terjerembab pada proses miniaturisasi, yang mana batas-batas yang dulu dihadapinya semakin kabur dan melonggar, berimbas kehidupan menjadi semakin mudah berpindah dan menuntut pergerakan masyarakat yang cepat. Akhirnya, mengakibatkan surat kabar itu tampaknya memiliki bentuk yang aneh dan bahkan konyol, seperti koran yang dibuka lebar, ini jelas ancaman di tempat ramai seperti kereta komuter yang ramai atau mobil.
Di sisi lain daya tahan surat kabar harian tampaknya semakin dipertanyakan, karena orang dihadapkan dengan laju kehidupan perkotaan modern, juga terus-menerus mengeluh bahwa “tidak ada yang punya waktu yang banyak”, namun merindukan informasi terus hadir dalam kehidupannya. Mereka menuntut perubahan pada penyajian informasi oleh koran harian yang bisa beradaptasi pada struktur sosial tersebut.
Ben menuliskan bahwa kecepatan informasi (baca: distribusi) sebagai impian paling utama yang melintas dalam benak umat manusia, diamini oleh kelahiran komputer yang diikuti internet belakangan. Ben memang melihat kecepatan dari sudut pandang wartawan dan penulis, dan yang dirasakan Ben tersebut bisa dibilang memiliki irisan yang sama dengan agama, minimal dari efek domino yang dirasakan.
Tidak jauh berbeda dengan koran, Agama yang berjumpa dunia maya mungkin yang dipikirkan pertama kali adalah mimpi kemudahan dan kecepatan dalam distribusi pengetahuan. Sejak agama mulai berkelana dari tempat kelahirannya, yang pertama dilakukan adalah transmisi pengetahuan di tempat baru yang didatangi atau dalam bahasa agama Islam disebut “dakwah”.
Informasi agama yang berkeliaran di dunia maya sekarang ini bermuara pada mimpi yang sama dari masyarakat tentang koran. Akibatnya, tidak sedikit problematika yang sama bisa kita lihat sekarang ini. Berbagai informasi bisa diakses dengan sangat mudah dan di mana saja. Kemudahan akses informasi memang menawarkan distribusi yang bisa dibilang merata.
Apakah kelindan agama dan internet adalah mimpi yang tidak sempurna? Mungkin masih banyak hal yang bisa perdebatkan, namun kegalauan Ben Bagdikian bisa menyadarkan kita bahwa persoalan distribusi atau transmisi pengetahuan jelas membawa kegagalan dan kegalauan koran, juga bisa dirasakan pada sisi agama.
Hoax, kemunculan otoritas baru, melonggarnya batas-batas keilmuan agama adalah diantara persoalan awal perjumpaan Islam dengan internet, minimal di Indonesia. Perbincangan Islam soal progres cyborg atau intelektual buatan masih belum disentuh banyak oleh pengkaji atau otoritas agama, dan jelas sekali perdebatan tersebut suatu saat nanti akan masuk ke dalamnya.
Berawal dari mimpi tentang kemudahan transmisi pengetahuan agama, akhirnya kita tentu masih terus berjalan dalam bernegosiasi dengan media baru, bernama internet. Rumus algoritma dan berbagai unsur dalam agama Islam seakan tidak akan berhenti untuk saling tarik-menarik, terus melahirkan banyak kemungkinan baru yang akan menyadarkan kita bahwa ini tidak lagi sekedar soal distribusi pengetahuan, tapi jauh lebih kompleks.
Membaca adalah laku paling rasional yang bisa kita laksanakan guna menghindarkan kegagapan, dalam menghadapi kemungkinan baru yang terus akan dihadirkan di hadapan kita sebagai seorang muslim. Kegagapan hanya akan membawa kejumudan gaya baru yang
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin