Alia dan Para Penyelamat Buku dalam Kecamuk Perang

Alia dan Para Penyelamat Buku dalam Kecamuk Perang

Kita perlu mengapresiasi para penyelamat buku pada masa-masa perang seperti Alia ini.

Alia dan Para Penyelamat Buku dalam Kecamuk Perang

Airmatanya nyaris tak terbendung ketika ia menyaksikan api menjalar cepat, melumat habis gedung perpustakaan beserta isinya itu. Mengubah segala yang bermakna jadi abu. Jadi arang, hitam. Sekitar tiga puluh persen koleksi perpustakaan yang jumlahnya puluhan ribu buku, gosong. Hatinya merasa sedih, luluh lantak, dan kosong. Penyelamat buku

Kala itu tahun 2003, Iraq sedang tenggelam dalam perang hebat, dan ia tahu setiap perang selalu berakhir dengan kehancuran. Setiap perang akan memusnahkan jantung peradaban. Dan jantung itu ada di perpustakaan. Karena alasan itulah, sebelum perang benar-benar memporak-porandakan segalanya, termasuk perputakaannya, Ia datang ke ruang Gubernur Basra. Meminta ijin untuk memindahkan semua koleksi buku ke tempat yang lebih aman. Sayang, sang Gubernur tidak mengijinkannya.

Ia adalah Alia Muhammad Baqer, kepala perpustakaan pusat Basrha, Irak. Seorang perempuan yang empat belas tahun mengabdi di tempat puluhan ribu koleksi buku-buku bersemayam. Penanggungjawab nasib ilmu pengetahuan di gedung itu. Dan ia terpaksa melanggar titah sang Gubernur.

Setiap petang Alia mulai memindahkan beberapa koleksi secara bertahap. Beberapa buku ia keluarkan dari raknya, dimasukkan ke kotak-kotak sementara, kemudian dibawa ke dalam kendaraan untuk dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Dirasa kotak-kotak itu tak cukup, Alia tak ambil pusing. Dicopotnya tirai jendela perpustakaan untuk mengemas buku-buku yang ia siapkan. Begitu terus hingga beberapa hari. Sementara suara ledakan-ledakan meriam sudah terdengar di kejauhan. Kadang ia merasa ledakan itu seperti genta peringatan. Ia harus bersicepat. Bertarung dengan waktu. Sebelum segalanya terlambat.

Sebab Alia tahu, Irak bukan sekali itu mengalami perang besar. Penghancuran pertama Baghdad terjadi di tahun 1258. Dalam tulisan panjang di The New Yorker disebutkan perkiraan korban jiwa bervariasi dari dua ratus ribu hingga satu juta orang, termasuk buku.

Itu dilakukan oleh pasukan mongol di bawah komando panglima perang Hulagu, cucu Jengis Khan. Perang di abad ketiga belas itu tidak hanya menewaskan banyak manusia, tetapi juga menghancurkan istana, masjid, rumah sakit, dan pusat-pusat kajian ilmu, perpustakaan.

Perpustakaan Baitul Hikmah yang jadi pusat pengkajian dan pengembangan ilmu di masanya musnah. Kabarnya, aliran sungai berubah warna biru karena tinta dari buku-buku yang tenggelam. Dapat dibayangkan banyaknya buku-buku itu. Sebelum membakar perpustakaan, pasukan mongol terlebih dulu mengeluarkan seluruh buku, lantas mereka membuangnya ke tepi sungai Tigris hingga tenggelam. Baitul Hikmah merupakan satu di antara tiga puluh enam perpustakaan di Baghdad. Hampir setiap sudut kota di Baghdad terdapat perpustakaan. Semua dihajar oleh kebengisan perang.

Hulagu seakan sadar cara terbaik menghapus peradaban adalah dengan menghancurkan perpustakaan. Perpustakan adalah rumah bagi ilmu pengetahuan. Dari sana gairah keilmuan diwariskan ke generasi berikutnya. Banyak intelektual dan ilmuwan berhimpun di bangunan berhiaskan buku-buku berharga itu. Dengan membakar dan membuang buku-buku itu seperti mematikan lampu seketika. Ruang kegelapan. Jenderal Hulagu seakan ingin menciptakan Baghdad tanpa bekal pengetahuan.

Alia tak mau sejarah kelam itu berulang. Ia tak ingin Baghdad kembali pada masa kegelapan. Masa di mana orang-orang dilumat kebodohan. Ia tak sudi buku-buku dengan segala semesta ilmu pengetahuan di dalamnya digasak kebiadaban. Maka, ia berkerja tanpa henti menyelamatkan apa yang pantas ia selamatkan. Meski seorang diri.

Tapi Alia tak sendiri. Apa yang dilakukannya pada buku-buku di perpustakaan tempatnya bekerja menarik simpati Anis Muhammad, pemilik rumah makan yang berada di dekat gedung perpustakaan. Ia dengan sukarela turut berjibaku membantu Alia. Anis tidak hanya menyiapkan kardus-kardus dan kantung terigu untuk mengepak buku. Ia juga menyediakan ruangan untuk menampung ribuan buku-buku perpustakaan untuk sementara. Keluarga dan pegawai Anis ikut membantu penyelamatan itu.

Memang dalam kondisi genting di tengah kecamuk perang, penyelamatan buku oleh Alia itu dipandang aneh banyak orang. Mengapa harus buku? Bukannya nyawa sendiri lebih penting dari itu semua? Mengapa bukan harta? Malah tetangga lainnya menggunjing Alia sebagai seorang penjarah yang tak cukup lihai. “Orang-orang memandang heran terhadapku, mengapa dirinya membawa buku-buku,” kata Alia seperti yang diungkapkan oleh Jeanette Winter, penulis yang mengangkat kisah heroik itu ke sebuah buku cerita untuk anak-anak, The Librarian of Basra: A True Story of Iraq.

Tapi Alia tak punya waktu meladeni gunjingan. Waktunya terlalu pendek. Sementara perang bisa begitu panjang. Yang ia pikirkan, Baghdad pernah jadi pusat peradaban dunia. Eropa pernah berkiblat ke Baghdad. Eropa pernah belajar dari peradaban Baghdad. Menjadikannya sebagai landasan keilmuwan dan karya ilmiah di tanah Eropa yang mengantarkan eropa menuju Renaissance (masa pencerahan). Karena itu, menyelamatkan buku berarti menyelamatkan negerinya.

Tak sedikit yang setuju dengan Alia. Selain Anis, Husein Muhammad al-Salem al-Zambqa, pemilik toko parfum di seberang jalan rumah makan, beserta yang lainnya turut membantu Alia. Husein bercerita tidak semua mereka yang membantu penyelamatan itu berpendidikan, beberapa dari mereka tak mampu baca-tulis. Mereka hanya tahu buku-buku yang diselamatkan itu benda berharga, seperti; Al Quran berbahasa Spanyol dan buku Biografi Nabi Muhammad yang berusia 700 tahun, koleksi yang sangat langka.

Dibantu mereka, Alia berhasil menyelamatkan 30.000 buku, sekitar 70% koleksi perpustakaannya. Sisanya, sekitar 30% tak mampu ia selamatkan. “Buku-buku tentang Saddam kami tinggalkan,” Kata Husein. Beberapa hari kemudian, seperti dugaan Alia, api peperangan melumat perpustakaannya. Dan Alia menangis menyaksikannya. Perang memang tak punya perasaan.

Kisah Alia ini patut kita baca, paling tidak bisa bercerita pada anak-anak kita nanti; hero itu tak selalu seperti Superman dengan segala macam kekuatannya. Dalam kehidupan nyata ada kisah perjuangan Alia, sang pustakawan yang menyelamatkan buku-buku saat kondisi perang. Ia telah menyelamatkan anak-anak pemikiran bagi generasi berikutnya. Meski pada akhirnya ia kalah. Tak semua buku berhasil ia selamatkan. Dan Iraq terus dirundung perang tak berkesudahan. Tapi bukankah pahlawan tidak selalu menang? (AN)

Wallahu a’lam.