Sebagai penikmat lagu, saya sangat menikmati alunan musik. Dan saya kira, umat muslim lainnya juga serupa. Tentunya genre (selera) saya. Persentuhan musik sebagai produk budaya luar juga pernah dialami oleh orang-orang arab, atau kalangan umat Islam klasik khususnya. Al-Farabi pernah menjelaskannya dan ia menjadi salah satu ilmuan muslim klasik yang mampu mengkonsepkan musik itu sendiri. Setidaknya itu dibuktikan dengan karyanya Al-Musiq al-Kabir.
Siapakah al-Farabi?
al-Farabi merupakan penisbatan kepada daerah asal yakni Farab. Letak daerah ini berada di sekitar kota Khurasan. Tapi kemudian, al-Farabi menetap di kota Bagdhad, Irak. Sebagai kota peradaban pada masanya, tak ayal, al-Farabi banyak menimba ilmu pengetahuan dari banyak guru dan filusuf. Terkenal dengan nama al-Farabi, ia memiliki nama lengap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan.
Tidak hanya dikenal sebagai filusuf, al-Farabi adalah matematikawan. Bahkan dia juga dikenal Aristo kedua. Memang, tak jarang ilmuan-ilmuan Islam klasik memiliki kemampuan multidisiplin ilmu. Al-Farabi adalah sedikit orang yang dianugerai Allah kemampuan tersebut.
Kecendrungannya pada musik sudah tampak pada usia dini. Konon, suatu ketika ia memukul al-‘Ud (sejenis alat musik) lalu bernyanyi. Namun, saat bulu-bulu kumis, jambang dan jenggotnya tumbuh berkata. “setiap lagu yang keluar dari mulut yang berkumis dan berjenggot adalah lagu yang tidak enak didengar”. Lantas ia pun, memotong brewok dan jenggotnya.
Guru al-Farabi
Ghattas bin Abdul Malik Khatsbah sebagai pentahqiq kitab Al-Musiq al-Kabir, ia menuliskan beberapa guru-filusuf yang paling berpengaruh pada al-Farabi kecil. Di antaranya, Abu Basyar Mata bin Yunus. Abu Basyar adalah filusuf yang terkenal di Bagdhad. Menariknya, ada guru-filusuf bernama Yuhan bin Hailan. ia adalah seorang Nashrani yang kelak akan memperkenalkan kepada al-Farabi logika Aristoteles.
Yuhan juga mengajarkan untuk langsung mempelajari teks asli Aristoteles. Hal ini dikarenakan, banyak teks-teks yang disandarkan kepada Aristoteles oleh para pengikutnya. Guru-filusuf keduanya al-Farabi ini seakan mengajarkan kritik teks, jauh sebelum kritik teks diperkenalkan pada masa Ibnu Rusyd.
Al-Farabi dan dunia musik
Menurut al-farabi, dunia arab, pada mulanya tidak mengenal musik beserta alat-alatnya. Arab mengenal music lewat persentuhan budaya luar, yakni Romawi dan Persia. Dengan kata lain, musik adalah bentuk hasil kreasi sebuah kelompok, kaum, serta bangasa. Arab, diakui al-farabi, menjadi mengenal musik dengan sense musikalnya yang disesuaikan dengan watak dan kondisi lingkungan alamnya.
Kitab Al-Musiq al-Kabir menjelaskan musik secara konseptual dan praktiknya. Dalam kitab ini, Al-Farabi mengawali musik dari sudut pandang sebagai platonis. Dari muslimsidesphere, al-Farabi harus diposisikan teratas sebagai pemerhati musik pada masanya. Dalam penulisan karya tersebut, al-farabi terinspirasi dari praktek dan teori-teori musik yang telah didahului oleh filusuf-filusuf yunani klasik. Bagi al-farab, menjadi filusuf tidak hanya berkontemplasi , tapi juga merasa lewat seni dan musik.
Dalam tulisan Islamic Philosophy between Theism and Deism, Sayed Hasan Husain Akhlaq menjelaskan bahwa al-Farabi merupakan filusuf muslim pertama yang menemukan adanya sistem filosofis di dalam Islam. Menurutnya, sistem filsafat Islam harus memadukan kerja teoritik dan praktis. Dalam hal ini, berfikir filosofis sebagai kerja teoritik dan matematika sebagai kerja praktis. Oleh karena itu, Al-Farabi sangat gemar dalam perjalanan hidupnya menjadi seorang filusuf, sekaligus matematikawan.
Bagi al-Farabi, musik adalah bentuk ekspresi dari jiwa-jiwa yang kering. Bukan musik namanya, jika hanya instrument atau nada yang dikedepankan. Justru konten musiklah yang utama. Musik yang dengan alunan sendu sangat cocok dalam keadaan sedih. Begitu halnya dengan alunan dan lirik lagu penuh spirit, tentu akan bermakna pada perjuangan dan keyakinan.
Musik harus memiliki “jiwa”, pada pemikiran al-Farabi berangkat dari pernyataannya. “inni qara’tu hadza-l-kitab (al-Nafs, artinya jiwa) miah marrah”. Sesungguhnya saya telah membaca kitab jiwa karya Aristoteles ini sebanyak seribu kali.” Tidak diragukan bahwa al-Farabi memiliki kontribusi besar bagi perkembangan musik di kalangan dunia muslim.
Di tengah banyaknya jenis musik yang tak mencerminkan keadaan masyarakat muslim, pemikiran filusuf yang dikenal punya konsep “al-madinah al-fadhilah” ini, saya sendiri, kita dan orang-orang muslim lainnya mesti meresapi dan mengkreasikan kembali musik-musik yang sesuai dengan keadaaan umat Islam. []
Fahmi Suhudi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Peneliti di el-Bukhari Institute