Tatkala mempelajari ilmu-ilmu agama, mungkin kita pernah mendengar istilah makanan atau harta syubhat. Lalu kita faham bahwa sebaiknya makanan atau harta tersebut dijauhi. Namun tidak sampai ke hukum haram atau wajib dijauhi. Tapi, bagaimanakah arti syubhat sesungguhnya? Benarkah makanan, harta, dan selainnya yang tergolong syubhat wajib dijauhi? Lalu, apa akibat dari makan atau memakai hal-hal syubhat?
Nabi Muhammad SAW menyinggung perihal syubhat dalam hadis berikut:
إنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنْ اِتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقْد اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَّا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ، أَلَّا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada beberapa hal samar yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Maka siapa yang menjahui hal samar, ia telah berusaha menjaga agama dan wibawanya. Dan siapa yang jatuh pada hal samar, maka ia lekas jatuh pada hal haram. Sama seperti pengembala yang mengembala sekitar area terlarang, ia lekas makan di area terlarang. Ingatlah, setiap raja memiliki area terlarang. Ingatlah, area terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Ketika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh. Ketika buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR: Bukhari dan Muslim)
Imam al-Munawi dalam Faidul Qadir Syarah Jami’us Shaghir menerangkan beberapa poin terkait hadis di atas:
Pertama, halal telah jelas dan haram telah jelas artinya, apa yang dihalalkan dan diharamkan telah jelas berdasar nash Allah dalam al-Qur’an al-Karim, nash Nabi dalam hadis serta sesuai kesepakatan umat Islam mengenai kehalalan atau keharaman benda atau jenis benda tersebut. Juga berdasar ketiadaan dasar pelarangannnya menurut pendapat yang paling dzahir.
Kedua, di antara halal dan haram tersebut, ada hal-hal yang masih samar-samar statusnya. Kesamaran ini disebabkan ketidak adaaan keterangan dari syariat atau keberadaan beberapa dalil yang memberi kesimpulan hukum yang berlawanan satu sama lain. Sebagian menyatakan halal, sebagian menyatakan haram. Sementara itu tidak ada dasar yang menguatkan salah satunya.
Namun, berdasar keterangan al-Munawi, persoalan syubhat bukan soal ketiadaan dalil atau keberadaan dalil yang saling berlawanan saja. Tapi, juga soal ketidak jelasan asal-usul harta yang dihadapi. Al-Munawi berkata:
“Termasuk dari hal yang syubhat, adalah bertransaksi dengan orang yang di dalam hartanya ada yang diharamkan. Maka yang lebih berhati-hati adalah tidak melakukan transaksi meski itu dihalalkan. Imam al-Ghazali berkata: kalau kebanyakan harta orang yang diajak transaksi itu adalah harta haram, maka diharamkan bertransaksi dengannya.”
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari syarah Sahih Bukhari lebih jelas menyatakan bahwa kesimpulan dari penafsiran beberapa ulama’ mengenai makna syubhat, ada empat penafsiran: pertama, samar hukumnya disebabkan keberadaan beberapa dalil yang bertentangan. Kedua, samar hukumnya sebab masih diperselisihkan ulama’ mengenai hukumnya. Ketiga, dianggap samar hukumnya sebab masuk dalam kategori makruh. Karena meski makruh diperbolehkan, tapi ada unsur tarik-menarik antara boleh dilakukan dan perlu ditinggalkan. Keempat, samar hukumnya sebab masuk kategori khilaful aula. Yakni, dilihat dari dzatiyah hal tersebut tidak ada dorongan untuk dilakukan atau ditinggalkan. Tapi, dilihat dari unsur di luar dzatiyah, ada dorongan dilakukan atau ditinggalkan.
Lalu, diantara beberapa penafsiran di atas mana yang benar? Imam Ibn Hajar menyatakan bahwa bisa saja seluruh penafsiran itu benar. Dan beda orang, beda penafsiran syubhat yang cocok untuknya. Sebab, orang yang ahli dalam hukum syariat, bisa saja tidak ada yang hal yang samar baginya mengenai hukumnya berdasar dalil yang ada. Tapi, kegemarannya melakukan hal makruh akan menghantarkannya melakukan hal yang diharamkan.
Ketiga, orang yang melakukan hal-hal syubhat maka akibatnya cepat lambat akan jatuh pada melakukan hal yang diharamkan. Ini bisa saja disebabkan kekurang hati-hatiannya atau kecerobohannya terhadap hukum sesuatu.