Ketika kaum Muhajirin dari Mekkah meninggalkan kota kelahiran mereka dan memilih untuk ikut Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, mereka meninggalkan harta benda mereka: rumah, dagangan, dan harta tak bergerak yang bernilai besar.
Beberapa saudagar kaya yang mendapatkan banyak keuntungan dari berdagang saat di Mekah, harus mulai lagi dari nol. Perbedaan kultur antara warga Mekah dan Madinah menjadi salah satu faktornya. Kultur masyarakat Madinah memiliki pencaharian sebagai petani, sedangkan orang Mekah adalah pedagang.
Saat sampai di Madinah, mereka menganggur karena tidak memiliki lahan untuk bertani, sebaliknya, mereka juga tak bisa berdagang karena tidak memiliki cukup modal dan lapak untuk berdagang.
Peran Rasulullah dalam hal ini sangat penting. Pasalnya, saat tiba di Madinah, Rasul langsung membuat pasar dan mempersaudarakan antara orang Muhajirin dari Mekah dengan orang Anshar dari Madinah. Dua hal ini dianggap cukup sebagai salah satu cara untuk memperkuat ekonomi antara pribumi (Anshar) dan pendatang (Muhajirin).
Namun di antara para Muhajirin tersebut ada yang kurang beruntung, mereka tidak dapat “bagian” dari hasil keputusan Rasul untuk mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Akibatnya, mereka tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki mata pencaharian. Kelompok inilah yang kelak disebut sebagai Ahlus Shuffah (as-Shuffah).
Kelompok ini disebut sebagai Ahlus Shuffah karena tinggal di bagian belakang Masjid Nabawi. Diriwayatkan bahwa dahulunya tempat yang dihuni oleh kelompok as-Shuffah ini adalah bagian mihrab masjid Nabawi saat kiblat masih menghadap ke Masjid al-Aqsha Palestina.
Setelah turun wahyu perpindahan kiblat, bagian ini kemudian diberi atap dan ditempati oleh kelompok Ahlus Shuffah. Ibn Jubair menyebutkan bahwa nama kelompok Ahlus Shuffah ini dinisbahkan pada suffatu masjid an-Nabawi yang sekarang dikenal sebagai Dikkah al-Aghawat.
Mereka menjadikan masjid tidak hanya untuk belajar dan beribadah, tetapi juga untuk tempat tinggal. Rasulullah SAW yang menyaksikan hal ini tidak lantas melarang dan mengusir mereka, seperti fatwa MUI Jabar yang baru-baru ini viral, karena menganjurkan DKM Masjid Al-Islam untuk melakukan sterilisasi masjid dari pengungsi Tamansari yang tengah tinggal di sana, setelah menjadi korban penggusuran.
Rasulullah SAW bahkan beberapa kali, secara khusus, mengundang mereka makan di rumah Rasulullah SAW, hal yang sama pun dilakukan sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang lain. Abu Bakar misalnya, ia juga beberapa kali mengundang sahabat dari kelompok Ahlus Suffah ini untuk makan di rumah Abu Bakar. Walaupun banyak, makanan yang diberikan Abu Bakar ternyata tak kunjung habis. Hal ini diriwayatkan oleh Ibn Katsir sebagai salah satu karamah kelompok Ahlus Shuffah ini.
Salah satu tokoh besar yang merupakan bagian dari kelompok ini adalah Abu Hurairah, sehabat yang terkenal sebagai sahabat yang meriwayatkan hadis terbanyak di antara sahabat lain. Wajar saja demikian, karena Abu Hurairah dekat dengan Rasulullah. Tempat tinggalnya hanya beberapa langkah dari hujrah (kamar Rasulullah). Bahkan beberapa kali Abu Hurairah lah yang diminta mengundang kelompok Ahlus Shuffah yang lain jika Rasulullah ingin mengisi “pengajian”.
Seperti halnya kita, semakin sering dekat dengan seseorang, akan mampu bercerita banyak tentang orang itu. Walaupun perkenalan kita dengan orang tersebut tidak lebih lama dari pada orang lain, begitu juga dengan Abu Hurairah yang periwayatannya lebih banyak dari pada sahabat lain yang lebih dahulu kena dengan Rasulullah SAW.
Selain Abu Hurairah, masih ada beberapa sahabat lain yang tergabung dalam kelompok Ahlus Shuffah ini. Al-Qurthubi menyebutkan bahwa jumlah mereka mencapai 400 orang. Berbeda dengan al-Qurthubi, al-Asbahani menyebutkan 70 orang. Mereka adalah Shafwan bin Baidha’, Khuraim bin Fatik al-Asadi, Khubaib bin Yasaf, Salim bin Umair, Jurhud bin Khuwailid, Abu Suraihah Al Ghifari (syahid dalam Hudaibiyah), Haritsah bin Nu’man al-Anshari, Abdullah Dzu al-Bajadain (syahid dalam perang Tabuk), Tsaqif bin Amr (syahid dalam perang Khaibar) Asam bin Haritsah bin Sa’id al-Aslami, Hanzhalah bin Abu Amir al-Anshari, Hazim bin Harmalah, Hudzaifah bin Usaid, Jariyah bin Jamil bin Syabat bin Qarath, Ju’ail bin Saraqah al-Dhamri, Sa’ad bin Malik, Irbadh bin Sariyyah, Gharfat bin al-Azdi, Abdurrahman bin Qarth, Ubbad bin Khalid Al-Ghifari, Salim, mantan budak Abu Hudzaifah (syahid dalam perang Yamamah), Safinah, mantan budak Rasulullah dan lain-lain.
Tidak hanya sesuku, kelompok “tunawisma” yang ditampung Rasulullah SAW di Masjid Nabawi ini terdiri dari berbagai suku dan etnis. Karena terdiri dari berbagai etnis tersebut, Rasulullah SAW memberikan julukan mereka sebagai al-Afwadh.
Bagaimana jika ada tunawisma di sekitar desamu, korban penggusuran misalnya yang ingin tinggal di masjid? Bolehkah, atau ikut fatwa MUI saja? (AN)
Wallahu a’lam.