Kehidupan umat Islam saat ini dibayang-bayangi kejayaan Islam masa lalu. Jika ada tuduhan dari luar datang—menganggap umat Islam mundur, jawaban paling strategis adalah romantisme, bercerita tentang Daulah Abbasiyah, berbicara tentang tokoh-tokoh Islam sebagai penemu. Argumen itu sebagai fungsi penegas umat Islam (pernah) maju, tidak tertinggal.
Kemajuan Islam, disebut golden age, adalah proyek dialog produktif antar peradaban, di mana banyak ilmuan-ilmuan Islam yang belajar dari peradaban Yunani. Artinya, Islam terbuka. Sedangkan peradaban Barat yang sedang berkembang, pun terbuka, Barat melakukan interaksi antar peradaban, termasuk dengan peradaban Islam.
Lantas, bagaimana dengan umat Islam sekarang? Umat Islam saat ini dianggap mundur, salah satu ukuran yang sering dibahas adalah penghargaan nobel dunia. Di mana peraih penghargaan nobel yang datang dari kalangan Islam hanya beberapa saja (bisa dihitung jari).
Benarkah umat Islam tertinggal? Telah banyak yang membahas hal ini, dan tidak sedikit juga pemikir-pemikir Islam menulis tentang ini, sebagai usaha agar umat Islam sadar bila sekarang mereka sedang terpuruk. Yang menjadi permasalahan, kesadaran yang tumbuh tidak dibarengi dengan kebangkitan.
Seperti di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas, belum punya kemampuan berlebih dalam penguasaan di berbagai bidang, khususnya ekonomi. Di tingkat dunia, Indonesia juga tertinggal, pendidikan tertinggal, penemuan-penemuan dalam bidang teknologi tertinggal, dan pengetahuan tertinggal.
Indonesia sebenarnya punya potensi mengawal kemajuan umat Islam dunia. Ternyata hal tersebut masih nampak jauh. Kebiasaan-kebiasaan tidak produktif terus menyelimuti awan kegelapan. Tidak ada kerja bersama yang menunjukkan isyarat kemajuan. Sebagai bangsa, kita masih disibukkan oleh urusan rumah tangga yang menggunung; saling curiga di antara warga bangsa, saling tuding, dan menjatuhkan.
Kita fasih berbicara toleransi agama, tapi ada yang luput dari pandangan kita, kita lupa akan toleransi ekonomi, lupa akan toleransi hukum yang kadang tumpul, dan kita lupa akan misi kesatuan umat, yaitu toleransi yang lebih besar, toleransi kemanusiaan disemua bidang. Hal tersebut seringkali tertinggal dalam pantauan kita.
Artinya, diagnosa dari permasalahan ini ialah tarik menarik kepentingan, yang membawa agama masuk dalam kandang politik. Sehingga saling menuding atas kemunduran.
Karena itu, kesadaran harus satu jalan bersama tindakan, dan tindakan harus satu bangun dengan kebangkitan. Faktor utama kemunduran umat Islam jika dibedah akan muncul beberapa penyabab, seperti; pandangan antar sesama kelompok di lingkungan umat Islam, fokus di antara mereka saling mencari kelemahan dan kekurangan, bisa dikatakan susah untuk menyamakan tujuan, kecuali melebur dalam haluan politik yang sama. Umat Islam saat ini, khususnya di Indonesia masih tersandera oleh aktifitas politik praktis. Sehingga yang diikuti bukan arus cita-cita kebangkitan, melainkan kekuasaan, menjamurnya politik identitas sebagai bukti nyata.
Selain itu, umat Islam belum sepenuhnya sadar, dirinya adalah umat yang sama, menyembah Tuhan yang sama, rukun Islam dan rukun imannya sama—banyak yang menutup diri dari kesamaan. Kata Ibu Sinta Nuriyah, “ini bukan masalah pemahaman berbeda, tapi masalah keinginan”. Artinya, ada kelompok yang tidak mau membuka diri terhadap realitas yang berkembang. Ada kenyataan dan pandangan-pandangan lain harus diketahui, kemudian dihormati keberadaannya. Seandainya mereka mau membuka diri dari belenggu keinginan “tertutup”, mereka akan paham dunia ini beraneka dimensi.
Kemudian, terlahirnya otoritas-otoritas baru, fenomena ini membuat umat bingung. Kita disuguhi banyak sekali varian model ustadz, dan pendakwah—sehingga umat menjadi terkotak-kotak. Apalagi mereka yang baru belajar agama, lalu masuk dalam lingkungan tertentu yang instan dalam proses belajar, tanpa alur pemahaman utuh. Akhirnya, pilihan pembelajaran terpaku pada selera semata. Sayangnya, selera itu terbentuk melalui opini pasar yang sedang berkembang.
Pasar beragama, menurut saya, bukan lagi dibentuk oleh substansi cara beragama yang baik (dari segi belajar maupun ekspresi). Melalui framing-framing media yang saling terhubung, seperti medsos, Youtube, Whatsapp, dan sejenisnya. Sehingga instrumen pasar itu yang membentuk pola beragama seseorang. Tidak hanya orang belajar agama saja yang terjebak opini pasar, tetapi para ustaz dan pendakwah ikut terjebak mengikuti instrumen pasar.
Bisa kita tengok, gaya-gaya ustaz karbitan terkenal itu, memiliki cara, ekspresi, dan penyampaian dakwah hampir sama. Karena pasar sedang menghendaki demikian. Susahnya, dalam potret yang lebih luas, muncul kesan, seakan-akan model begitulah yang benar. Akhirnya, orang terjebak pada satu arus tertentu dan mencoba menutup arus lainnya.
Selanjutnya, narasi-narasi romantisme; ada kelompok tertentu yang mencoba merongrong kesatuan umat melalui impian Negara Islam. Tidak ada yang salah jika kita sekedar flash back menambah motivasi kebangkitan. Namun, ketika memaksakan sebuah negara harus mengganti sistem khilafah, maka di sinilah letak salah kaprahnya. Menyebabkan kesatuan umat tidak terwujud. Karena kesatuan umat dalam lingkaran universal tidak hanya dipahami sebagai kesatuan kelompok iman semata, melainkan kesatuan kerja tim (team work) lintas iman, lintas budaya, dan lintas etnis.
Bila kita fokus pada romantisme semata, umat Islam hanya akan punya masa lalu, tidak memiliki masa kini dan akan kehilangan masa depan. Dari sekelumit penjelasan di atas, bisa ditarik kesimpulan singkat, persolan-persoalan itu telahir sejatinya ada di dapur umat Islam itu sendiri. Artinya, dalam dapur ini kita jangan berebut pisau untuk melukai, kita fungsikan pisau itu buat meracik hidangan-hidangan nikmat yang akan disajikan pada publik. Karena kebangkitan bukan urusan dominasi satu kelompok saja.
Dalam hal ini, negara juga harus ambil bagian, walaupun eksistensi negara di mata umat Islam masih “abu-abu”, di satu pihak bersepakat negara membala Islam, di pihak lain tidak. Mau tidak mau, negara dihadirkan karena umat adalah sekumpulan orang yang berada pada komunitas besar bernama negara. Negara dalam kebijakannya harus memfasilitasi perkembangan umat Islam; bisa melalui pengembangan pendidikan, mendukung perekonomian umat melalui usaha-usaha mikro, kemudian bila perlu membangun pusat kajian keislaman yang serius. Hal ini sebagai upaya mendobrak kebodohan, kemiskinan, pengangguran, ketikdadilan, dan korupsi
Argumen tersebut mendukung tesis George Bernard Shaw dan Johan Wolfgang von Goethe yang menyatakan, “Islam adalah agama masa depan, karena Islam satu-satunya agama yang memilki kapasitas untuk berasimilasi terhadap perubahan tahap eksistensi manusia, yang tetap membuatnya memiliki pesona kuat dalam setiap abad.”
Islam sebagai agama masa depan dilandasi atas ajaran-ajaran Islam sendiri; Islam menawarkan ketenangan setiap ada masalah, Islam mengutamakan ajaran kebaikan untuk semua, Islam mengajarkan tidak memaksakan kehendak agama orang lain, Islam menekankan etos kerja, Islam mengajarkan bagaimana cara bahagia di dunia/akhirat, dan banyak lainnya. Nilai dan ajaran-ajarannya harus selalu diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. (AN)
Wallahu a’lam.