Saat ini kita akan memasuki momen di mana para jamaah haji mengikuti rentetan ritual pelaksanaan ibadah haji, yaitu wukuf di padang Arafah. Sebagai bagian vital di antara ritual-ritual haji sebagaimana penulis sebut di muka, pelaksanaan ibadah wukuf rupanya mempunyai makna filosofis yang mendalam, mengingat pesan-pesan Rasulullah yang dahulu pernah beliau kemukakan di dalam Haji Wada’ (haji perpisahan).
Pesan yang telah Rasulullah gariskan sebagaimana penulis singgung mengenai penyatuan visi dan misi umat Islam, yang dalam kehidupan sosial budaya tentu sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya, yaitu “Kalimatun Sawa”.
Adapun isi pesan Rasulullah di dalam Haji Wada’ adalah sebagai berikut: “Saudara-saudaraku, sesungguhnya darah dan hartamu haram bagimu satu dengan yang lain kecuali dengan jalan yang sah, sampai kamu sekalian berjumpa dengan Allah, sebagaimana larangan atasmu pada hari ini dan tempat ini. Kamu semua akan berjumpa dengan Allah, kamu semua akan dimintai pertanggungan jawab tentang amal perbuatan mu. Saksikanlah bahwa aku telah menyampaikan hal itu kepadamu. Siapa yang menyimpan amanat seorang dari kalian hendaklah amanat itu ditunaikan kepada yang mengamanatkannya……”.
Di dalam sebuah riwayat yang lain juga disebutkan akan pesan Rasulullah tersebut dengan redaksi “Tidak ada perbedaan antara orang-orang Arab dengan orang-orang selain Arab, dan orang-orang selain Arab dengan orang-orang Arab. Kalian adalah sama antara satu dengan yang lain kecuali kadar ketakwaan kalian”.
Secara etimologis, pengertian Kalimatun Sawa adalah kalimat atau pernyataan yang sama. Nurcholis Madjid (2008:63) memberikan pengertian mengenai kalimat tersebut dengan “kalimat persamaan” yang berprinsip pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid. Dari pengertian itulah maka dapat ditarik sebuah pemahaman yang utuh bahwa ibadah haji yang jika meminjam istilah Dr. KH. Zakky Mubarak, MA sebagai rekonfirmasi (penegasan kembali) ajaran tauhid. Tauhid sebagai bentuk ajaran telah dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim yang kita kenal sebagai Abu al-Anbiya (ayah para Nabi) dan bapak monotoisme dan dalam perjalanan historisnya sangat erat dengan napak tilas ritual ibadah haji.
Ajaran Nabi Ibarahim setidaknya memberikan gambaran yang nyata kepada kita bahwa penegasan tentang keadilan Tuhan yang mempersamakan kedudukan manusia di sisi-Nya tanpa memandan ras, suku, dan bangsa menjadi bagian pokok dan penting. Oleh karena itu, jika jika disimpulkan, inti dari keyakinan sebagaimana Nabi Ibrahim ajarkan, terdiri dari : (1) Pengakuan akan keesaan Allah SWT serta penolakan terhadap segala macam kemusyrikan dalam segala bentuknya, (2) Keyakinan tentang adanya keadilan Tuhan dalam kehidupan dunia ini, juga dalam kehidupan akhirat. (3) Keyakinan tentang kemanusiaan, yang bersifat universal, dengan persamaan hak dan kedudukan mereka, meskipun terdiri dari berbagai macam ras, suku dan bangsa. (Zakky Mubarak, 2015:524)
Hal ini pula yang ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujuraat, 49:13).
Pemahaman yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah kesadaran akan adanya perbedaan yang melingkupi ruang dimensi manusia, baik jenis kelamin, warna kulit, dialektika bahasa, perbedaan suku atau bangsa. Dari kenyataan itulah hendaknya perbedaan-perbedaan itu menjadi pijakan utama dalam mengenal satu dengan yang lain. Toleransi dalam hal ini mutlak diperlukan demi menghindari konfrontasi karena perbedaan-perbedaan sebagaimana penulis sebut tadi. Penulis pun menyadari di dalam setiap perbedaan pasti ada gesekan-gesekan dan perdebatan-perdebatan sengit dalam mempertahankan argumentasi jika itu dalam ranah ideologi atau primordialisme jika itu dalam ranah ras, suku, dan bangsa.
Dengan demikian, dalam hal ini ibadah haji menjadi sebuah jawaban atau solusi kongkret dalam menyatukan perbedaan-perbedaan yang menjadi sunnatullah menuju prinsip “Kalimatun Sawa’” atau kalimat yang sama.
Oleh karena secara spesifik di dalam surat al-Baqarah ayat 197, Allah sberpesan kepada umat manusia yang melakukan ibadah haji dengan ungkapan sebagaimana berikut: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats (berbicara kotor), berbuat fasik (kejahatan), dan berbantah-bantahan (bertengkar) di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.
Walhasil, momentum ibadah haji ini hendaknya menjadi perekat bagi keberlangsungan ukhuwah di antara sesama umat manusia pada umumnya, dan umat Islam secara khusus dengan tetap pada jalur dan prinsip toleransi dalam kemajemukan dan perbedaan. Aktualisasi “Kalimatun Sawa’” hendaknya benar-benar dirasakan oleh jutaan umat manusia yang sedang melaksanakan ibadah haji, karena kita di hadapan Tuhan sama kecuali kadar keimanan dan ketakwaan. Wallahu A’lam bis Shawab.
Mohammad Khoiron adalah Wakil Sekretaris LDNU DKI Jakarta