Seorang Yahudi miskin melapor kepada Amirul Mukminin, Umar Bin Khattab, atas perlakuan Gubernur Mesir Amru bin al-Ash. Gubernur itu dengan sepihak menggusur gubuknya tanpa pemberitahuan dan tanpa ganti rugi yang memadai untuk keperluan perluasan masjid.
Ketika mendengar pengaduan si miskin Yahudi, Umar pun menggoreskan satu garis lurus di atas sebuah tulang putih, lalu ia minta pengawal untuk mengirimkannya kepada sang Gubernur Mesir.
Ketika Amru bin al-Ash yang menerima “paket” dari sang khalifah itu, seketika itu ia gemetar dan cepat-cepat mengganti gubuk si Yahudi yang terlanjur dirobohkan.
Sontak, hal ini pun membuat kebingungan. Giliran si Yahudi yang kebingungan, apa yang telah terjadi?
“Khalifah memberikan pesan supaya berlaku adil dan lurus sebagaiamana lurusnya garis di atas tulang,” Ia terdiam sejenak. “Sesungguhnya manusia akan menjadi tulang-belulang dan menerima ganjaran perbuataannya,” tambah Amru bin al-Ash menafsirkan pesan Amirul Mukminin.
Itu merupakan satu penggalan contoh pelajaran yang pernah ditampilkan oleh “punggawa-punggawa” Islam dalam menjalankan roda pemerintahan atau etika bermasyarakat dan bernegara. Keadilan merupakan satu prinsip yang mengalir di dalam darah dan melekat bersatu dengan tubuh. Al-Qur’an kerap kali mengajarakan keadilan sebagai prinsip dan bertindak.
Dalam surat Al-An’am, 6: 152 Allah SWT berpesan: waidza qultum fa’dilú walau kána dzá qurbá. Dan apabila kamu berkata hendaknya kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabatmu.
Ayat ini mengajarkan, hukum harus tetap ditegakkan meskipun itu akan melibatkan atau merugikan keluarga sendiri. Berkonspirasi menyelamatkan sahabat dekat dengan memperdaya dan memainkan hukum adalah melawan keadilan yang pada gilirannya juga melawan Allah SWT.