Ada banyak cara orang mencintai ulama. Dan, bagi saya Gus Dur adalah salah satunya. Saya memang terlalu kerdil untuk menarasikan kebesaran Gus Dur. Cita-cita saya untuk berjumpa dan mencium tangannya tidak pernah terwujud, meski tidak pernah bertemu, sebagaimana anak-anak muda lainnya, kecintaan saya kepada sosok Gus Dur terus bertumbuh.
Rasa kagum dan benih-benih cinta itu mulai bersemi setelah menamatkan buku karya Greg Barton Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Lalu disusul karya-karya Gus Dur, kumpulan tulisannya, dalam buku seperti Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan dan Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi dan lainnya.
Kutu Buku
Buku menempati sudut istimewa di dalam hati Gus Dur. Bahkan, menjelang wafatnya, selama berada di rumah sakit, kata Mbak Yenny Wahid dalam sebuah talk show, yang selalu ditanyakan Gus Dur adalah buku. Agus Maftuh Abegebriel dalam pengantar buku Islam Kosmopolitan menyatakan bahwa meski Gus Dur tergolek lemah di pavilliun Supardjo Rustam RSCM Jakarta karena sakit, dia masih tidak mau berhenti dalam membaca informasi ilmiah dari sebuah buku. Saat itu, lanjut Dubes RI untuk Saudi Arabia itu, sebuah buku berjudul “Point” karya Dan Brown, pengarang novel “The Davinci Code”, sedang asyik ‘dibacanya’ dalam versi audio books yang diputar dengan medium pita kaset.
Tidak seperti kebanyakan kita yang menyadari pentingnya membaca setelah beranjak dewasa, Gus Dur mengawali kebiasaan ini semenjak masih kecil. Semasa menempuh sekolah menengahnya di Yogyakarta pada dekade 1950-an, Gus Dur sudah mulai mencerna buku-buku karangan Aristoteles dan Plato, juga buku babon Marxisme seperti Das Kapital-nya Karl Max dan What is To Be Done karya Lenin.
Ketika kuliah di Mesir, Gus Dur menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca buku di perpustakaan Universitas Amerika, perpustakaan Universitas Cairo, dan perpustakaan Universitas Prancis yang ada di Kairo. Dia menelaah karangan para sastrawan dunia seperti William Faulkner, Ernest Hemingway, Edgar Allan Poe dan John Donne. Dia juga mulai membaca karya-karya Andre Gide, Kafka, Tolstoy, Pushkin, dan novelis-novelis Eropa lainnya (Barton, 2008). Bagaimana dengan masa-masa perkuliahan kita saat ini? Hihihi
Ulama kampung
Belakangan, meskipun dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam, mantan presiden RI, dan sederet gelar ketokohan lainnya, Gus Dur tetap piawai memberikan pengajian-pengajian bagi masyarakat pedesaan. Gagasan-gagasan besarnya seperti pribumisasi Islam, demokrasi, pluralisme, dan lainnya tidak hanya dituangkan dalam tulisan yang bernas, tetapi juga dengan mudah dapat dikomunikasikan ke masyarakat akar rumput. Joke-joke segar juga menjadi salah satu ciri khas ceramahnya.
Bagaimana dengan intelektual Muslim kita saat ini? Nampaknya dimensi ini yang mulai terkikis di generasi muda Islam hari ini. Termasuk, tradisi bersilaturahim kepada jaringan kiai dan pesantren di seantero negeri. Menurut hikayat, selama kunjungan-kunjungannya ke berbagai daerah, Gus Dur lebih memilih tidur di rumah kiai setempat atau sahabatnya ketimbang menginap di hotel.
Dari cerita yang serupa, suatu hari istri, sang tuan rumah menangis lantaran mendapati Gus Dur tidur dengan nyenyak di atas tikar usai semalaman mengobrol dengan tuan rumah. Sang istri merasa sangat bersalah karena tidak bisa memberikan pelayanan yang selayaknya kepada Gus Dur. Sebaliknya, Gus Dur sebelum memasuki rumah yang akan diinapinya, senantiasa membawakan oleh-oleh (dan juga uang) dengan harapan tidak merepotkan pemilik rumah.
Apa sih yang bisa kita ambil dari sosok ini? Yakni upaya konstekstualisasi. Kita memang tidak perlu berteriak-teriak telah berjuang, tetapi dengan terus berkarya akan membuat kita menjadi berharga. Dan manisnya perjuangan, bisa jadi, baru menyeruak ke permukaan setelah kita dipanggil keharibaan-Nya seperti yang dilakukan Gus Dur.