Bencana alam, seharusnya menjadi sebuah pelajaran bagi semua orang, baik pemerintah maupun masyarakat akan pentingnya pendidikan mitigasi bencana sejak dini. Apalagi Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana, yang cepat atau lambat bencana itu pasti terjadi.
Mitigasi bencana merupakan sebuah pendidikan guna mengurangi risiko akibat bencana. Oleh karena itu, obyek yang menjadi pendidikan mitigasi bencana ini sudah pasti meliputi tiga hal, antara lain:
Tindakan preventif, yaitu kesiapan mengenali terhadap tanda-tanda terjadinya bencana. Misalnya, ketika beberapa jenis binatang liar/binatang aneh turun dari gunung, maka itu menandakan bahwa alam sedang memberikan tanda bahwa gunung akan meletus. Bila laut tiba-tiba surut jauh menjauhi bibir pantai setelah sebelumnya didahului oleh gempa, maka itu menandakan bahwa akan terjadi tsunami, sehingga masyarakat sebaiknya segera berlari menuju ke tempat yang lebih tinggi.
Respon terhadap bencana (disaster response), yaitu tindakan cepat apa yang perlu dilakukan saat bencana itu terjadi. Termasuk akomodasi minimal apa yang memungkinkan untuk dibawa saat bencana itu terjadi, ke mana harus berlindung dan melakukan evakuasi dan sejenisnya, atau tindakan efektif guna mengatasi kemungkinan robohnya bangunan agar nyawa terselamatkan.
Melakukan recovery (pemulihan) pasca bencana, yaitu sebuah upaya agar kondisi ekonomi masyarakat segera bisa dipulihkan seperti sedia kala. Tindakan semacam ini sebenarnya bisa di-include-kan pada pendidikan kepramukaan. Namun, agaknya basis kegiatan anak-anak muda terpelajar ini, dalam timbangan penulis, masih kurang memberikan penekanan pada pendidikan tanggap bencana kecuali hanya mengikuti kurikulum yang dianggap sebagai baku. Seperti pengenalan morse, sandi rumput, simaphore dan lain sebagainya, yang dalam beberapa konteks justru lebih banyak tidak dipergunakan dan condong dilupakan oleh masyarakat.
Poin ini, barangkali adalah sebuah otokritik dari penulis terhadap konsep pramuka dewasa ini, yang seharusnya justru lebih banyak memberikan pendidikan mengenal konsep dan tanda-tanda alam sebagaimana filosofi dari api unggun. Api unggun dalam filosofinya dipergunakan sebagai respon terhadap serangan hewan buas. Artinya, kita diminta sadar terhadap kemungkinan segala bahaya yang mengancam. Inilah salah satu bentuk dari aktualisasi pendidikan di Pramuka itu.
Kita mencoba bercermin dari Jepang yang memiliki kondisi alam mirip dengan Indonesia dan dipenuhi oleh Gunung berapi karena berada di cincin pasifik. Sebagaimana kita ketahui bahwa Jepang merupakan negara yang padat penduduknya. Namun, saat Tsunami melanda pada 11 Maret 2011 yang lalu, angka korban jiwa hanya tercatat sedikit. Padahal sebelumnya, diguncang oleh Gempa Bumi dengan besar 9 scala richter, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Aceh saat itu yang hanya 7,6 scala richter.
Jika kita tengok pada video-video yang tersebar di YouTube, uniknya bangunan-bangunan di Jepang – pasca gempa terjadi – tidak banyak mengalami kerusakan (sebelum tsunami). Tidak nampak adanya kerusakan fisik saat itu. Ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berarti. Bahkan jembatan pun tidak ada yang putus akibat gempa itu. Apakah bangunan yang ada di Jepang terbuat dari bahan yang kokoh? Ternyata tidak.
Saat tsunami datang, baru kemudian kita sadar, bahwa bangunan tersebut ternyata bukan dirancang dengan menancap di bumi sehingga dengan mudah menjadi hanyut karena diterjang tsunami. Ini juga sebuah pelajaran berharga. Mungkin ini adalah bagian dari konsep rumah tahan gempa yang sedang digalakkan oleh Jepang. Jepang dan masyarakatnya sadar bahwa area mereka adalah rawan gempa, sehingga perlu beradaptasi dengannya. Itulah sebabnya, arsitektur bangunan mereka dibangun dengan tidak menancap di tanah sehingga tahan terhadap guncangan gempa.
Hal yang memantik pelajaran lagi buat kita adalah di saat pembangkit reaktor nuklir Jepang mengalami kebocoran akibat gempa, dengan sigap masyarakat segera menjauh dari lokasi radiasi nuklir. Efeknya luar biasa, tidak dinyatakan adanya korban radiasi nuklir atau sampah dari reaktor nuklir.
Demikian juga saat tsunami datang menyerbu, korban jiwa tercatat kurang lebih sebesar 17 ribu jiwa, 5 ribuan mengalami luka-luka, dan 8 ribuan dinyatakan hilang. Sangat jauh berbeda dengan korban tsunami Aceh dan Sumatera Utara Desember 2004 yang mencapai hingga ratusan ribu korban jiwa dan puluhan ribu korban hilang. Padahal, masyarakat Jepang juga banyak tinggal di lokasi pantai. Apa yang membedakan dengan Indonesia saat itu?
Sebenarnya memang ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Akan tetapi, faktor yang paling dekat barangkali adalah Jepang sudah menerapkan pendidikan wajib mitigasi bencana kepada warganya, sehingga ketika bencana datang, mereka justru tidak datang ke lokasi bencana untuk berselfie ria, tapi segera menghindar untuk menjauhi korban jiwa lebih banyak lagi setelah dikenali efek yang akan terjadi kemudian. Apa bukti dari hal ini?
Sebagaimana dilansir oleh beberapa situs berita harian yang bisa dipercaya, di beberapa kota Jepang sangat banyak ditemukan peralatan standar perlindungan terhadap kemungkinan datangnya bencana, dan dijual bak kebutuhan rumah tangga. Peralatan itu terdiri dari tas ransel dan beberapa perlengkapan minimal lainnya yang disiapkan dan diproduksi untuk konsumsi keluarga. Di dalamnya juga terdapat peralatan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) guna mengatasi kemungkinan luka.
Tidak berhenti sampai di sini, penduduk dan generasi muda Jepang juga mendapatkan pelatihan bagaimana menghindari bencana yang berasal dari kobaran api. Bagaimana memadamkannya dengan cara yang benar, melindungi diri sendiri atau menolong orang lain dari amukan bencana.
Karena kesadaran mereka ini, tidak heran bila kemudian dilaporkan bahwa di Jepang juga menjamur beberapa lokasi yang menyediakan pendidikan tanggap bencana kepada warganya. Yang unik, para warga ini juga antusias mengikutinya. Termasuk bagian dari kurikulumnya adalah tentang cara berkomunikasi dengan menggunakan instrumen komunikasi tertentu sehingga dengan segera pertolongan pertama segera ia dapatkan.
Coba bandingkan dengan di negeri kita! Hingga detik ini saja, mungkin ada di antara kita yang belum tahu apa manfaat dan kegunaan fitur SOS (Save Our Ship) yang tersemat di pesawat handphone. Padahal itu adalah sinyal berupa sandi morse internasional yang bisa dimanfaatkan untuk meminta bantuan dan dirancang berbasis satelite system. Meski dalam kondisi tidak ada sinyal telekomunikasi yang ada di sekitar kita, misalnya di tengah laut, kita bisa memanfaatkannya sehingga bantuan akan segera cepat datang tepat di titik terjadinya bencana. Bagaimana dengan anda? Sudahkah mengenal instrumen pertolongan gawat darurat di sekeliling anda? Jika belum, lalu siapa yang hendaknya bertanggung jawab untuk memberi tanda pengenalan itu?