Rupanya masih banyak kaum muslim yang suasana lalu lintas psikologisnya adalah bernuansa Islam zaman kolonial. Mereka merasa ditindas, didzalimi dan menganggap yang liyan sebagai musuh. Segala kesulitan hidup yang dialaminya, diselesaikan dengan menunjuk yang liyan sebagai biang keladi. Suasana kegelisahan tersebut, di zaman kini, di mana kolonialisme-imperialisme yang sudah lenyap, kegusaran kaum muslim itu tidak menemui relevansinya yang tepat.
Naasnya, suasana psikis yang merasa terus-menerus kalah tersebut, kini diamplifikasi dan digandakan menjadi rupa-rupa propaganda di media sosial. Bak jamur di musim hujan, propaganda tersebut menumbuh suburkan kantong-kantong kaum muslim dengan paparan kebencian yang mengkhawatirkan.
Jamur kebencian di musim hujan tersebut terus tumbuh menjadi dewasa dan memproduksi ulang suasana psikis yang inferior itu. Mereka terus berkembang dan kini membentuk sebuah tatanan masyarakat yang disebut sebagai masyarakat yang Islami. Mereka mengeksklusi diri, menerapkan apa yang mereka anggap sebagai kemurnian peradaban Islam. Peradaban yang tidak bercampur dan berbaur dengan yang liyan.
Dalam suasana seperti demikian itu, penting kita untuk menyimak narasi lain tentang peradaban Islam yang pernah dipaparkan oleh cendikiawan muslim Indonesia, Nurcholish Madjid atau yang lebih familiar disapa Cak Nur. Sebetulnya, sejarah peradaban Islam yang pernah dipaparkan oleh Cak Nur itu bukanlah alternatif, namun sesungguhnya Cak Nur-lah yang benar tentang gambaran peradaban Islam di masa lalu.
Dalam pandangan Cak Nur yang tertuang dalam artikelnya dengan judul Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam dalam buku Fatsoen, memberikan pemaparan kebudayaan dan peradaban yang sama sekali lain dari apa yang tampak dari trend eksklusifisme peradaban Islam yang belakangan menyeruak.
Sejarah peradaban Islam dalam paparan Cak Nur sangat bernuansa kosmopolitan. Ia berinteraksi dengan berbagai kebudayaan dan saling mengisi dan meminjam. Unsur-unsur terbaik dan aplikatif dari kebudayaan lain tak pernah malu-malu diadopsi oleh kaum muslim saat itu, untuk mewujudkan peradaban Islam yang maju pada zamannya.
Peradaban Islam yang kosmopolit itu memiliki justifikasinya dari ajaran Islam, papar Cak Nur. Menurut Cak Nur, bahwa Islam itu philosophische grondslag-nya (meminjam istilah Bung Karno) adalah suatu perspektif yang universal. Kata Cak Nur, universalime Islam itu berangkat dari kata Islam atau “silmi (udkhulu fi silmi kaffah)” yang berarti ketertundukan.
Karena Islam hanya mensyaratkan ketertundukan kepada sang maha pemilik semesta, Allah Swt. Maka Islam tidak menyaratkan umatnya harus berlatar etnis atau berbudaya tertentu. Maka kemudian dalam doktrin Islam ada sebutan bahwa Islam itu berwatak rahmatan lil alamin (rahmat untuk seluruh alam) dan Islam itu sholih fi kuli zaman wa makan (Islam itu relevan di setiap zaman dan setiap tempat). Dengan demikian, Islam dari sononya sudah memiliki landasan ketauhidan yang universal untuk semua manusia.
Dari doktrin yang berwatak universal itulah maka kemudian praktik kebudayaan Islam bersifat kosmopolit. Maka tak heran, Cak Nur mengatakan bahwa suatu waktu Simon van der Berg, seorang ilmuwan yang memberi pengantar buku terjemahan bahasa Inggris Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali mengatakan bahwa “not be forgotten that the mosque also was built on the Greek temple”.“Masjid (itu) dibangun di atas puing-puing kuil Yunani” ungkap Van der Berg. Demikian itu menampakkan bahwa peradaban Islam memiliki riwayat kekerabatan yang meminjam dari peradaban Yunani kuno. Dalam sejarah Islam sendiri tak bisa dipungkiri bahwa pengaruh filsafat Yunani kuno dalam perkembangan kecendikiawanan kaum muslim juga sangat besar.
Menurut Cak Nur, disiplin ilmu teologi dalam Islam itu disebut sebagai ilmu kalam. Ilmu kalam tersebut memiliki terjemahan yang sepadan dengan bahasa Yunani, yakni “dialektika”. Sedangkan ahli ilmu kalam dalam Islam disebut sebagai mutakalimun, yang juga sepadan dengan kata “dialektis” dalam bahasa Yunani.
Dengan kata lain, ulama’ zaman dahulu juga mengadopsi beberapa hal dari tradisi berfikir filsafat Yunani kuno. Walaupun tidak semua hal diambil dalam mengkaji ajaran Islam, namun pengaruhnya tersebut tetap saja tidak bisa dinafikan.
Selain meminjam dan mengambil dari peradaban Yunani, perkembangan peradaban Islam juga mengambil dari peradaban lain juga. Cak Nur mencontohkan bahwa zaman Dinasti Bani Umayah itu sangat kental sekali pengaruh sistem Persia. Hal itu tampak dari administrasi dan birokrasi Dinasti Umayah yang bercokol di Damaskus itu mengadopsi model pemerintahan Byzantium, Persia (kini wilayah Iran).
Contoh lain tampak dari salah satu kitab politik Imam Ghazali (ia juga seorang Persia) berjudul Nasihat al-Muluk (Nasehat Raja-raja). Kata Cak Nur, dalam kitab Ghazali tersebut sangat tampak sekali doktrin politik Persianisme atau Aryanisme yang digabungkan dengan tradisi Arab dan doktrin Islam, tentu saja.
Dengan kata lain, contoh-contoh saling interaksinya peradaban Islam dengan peradaban di luar Islam tersebut menampakkan bagaimana kosmpolitannya sejarah Islam itu sendiri. Dengan demikian, paparan sejarah peradaban Cak Nur ini sama sekali lain dari apa yang sedang trend dari peradaban Islam yang eksklusif dan penuh kebencian dengan yang liyan seperti saat ini.
Di tengah kejumudan yang diselimuti kebencian dengan yang liyan itulah, sepatutnya kita menimang-nimang paparan Cak Nur tentang sejarah peradaban Islam yang kosmopolit. Menimba dari Cak Nur ini merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan kembali harapan masa depan Islam yang lebih berkeadaban dan berperadaban. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.