Fa idzâ lam tablugh-hu tilka al-‘aqâ’id, au balaghat-hu bi shûrah munaffirah, au bi shûrah shahîhah wa lam yakun min ahli al-nazhar, au kâna min ahli al-nazhar wa lâkin lam yuwâfiq ilaiha, wa zhalla yanzhuru wa yufakkiru thalaban ila al-haqq, hattâadrakahu al-maut atsnâ’a nazharih; fa innahu la yakûnu kâfiran yastahiqqu al-khulûd fi al-nâr ‘inda allâh.
(Jika [seorang] belum tersampaikan kabar tentang keyakinan-keyakinan [al-‘aqâid, tunggal: al-‘aqîdah] itu, atau tersampaikan tapi dalam bentuk yang cacat, atau dalam bentuk yang shahih tapi orang itu tidak termasuk ahl nazhar [yang biasa berfikir dan melakukan refleksi], atu termasuk ahl nazhar tapi ia belum memperoleh kemantapan, dan ia terus menerus berpikir dan melakukan perenungan demi mencari kebenaran, hingga menemui ajalnya di tengah-tengah perenungannya itu, maka di mata Allah ia bukanlah seorang kafir yang harus tinggal abadi di neraka)
Kutipan di atas diambil dari kata-kata al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut dalam karya monumentalnya al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî’ah (Cet. Ke-17, 1997: 19-20). Di sepanjang buku ini, terutama Bagian Pertama, al-‘Aqîdah, Syaltut secara konsisten memakai kata al-‘aqîdah untuk menunjukkan poin-poin tertentu yang berada pada level teori/pengetahuan (al-jânib al-nazhari) yang harus diyakini atau dipercayai dalam Islam. Dalam al-Qur’an, kata al-‘aqîdah sendiri sebenarnya tidak dijumpai. Namun al-Qur’an sering memakai kata “al-iman“baik dalam bentuk masdar (infinitif), fi’il mâdhi (kata kerja lampau), fi’il mudhâri’ (kata kerja sekarang/mendatang), maupun dalam bentuk ism fâ’il (kata subjek). Dan memang pada umumnya, kata “al-imân” (dan turunan-turunannya) dituliskan untuk mengacu pada makna “meyakini atau mempercayai”. Jadi, ada kaitan yang erat antara “al-‘aqîdah” dan “al-imân“.
Sementara dalam Sunnah, kata al-‘aqîdah juga tidak populer. Hadist yang sering kita pakai untuk menunjukkan ajaran dasar Islam tidak memakai kata al-‘aqîdah tapi al-imân atau al-islâm. Ini di antaranya terlihat dalam sebuha hadits yang memuat dialog antara Rasulullah SAW dan seorang laki-laki tak dikenal (yang ternyata adalah Jibril a.s.) ihwal iman, Islam, dan ihsan. Hadis ini kerap kita kutip untuk memperoleh penjelasan soal esensi Islam.
Sehingga dapat dikatakan, terma al-‘aqîdah baru muncul pasca periode rasulullah SAW. Ini tentu tidak dapat dipisahkan dari adanya perdebatan-perdebatan dan perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat. Sehingga, timubl pertanyaan-pertanyaan: apakah perbedaan (perselisihan?) itu masuk wilayah hal-hal pokok dalam Islam, yang dapat berakibat pada penentuan status muslim/kafir.
Untuk mencari kejelasan tentang permasalahan ini, kemudian dilahirkan pilahan ajaran Islam dalam dua wilayah. Wilayah pertama mencakup hal-hal yang harus diketahui sekaligus diyakini kebenarannya secara mutlak. Ajaran-ajaran yang masuk pada wilayah ini sangat menentukan muslim-tidaknya seseorang, sebab menyangkut perkara yang sangat mendasar: keimanan. Karena merupakan akr atau pondasi, wilayah ini tidak merestui adanya perbedaan. Wilayah inilah yang kemudian diberi nama al-‘aqîdah. Jadi, istilah al-‘aqîdah muncul sebagai rumusan atas serangkaian konsep keimanan: iman kepada Allah, malaikat, nabi-nabi, kitab-kitab Allah, hari akhir, dan takdir Allah; lebih lanjut keimanan yang bagaimana.
Bahwa ‘aqîdah adalah tunggal, tidak ada perbedaan, sesungguhnya masih menyimpan paradoks. Ternyata masih muncul banyak perbedaan pandang dalam wilayah ini. Tentang “melihat” Allah di surga (QS. 75: 23), misalnya, muncul perbedaan pandang: apakah “melihat” dengan mata atau dengan hati. Perdebatan ini bahkan terjadi antara Ibnu ‘Abbas versus Sayyidatuna Aisyah. Tentang sifat Allah juga, apakah ada inhern dengan dzat ataukah terpisah. Dan, masih banyak contoh lain yang tidak mungkin dipaparkan di sini.
Dalam ajaran Imam al-Asy’ari kita mengenal sifat tiga belas, yang kemudian disempurnakan oleh Maturidi menjadi dua puluh. Bagi al-Asy’ari dan al-Maturidi, rincian sifat-sifat itu sangat penting dan harus betul-betul diketahui sekaligus diyakini umat Islam.
Imam al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulumiddin bagian Qawa’id al-‘Aqaid, sudah tidak lagi menekankan tiga belas/dua puluh-Nya sifat wajib bagi Allah. Namun, al-Ghazali merinci poin-poin penting yang menjadi “keserbatidaksamaan” Tuhan dnegan manusia. Penting dicatat, al-Ghazali dalam Faishal al-Tafriqah-nya sangat mengecam orang yang terbutu-buru mengklaim kafir orang lain yang menganut konsepsi kalam imam yang berbeda (di situ al-Ghazali mencontohkan perdebatan al-Asy’ari dan pengikut al-Baqillani).
Sepanjang sejarah Islam, kita tidak pernah mengenal satu fase tertentu yang lepas dari perbedaan-perbedaan, sekalipun di wilayah ‘aqidah. Itu wajar, sebab meskipun Allah, sebagai tema paling pokok dalam keimanan, secara substansial adalah tungggal, namun Dia adalah Maha Tak Terdefinisikan (laisa kamislihi syai’). Sehingga, bahasa apapun tidak akan pernah tuntas menggambarkan “ketaktergambarkannya” itu.
Sebenanrya, perbedaan-perbedaan itu janganlah diberangus. Sebab, ia akan membuat masyaraka muslim semakin berfikir dinamis yang kemudian akan melahirkan pemikiran-pemikiran drilian. Justru, jika perbedaan itu dimampatkan, apalagi dengan memakai instrumen kekuasaan politik, yang terjadi malah sebuah kemandegan dan keimanan yang semu.
Kita pantas curiga, ketika suatu otoritas politik meminta dukungan atas nama kesatuan ‘aqidah. Mengapa? Sebab jika kita mendukung penunggalan itu, pertama, kita telah menyatakan sempurnanya cara keberimanan kita, sehingga menilai tidak sah cara-cara keberimanan yang lain, yang sebenarnya masih sama-sama dalam perjalanan. Padahal, kita perlu cermat, ketunggalan yang mana, atau pada level mana, yang dimaksud. Kedua, berarti kita telah mematikan potensi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Karena segala sesuatunya sudah disandarkan pada ketunggalan itu. Jika, misalnya, ada suara sumbang yang tidak serempak dari masyarakat, klaim melawan otoritas ‘aqidah gampang saja dilontarkan. Padahal, dalam hal ini yang paling penting kita perhatikan adalah soal kemashlahatan manusia yang merupakan inti ajaran Islam.
Menyikapi berbeda-bedanya cara menafsirkan ‘aqidah dalam Islam, kata-kata al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut yang dikutip di awal tadi, penting direnungkan. Yaitu, sepanjang seorang itu tidak pernah lelah menempuh perjalanan mencari yang haqq, dengan kesadaran yang tulus, ia tidak akan pernah kafir. Inti keimanan otentik adalah keyakinan murni dalam hati. [DP]
Artikel ini sebelumnya dimuat di Syir’ah 03